Permasalahan mendasar dalam praktik penghitungan tenggang waktu upaya hukum pajak terletak pada penentuan titik awal penghitungan. Saat ini, tanggal kirim surat melalui pos kerap diperlakukan sama dengan tanggal diterima, berdasarkan stempel pos.
Namun, dalam praktiknya, terdapat jeda waktu yang bervariasi antara tanggal pengiriman dan tanggal penerimaan yang sebenarnya.
Ketidaksesuaian ini
menimbulkan persoalan keadilan bagi Wajib Pajak. Apabila surat diterima lebih
lambat dari tanggal kirim yang tercantum, waktu yang tersedia untuk mengajukan
upaya hukum menjadi berkurang secara signifikan. Kondisi tersebut berpotensi
merugikan pihak Wajib Pajak, karena haknya untuk menggunakan upaya hukum tidak
dapat dijalankan secara optimal.
Baca Juga: Pengadilan Pajak Sebagai Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Kesembilan
Oleh karena itu, penting
dilakukan peninjauan kembali terhadap dasar penghitungan tenggang waktu upaya
hukum pajak. Pengaturan yang lebih tepat diharapkan dapat mencerminkan asas
keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum bagi para pihak yang
berkepentingan.
Pasal 1 angka 40 dan angka 41 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyamakan definisi tanggal dikirim dan tanggal diterima, yaitu tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau tanggal penyampaian langsung.
Namun, penyamaan ini tidak tepat secara semantik maupun praktik. Kamus Besar Bahasa Indonesia menunjukkan bahwa “kirim” berarti menyampaikan, sedangkan “terima” berarti memperoleh. Dalam praktik pengiriman surat melalui pos, terdapat jeda waktu antara tanggal saat diterima oleh pos yang ditandai dengan stempel pos untuk dikirim dan tanggal secara nyata diterima.
Setelah menerima surat, pos akan melakukan pengiriman ke alamat yang dituju, jika jaraknya dekat akan sampai dalam waktu singkat, namun jika jaraknya jauh, moda transportasinya sulit, maka surat yang dikirim akan sampai dalam waktu yang lebih lama.
Jika jangka waktu pengajuan upaya hukum dihitung berdasarkan
tanggal stempel pos, hal ini menimbulkan ketidakadilan bagi Wajib Pajak yang
menerima surat lebih lambat, karena waktu yang tersedia untuk mengajukan upaya
hukum, misalnya mengajukan keberatan menjadi lebih sempit.
Pasal 25 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan mengatur bahwa keberatan harus diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa batas waktu tiga bulan dimaksudkan agar Wajib Pajak memiliki waktu yang cukup untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasannya. Jika terjadi force majeur, tenggang waktu tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak.
Namun, jika
penghitungan dimulai dari tanggal kirim, maka Wajib Pajak yang menerima surat
lebih lambat akan dirugikan karena waktu yang tersedia untuk menyusun keberatan
berkurang secara signifikan.
Berbeda dengan ketentuan keberatan, pengajuan banding diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Pasal 1 angka 11 dan angka 12 mendefinisikan tanggal dikirim dan tanggal diterima sama seperti dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan, yaitu berdasarkan tanggal stempel pos, faksimili, atau penyampaian langsung.
Namun, Pasal 35 ayat (2) menyatakan bahwa banding diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal diterima keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam penjelasannya ditegaskan bahwa jangka waktu tiga bulan dihitung dari tanggal keputusan diterima sampai dengan tanggal surat banding dikirim oleh pemohon banding.
Contohnya, jika keputusan diterima pada tanggal 10 Mei 2002, maka
batas terakhir pengiriman surat banding adalah tanggal 9 Agustus 2002. Dengan
demikian, meskipun definisi tanggal kirim dan tanggal terima secara normatif
sama, titik awal penghitungan jangka waktu dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak
lebih adil karena menggunakan tanggal diterima.
Berdasarkan Surat Ketua Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2/Tuaka.TUN/I/2022 tanggal 10 Januari 2022 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penghitungan Tenggang Waktu Upaya Hukum. Surat tersebut menjelaskan bahwa penghitungan tenggang waktu semula menggunakan teori pengiriman, karena dinilai tidak adil karena jasa pos kilat khusus pun sering terlambat dan para pihak tidak dapat membuktikan tanggal penerimaan. S
esuai Pasal 65 juncto Pasal 123 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, tenggang waktu upaya hukum adalah 14 hari setelah putusan diberitahukan secara sah, yaitu apabila masing-masing pihak telah menerima surat panggilan yang dikirim dengan surat tercatat. Dengan kemajuan teknologi informasi, PT Pos Indonesia telah menerapkan aplikasi Pos Tracking yang memungkinkan masyarakat dan petugas pengadilan mengetahui tanggal diterimanya surat pemberitahuan putusan.
Oleh
karena itu, Mahkamah Agung menganjurkan agar teori penerimaan digunakan karena
lebih sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan lebih memenuhi rasa
keadilan masyarakat. Tulisan ini menyimpulkan bahwa penghitungan jangka waktu
upaya hukum dalam sengketa pajak, baik keberatan maupun banding, harus dimaknai
sebagai tiga bulan sejak tanggal diterima surat, keputusan, atau putusan oleh
Wajib Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketua Kamar Tata Usaha Negara
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2/Tuaka.TUN/I/2022.
Tulisan ini menyimpulkan bahwa penghitungan jangka waktu upaya hukum pajak berdasarkan tanggal kirim, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan, berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi Wajib Pajak.
Tanggal kirim yang ditentukan berdasarkan stempel pos tidak selalu mencerminkan tanggal surat diterima secara nyata, karena jeda waktu antara pengiriman dan penerimaan surat dapat bervariasi tergantung pada faktor geografis, moda transportasi, dan efisiensi layanan pos.
Meskipun Undang-Undang Pengadilan Pajak menetapkan jangka waktu
pengajuan banding selama tiga bulan sejak surat diterima, namun definisinya
tetap menyamakan tanggal kirim dan tanggal terima berdasarkan stempel pos tetap
berisiko menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi Wajib Pajak yang menerima
surat lebih lambat dari tanggal yang tercantum.
Perbedaan pendekatan antara ketentuan keberatan dan banding ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan yang tidak sama terhadap Wajib Pajak. Untuk mengatasi hal tersebut, tulisan ini menyarankan agar teori pengiriman digantikan oleh teori penerimaan, sebagaimana ditegaskan dalam Surat Ketua Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Nomor 2/Tuaka.TUN/I/2022.
Baca Juga: Budi Nugroho: Unifikasi Peradilan Pajak ke MA, Semangat Atasi Disparitas Putusan
Dengan dukungan teknologi informasi seperti Pos
Tracking, tanggal penerimaan surat dapat dibuktikan secara akurat. Oleh karena
itu, demi menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak Wajib Pajak,
penghitungan tenggang waktu upaya hukum pajak seharusnya dimulai sejak tanggal
surat diterima secara nyata oleh Wajib Pajak, bukan sejak tanggal dikirim. (ikaw/ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI