Cari Berita

Siapa yang Berhak? Mengenal Legal Standing dalam Hukum Adat Minangkabau

Akhyar Fauzan-Hakim PN Wangi Wangi - Dandapala Contributor 2025-08-08 09:20:23
Dok.Penulis.

Hukum Adat Minangkabau adalah hukum asli masyarakat Minangkabau yang bersumber dari peraturan-peraturan hukum tidak tertulis. Hukum Adat Minangkabau tumbuh dan berkembang serta dipertahankan dengan kesadaran hukum dalam memberikan keadilan bagi masyarakatnya secara turun temurun, elastis dan dapat menyesuaikan diri dalam berbagai pertimbangan hukum.

Pemberlakuan hukum dalam Hukum Adat Minangkabau terbagi atas dua hal, yaitu yang berlaku secara umum dan yang berlaku secara khusus.Pemberlakuan hukum secara umum berkaitan dengan “adat sabana adat” dan “adat nan diadatkan”, sedangkan pemberlakuan hukum secara khusus berkaitan dengan pelaksanaan dari hukum yang umum dan pelaksanaannya tergantung kepada “adat salingka nagari atau adat nan taradat”.

Hal tersebut dikuatkan dalam Pasal 1 ayat 11 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Nagari yang menyebutkan bahwa Adat salingka nagari yaitu adat yang berlaku dalam suatu nagari sesuai dengan prinsip adat yang berlaku secara umum atau adat sebatang panjang dan diwarisi secara turun-temurun di Minangkabau.

Baca Juga: Nilai Keadilan Restoratif dalam Hukum Adat Minangkabau

Dalam Hukum Adat Minangkabau juga mengenal adanya undang-undang nan ampek artinya undang-undang yang disusun menjadi empat bagian, sebagaimana yang dikemukakan oleh Firdaus dkk dalam bukunya Bunga Rampai Seminar Nasional Hukum Adat Dan Islam Minangkabau (2021:48) yaitu:

1.    Undang-undang luhak dan rantau;

2.    Undang-undang nagari;

3.    Undang-undang dalam nagari;

4.    Undang-undang nan duo puluah;

Sebelum membahas mengenai legal standing dalam Hukum Adat Minangkabau perlu kiranya dijelaskan terlebih dahulu yang berkaitan dengan Mamak Kepala Kaum dan Mamak Kepala Waris. Firdaus dkk dalam bukunya yang berjudul Bunga Rampai Seminar Nasional Hukum Adat Dan Islam Minangkabau (2021:50) dan Suardi Mahyudin dalam bukunya yang berjudul Dinamika Sistem Hukum Adat Minangkabau Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung (2009:236) menjelaskan bahwa dalam Hukum Adat Minangkabau, undang-undang nagari atau undang-undang pembentukan nagari menyebutkan “Urang gadih bakarek kuku, dikarek pisau sirawik Parawik batuang tuonyo, batuang tuo ambiak ka lantai, Nagari bakampek suku, dalam suku babuah paruik, Kampuang banan tuo, rumah batungganai”.

Artinya di dalam sebuah nagari harus ada kaampek suku, setiap suku dipimpin oleh seorang kapala suku yang disebut penghulu/datuak/kepala kaum. Setiap suku terdiri dari beberapa buah paruik (keturunan menurut garis ibu/matrilineal), dan kampuang banan tuo artinya ada orang yang dituakan yang disebut dengan tuo kampuang dilingkungan paruik atau pesukuan tersebut, dan untuk rumah batungganai sendiri terdiri atas beberapa buah rumah dan setiap rumah dipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut tungganai rumah.

Penghulu/Datuak/Kepala Kaum disebut juga dengan Mamak Kepala Kaum, disamping Mamak Kepala Kaum ada juga istilah Mamak Kepala Waris. Mamak Kepala Kaum/Datuak/Penghulu diangkat/dilewakan sebagai kepala kaum dengan kesepakatan kaum/suku tersebut, seperti yang diatur di dalam Pasal 1 angka 12 Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 6 tahun 2008  tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya yang menyebutkan bahwa Penghulu adalah pemimpin dalam suku ataupun kaum, ia adalah pemegang hak ulayat atas sako (gelar kebesaran pemimpin) dan pusako (harta pusaka berupa tanah ulayat dan harta benda).

sedangkan dalam Pasal 1 angka 13 Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 6 tahun 2008  tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya disebutkan bahwa Mamak Kepala Waris adalah laki-laki tertua atau yang dituakan di jurai/paruik dalam kaumnya. Di dalam praktik suatu kaum, jabatan Penghulu/Pangulu/Datuak/Mamak Kepala Kaum bisa dijabat oleh orang yang sama yang juga berkualifikasi sebagai Mamak Kepala Waris.

Dalam Adat Minangkabau untuk menentukan kebesaran kaum terletak pada Sako dan Pusakonya atau gelar dan harta pusaka tingginya, tak jarang hal tersebut juga menjadi perselisihan dan harus diselesaikan dari bajanjang naiak batanggo turun sampai ke tingkat kasasi. 

Apabila terjadi perselisihan dalam masyarakat Minangkabau, seperti contoh antara Kaum A dan Kaum B yang sama-sama mendalilkan bahwa harta pusaka tinggi misalnya sawah adalah milik dari kaumnya, di dalam Pasal 15 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari disebutkan untuk menyelesaikan perselisihan tersebut seharusnya diselesaikan terlebih dahulu pada tingkat keluarga, paruik, kaum dan/atau suku secara bajanjang naiak batanggo turun, akan tetapi dalam praktiknya perselisihan seperti dalam contoh tersebut diselesaikan terlebih dahulu antar kaum tersebut, bahkan ada juga yang menyelesaikan dengan melibatkan kaampek suku.

Penyelesaian perselisihan ini tergantung kepada nagarinya (adat nan taradat) bajanjang naiak batanggo turun, apabila tidak terselesaikan juga setelah melalui proses diatas maka perselisihan tersebut akan dibawa kepada Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang keberadaannya disebutkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari. Setelah perselisihan tersebut disidangkan di Kerapatan Adat Nagari (KAN), lembaga adat secara musyawarah mufakat memberikan “kato putuih” menurut barih balabeh/Hukum Adat Minangkabau. Apabila dari hasil “kato putuih” atau putusan Kerapatan Adat Nagari (KAN) tersebut pihak yang bersengketa tidak puas maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri.

Pertanyaannya sekarang adalah siapakah yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan perkara adat tersebut ke Pengadilan Negeri, apakah seluruh kaum, atau Mamak Kepala Kaum, atau Mamak Kepala Waris atau boleh menunjuk siapapun dikaum tersebut sepanjang terdapat kesepakatan kaum?

Legal standing atau kedudukan hukum bagi pihak yang bertindak sebagai penggugat harus orang yang benar-benar memiliki kedudukan dan kapasitas yang tepat menurut hukum. Keliru dan salah bertindak sebagai penggugat mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil. 

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tanggal 12 Desember 1970 Nomor 217 K/Sip/1970 menyebutkan bahwa yang berhak mengajukan gugatan  dalam harta pusaka tinggi adalah Mamak Kepala Waris dalam kaum, dan dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 180 K/Sip/1971 tanggal 25 Agustus 1971 yang memuat kaidah hukum menyebutkan bahwa Mamak Kepala Waris adalah laki-laki tertua dalam kaumnya, yang mana hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 angka 13 Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008  tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya yaitu Mamak Kepala Waris adalah laki-laki tertua atau yang dituakan di jurai/paruik dalam kaumnya.

Terhadap putusan tersebut menimbulkan lagi pertanyaan, bagaimana jika laki-laki dalam kaum tersebut hanya satu orang dan orang tersebut sudah menjabat sebagai Kepala Kaum/Penghulu/Datuak? bagaimana jika laki-laki tertua tersebut gila atau kurang akal atau di bawah pengampuan? apakah laki-laki tersebut akan dipaksa menjadi Mamak Kepala Waris?

Menurut hemat penulis kondisi Mamak Kepala Kaum yang sekaligus menjabat sebagai Mamak Kepala Waris bisa saja terjadi, sebagai contoh saat hanya dia satu-satunya laki-laki di kaum tersebut atau satu-satunya menurut kaum sebagai orang yang pantas sebagai Mamak Kepala Kaum dan Mamak Kepala Waris.

Di dalam Adat Minangkabau dikenal dengan alua mungkin dan patut, dalam hal mungkin saja laki-laki tertua itu menjadi Mamak Kepala Waris tetapi laki-laki tertua itu misalnya di bawah pengampuan atau gila atau kurang akal, lalu apakah patut atau pantas orang di bawah pengampuan atau gila atau kurang akal dijadikan sebagai Mamak Kepala Waris. Maka kata “mungkin dan patut” ini menjadi pedoman nantinya pada kesepakatan kaum dalam menentukan siapa yang menjadi Mamak Kepala Waris.

Dalam Adat Minangkabau juga menyebutkan kamanakan barajo kamamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mufakat, mufakat barajo kanan bana, bana tegak dengan sendirinya, kalimat tersebut pada intinya berarti dibutuhkan adanya permufakatan yang bulat atau persetujuan dari seluruh anggota kaum dalam menentukan Mamak Kepala Waris tersebut.

Hal ini dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1598 K/Sip/1975 tanggal 24 Agustus 1977 yang memuat kaidah hukum bahwa menurut Hukum Adat Minangkabau, Mamak Kepala Waris dari suatu kaum adalah laki-laki tertua dalam kaumnya, apabila ternyata laki-laki yang tertua tidak dapat melakukan fungsinya sebagai Mamak Kepala Waris, maka laki-laki yang muda dapat diangkat sebagai Mamak Kepala Waris dengan persetujuan dari seluruh anggota kaum.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 3629 K/Pdt/1985 tanggal 17 Februari 1988 juga memiliki kaidah hukum bahwa pengangkatan Mamak Kepala Waris merupakan wewenang dari kaumnya dan tidak selalu yang tertua harus disebut sebagai Mamak Kepala Waris.

Sehingga menurut hemat penulis dengan adanya hal tersebut berarti bukan hanya laki-laki tertua dalam kaum saja yang dapat menjadi Mamak Kepala Waris dan berhak mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri tetapi ada juga beberapa kondisi yang dapat menyimpangi ketentuan tersebut, yaitu laki-laki yang bukan laki-laki tertua dalam kaum juga dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri, tentunya hal ini juga harus dibuktikan oleh pihak kepada Majelis Hakim.

Baca Juga: Eksistensi Alat Bukti Bekas Hak Milik Adat Dalam Sengketa Hak Atas Tanah

Mengenai siapa-siapa saja yang dapat menjadi ganti Mamak Kepala Waris yang diangkat berdasarkan kesepakatan seluruh kaum, juga telah sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 180 K/Sip/1971 tanggal 25 Agustus 1971 juncto Nomor 1598 K/Sip/1975 tanggal 24 Agustus 1977 juncto Nomor 3629 K/Pdt/1985 tanggal 17 Februari 1988. (ypy/asn/ldr)


Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI