Arsip perkara pengadilan bukan sekadar tumpukan berkas, melainkan jejak autentik penegakan hukum, bukti sejarah kebangsaan, dan instrumen akuntabilitas publik. Setiap putusan, berita acara, dan bukti perkara menyimpan informasi penting tentang perkembangan hukum dan peradilan Indonesia.
Arsip perkara adalah
“memori kolektif” peradilan yang wajib dijaga keberadaannya. Namun, muncul
pertanyaan penting: berapa lama arsip perkara harus disimpan dan bagaimana cara
mengelolanya di tengah keterbatasan ruang dan membeludaknya jumlah perkara?
Secara normatif, penyimpanan arsip diatur dalam UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, PP No. 28 Tahun 2012, serta Peraturan Mahkamah Agung dan Peraturan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Berdasarkan klasifikasinya, arsip dibedakan menjadi arsip aktif, in-aktif, dan statis.
Baca Juga: Yuk! Melihat Digitalisasi Arsip Ala PN Purwokerto Jateng
Arsip aktif digunakan untuk kegiatan harian, arsip in-aktif jarang diakses namun wajib disimpan hingga masa retensi berakhir, sedangkan arsip statis bernilai kesejarahan dan wajib dipelihara secara permanen (Kusno, 2022). Retensi arsip berarti jangka waktu wajib penyimpanan sebelum arsip dimusnahkan, dinilai ulang, atau dipermanenkan.
Pasal 22 UU Kearsipan menegaskan bahwa pengelolaan arsip lembaga
negara, termasuk pengadilan negeri dan tinggi, menjadi tanggung jawab lembaga
kearsipan daerah. Namun, hingga kini belum ada bimbingan teknis maupun
koordinasi dari lembaga arsip daerah kepada pengadilan.
Secara lebih rinci, Peraturan Kepala ANRI No. 21 Tahun 2014 menetapkan masa retensi arsip perkara selama lima tahun, setelah itu arsip dapat dimusnahkan. Ketentuan ini menimbulkan dilema karena Pasal 51 UU No. 43 Tahun 2009 hanya memperbolehkan pemusnahan arsip yang tidak terkait dengan penyelesaian perkara.
Artinya, tidak semua arsip perkara seharusnya dimusnahkan, terutama yang masih relevan atau bernilai hukum permanen. Ketiadaan aturan teknis tentang jangka waktu dan mekanisme pengelolaan arsip pasca-retensi menyebabkan overkapasitas ruang arsip di banyak pengadilan.
Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang
lebih komprehensif untuk menjamin kepastian hukum, akuntabilitas, dan
pelestarian dokumen negara. Arsip perkara yang telah berkekuatan hukum tetap,
terutama yang bernilai strategis, idealnya dikategorikan sebagai arsip statis
yang harus disimpan permanen (Yanti, 2021).
Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa banyak pengadilan negeri dan tinggi mengalami kelebihan muatan arsip akibat meningkatnya jumlah perkara dan kompleksitas pembuktian. Arsip sering disimpan di ruangan yang tidak memadai, rentan rusak, bocor, atau hilang. Padahal, kerusakan arsip dapat berdampak serius terhadap kepentingan hukum, riset akademik, dan kebijakan publik di masa depan.
Situasi
ini menuntut inovasi dalam pengelolaan arsip yang adaptif terhadap era digital.
Di tengah tuntutan efisiensi dan transparansi, muncul pertanyaan: apakah arsip
digital dapat menjadi solusi tunggal, ataukah tetap diperlukan gedung arsip
modern sebagai penyimpanan fisik? Kedua opsi tersebut memiliki peluang dan
tantangan masing-masing, sehingga pengelolaan arsip harus mempertimbangkan
aspek hukum, kelembagaan, anggaran, dan budaya kerja aparatur peradilan.
Arsip digital menawarkan efisiensi ruang dan kemudahan akses. Melalui sistem seperti SIPP, E-Berpadu, E-Court, dan E-Hum, dokumen perkara kini dapat disimpan secara elektronik dengan keamanan berlapis. Keunggulan utamanya terletak pada kecepatan akses dan kepraktisan distribusi tanpa perlu membuka berkas fisik.
Model ini sejalan dengan kebijakan transformasi peradilan berbasis teknologi informasi yang dicanangkan oleh Mahkamah Agung. Namun, keunggulan arsip digital tidak hadir tanpa konsekuensi. Digitalisasi menuntut investasi besar yang meliputi perangkat keras dengan spesifikasi tinggi, perangkat lunak dengan lisensi resmi, serta tenaga ahli teknologi informasi yang mampu merancang, mengelola, dan memelihara sistem agar tetap andal.
Belum lagi muncul persoalan serius terkait keamanan data. Serangan siber, peretasan, hingga manipulasi digital menjadi ancaman nyata bagi arsip elektronik (Anisah 2021). Jika tidak ada mekanisme pengamanan yang ketat, arsip digital justru berpotensi menimbulkan kerugian besar, baik bagi integritas peradilan maupun bagi kepercayaan publik.
Selain itu, perdebatan hukum juga muncul: bagaimana status
keautentikan arsip digital dibandingkan dokumen asli dalam pembuktian di
pengadilan? Apakah salinan digital yang telah dilegalisasi memiliki kekuatan
hukum yang sama dengan berkas kertas yang ditandatangani basah?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menuntut adanya regulasi dan kebijakan agar
keberadaan arsip digital tidak menimbulkan ketidakpastian hukum.
Opsi pembangunan gedung arsip bersama menjadi solusi efektif untuk menampung arsip perkara PN dan PT dalam satu wilayah. Gedung ini dapat dibangun per wilayah PT, misalnya dua gedung arsip yang melayani dua area berbeda.
Fasilitas ini
berfungsi sebagai pusat penyimpanan dokumen perkara fisik setelah melewati masa
simpan tertentu, dengan sistem pengelolaan terarah meliputi klasifikasi,
katalogisasi, dan tata ruang. Model ini mengacu pada standar Arsip Nasional,
namun difokuskan pada arsip peradilan guna mengurangi beban penyimpanan di
masing-masing pengadilan.
Selain efisiensi ruang, gedung arsip bersama memungkinkan penerapan standar kearsipan internasional, seperti pengaturan suhu, kelembapan, pencahayaan, dan keamanan dokumen. Sentralisasi ini juga menekan biaya pembangunan ruang arsip di tiap pengadilan dan membuka peluang pemanfaatan dokumen lama untuk riset hukum dan kebijakan publik.
Upaya ini selaras dengan langkah Mahkamah Agung yang pada
2024 merekrut 3.060 Dokumentalis Hukum, tenaga profesional yang disiapkan untuk
mengelola arsip secara terstandar dan modern.
Gagasan pembangunan gedung arsip bersama menghadapi sejumlah tantangan. Selain membutuhkan anggaran besar untuk infrastruktur dan pengelolaan, koordinasi lintas satuan kerja juga menjadi kunci, terutama terkait kewenangan, pengawasan, dan mekanisme distribusi arsip.
Tanpa tata kelola yang jelas, gedung arsip berisiko menjadi sekadar “gudang mati”. Karena itu, perlu dibentuk unit pengelola khusus dengan kompetensi profesional di bidang kearsipan. Pilihan antara arsip digital dan gedung arsip bersama tidak perlu dipertentangkan, melainkan disinergikan dalam sistem hibrida.
Arsip digital mendukung akses cepat, efisiensi ruang, dan
transformasi teknologi, sedangkan gedung arsip menjamin keamanan dokumen fisik
yang bernilai hukum dan historis. Model hibrida ini memastikan arsip fisik
tersimpan aman dengan cadangan digital yang sah, sekaligus membagi peran:
pengadilan fokus pada pelayanan, sementara unit arsip menangani penyimpanan
jangka Panjang.
Diperlukan juga pembaruan regulasi masa retensi arsip dan klasifikasi perkara: perkara ringan dapat dimusnahkan setelah jangka waktu tertentu, sedangkan perkara berat disimpan permanen. Aturan rinci ini mencegah penumpukan arsip dan menjaga nilai sejarahnya. Selain itu, peningkatan kapasitas SDM sangat penting, karena pengelolaan arsip memerlukan keahlian kearsipan dan teknologi informasi. Pelatihan aparatur serta kemitraan dengan Arsip Nasional RI akan memperkuat aspek preservasi dan restorasi dokumen.
Akhirnya, pengelolaan arsip perkara
yang baik merupakan bagian integral dari reformasi peradilan. Tanpa sistem
arsip yang tertata, transparansi, akuntabilitas, dan akses publik terhadap informasi
peradilan tidak akan terwujud. Arsip perkara adalah memori kolektif bangsa yang
harus dirawat dengan kesadaran, bukan sekadar kewajiban administratif. (zm/ldr)
Referensi:
Kusno, K. (2022). Pentingnya peran
arsip di lingkungan instansi. ABDIKU: Jurnal Pengabdian Masyarakat Universitas
Mulawarman, 1(2), 49-51.
Baca Juga: Catatan Sejarah Hukum: Pengadilan Perceraian di Kesultanan Banten
Yanti, E. (2021). Analisis dan
perancangan sistem informasi pengelolaan arsip perkara dengan berorientasi
objek. Jurnal Ilmiah Media Sisfo, 15(2), 94-106.
Anisah, A., Wahyuningsih, D., Helmud, E., Suwanda, T., Romadiana, P., & Irawan, D. (2021). Rancang Bangun Sistem Informasi Manajemen Arsip Digital. Jurnal Sisfokom (Sistem Informasi Dan Komputer), 10(3), 419-425.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI