Apa yang terjadi ketika praktik perikanan ilegal
bertemu dengan era digital? Jawabannya adalah lahirnya bukti elektronik.
Percakapan WhatsApp hingga video penangkapan kini menjadi jejak penting yang
dikumpulkan oleh Penyidik POLRI, TNI AL, dan PPNS.
Hal ini krusial karena keabsahan bukti digital
menentukan efektivitas penegakan hukum, sebagaimana diakui dalam UU ITE.
Sepanjang 2023–2025, pendekatan ini mulai diterapkan dalam sembilan perkara
perikanan, menandai babak baru penyidikan. Artikel ini mengulas penerapannya
dalam Penanganan Perkara Nomor 4/Pid.Sus-PRK/2025/PN Ptk, dan tantangan, serta
strategi penguatan pembuktian digital ke depan.
Pembahasan
Baca Juga: Akuntansi Forensik, Jurus Baru Pemberantasan Korupsi
Paradigma pembuktian pidana di Indonesia masih
bertumpu pada lima alat bukti Pasal 184 KUHAP. Namun, kehadiran UU ITE memperluas
cakrawala dengan mengakui informasi dan dokumen elektronik beserta hasil
cetaknya sebagai alat bukti sah. Tantangannya, bukti elektronik bersifat rapuh,
mudah rusak atau dimanipulasi, sehingga keaslian, keutuhan, dan rantai
pengelolaannya (chain of custody)
harus dijaga ketat.
Dalam praktik, penyidik kini semakin sering
menghadirkan barang bukti elektronik di persidangan. Dari sembilan perkara
tindak pidana perikanan 2023–2025, delapan berhasil menjadikan bukti elektronik
sebagai penguat dakwaan.
Misalnya, pada kasus kapal asing di Batam
(2024), foto dan video berhasil diakui hakim meski tanpa dokumentasi chain of custody. Sementara dalam kasus
MV Run Zeng 03 di Tual, penyidik sudah menerapkan protokol Digital Evidence First Responder (DEFR) dan menggandeng ahli
forensik untuk mengekstraksi ratusan file digital yang menjadi bukti kunci.
Contoh terbaru adalah kasus Mauliza Utari di PN
Pontianak (2025), pelaku penyelundupan 5.400 butir telur penyu. Selain barang
bukti fisik berupa telur penyu, penyidik menghadirkan rekaman CCTV kapal,
handphone berisi percakapan WhatsApp, serta flashdisk berisi foto dan video
aktivitas terdakwa di kapal.
Penggunaan bukti digital ini membantu
membuktikan peran terdakwa sebagai pengendali distribusi, meski tetap
menyisakan tantangan teknis terkait keabsahan forensik.
Meskipun capaian ini signifikan, masih ada tiga
hambatan utama:
(1) kesenjangan kapasitas SDM penyidik,
(2) ketiadaan regulasi teknis yang baku mengenai
DEFR dan CoC, dan
(3) keterbatasan laboratorium forensik digital
bersertifikat ISO/IEC 17025.
Padahal, laboratorium forensik bukan sekadar
fasilitas, tetapi juga jaminan akuntabilitas ilmiah atas hasil analisis yang
dipakai di persidangan.
Konkretisasi
dalam Putusan: Kasus Perdagangan Telur Penyu di Sambas
Putusan Pengadilan Perikanan Pontianak Nomor
4/Pid.Sus-PRK/2025/PN Ptk tanggal 5 September 2025 terhadap Terdakwa Mauliza
Utari alias Liza merupakan contoh nyata dan mutakhir dari tantangan sekaligus
kemajuan penerapan alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana
perikanan.
Dalam perkara penyelundupan 5.400 butir telur
penyu ini, barang bukti elektronik berupa 1 (satu) buah flashdisk merk Toshiba
warna putih kapasitas 4 Gb berisikan 9 (sembilan) video dan 6 (enam) foto
(screenshot) aktivitas Terdakwa di atas KMP Bahtera Nusantara 03 menjadi salah
satu pilar utama pembuktian. Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan:
"Bahwa
barang bukti elektronik berupa flashdisk merk Toshiba berkapasitas 4 GB yang
berisi 9 (sembilan) video dan 6 (enam) foto aktivitas Terdakwa di atas kapal
telah memenuhi syarat formil dan materil sebagai alat bukti elektronik yang
sah"; "Bahwa penanganan barang bukti elektronik tersebut telah
mengikuti prinsip Digital Evidence First Responder (DEFR) dan chain of custody
(CoC) yang menjamin keautentikan, keutuhan, dan ketersediaan bukti digital
sesuai dengan standar pembuktian elektronik."; "Bahwa video dan foto
dalam flashdisk tersebut secara jelas menunjukkan aktivitas Terdakwa dalam
mengemas, memindahkan, dan menyembunyikan kemasan berisi telur penyu, yang
merupakan alat bukti petunjuk yang relevan dengan tindak pidana yang
didakwakan."
Putusan ini sangat progresif karena dengan tegas
menyatakan bahwa meskipun terdapat kendala dalam kapasitas SDM dan fasilitas
forensik digital, penanganan barang bukti elektronik telah dilakukan sesuai
standar hukum yang berlaku.
Majelis Hakim berpendapat bahwa flashdisk
beserta isinya merupakan alat bukti sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat,
sesuai Pasal 5 ayat (1) huruf b UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE yang
memperluas cakupan alat bukti Pasal 184 KUHAP. Keabsahan barang bukti ini
terpenuhi secara formil dan materil melalui penerapan prinsip DEFR dan CoC yang
menjamin autentisitas, integritas, serta ketersediaan bukti digital.
Penerimaan majelis hakim terhadap alat bukti
elektronik pada Perkara Nomor 4/Pid.Sus-PRK/2025/PN Ptk, menunjukkan bahwa
paradigma pembuktian di peradilan Indonesia telah bergerak maju.
Bukti digital tidak lagi dipandang dengan
skeptis, tetapi dinilai berdasarkan pemenuhan syarat formil dan materil serta
prosedur penanganannya. Dalam perkara perikanan, barang bukti elektronik ini
relevan membuktikan unsur kesengajaan serta modus operandi Terdakwa, sekaligus
memperkuat alat bukti lain untuk membentuk keyakinan hakim atas terjadinya
tindak pidana.
Rekomendasi
dan Saran
Penguatan pembuktian digital dalam tindak pidana
perikanan memerlukan tiga langkah strategis.
Pertama, peningkatan kapasitas SDM
berkelanjutan. Pelatihan bersama Rekam Nusantara Foundation perlu diperluas dan
diinstitusionalisasi melalui modul standar serta sertifikasi internal. Dengan
demikian, penyidik mampu mengumpulkan, mengolah, dan menyusun bukti elektronik
secara mandiri. Pembentukan satuan khusus DEFR bagi tim terlatih akan
memperkuat kemampuan teknis.
Kedua, integrasi regulasi internal. Revisi
Petunjuk Teknis Penyidikan Perikanan harus segera dilakukan untuk mengakomodir
tahapan DEFR dan dokumentasi CoC secara rinci. Pedoman baku ini memastikan
standar prosedur seragam sesuai prinsip forensik internasional, sekaligus
meningkatkan admisibilitas bukti elektronik di pengadilan.
Ketiga, pembangunan laboratorium forensik digital
bersertifikat SNI ISO/IEC 17025 sebagai investasi krusial jangka panjang.
Keberadaan laboratorium akan menjamin keaslian bukti digital, mempercepat
penyidikan, mengurangi ketergantungan pada pihak luar, dan memperkuat posisi
penuntut umum. Seperti dalam perkara Mauliza Utari, keberadaan bukti digital
dari flashdisk menegaskan pentingnya pembuktian berbasis forensik yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Penutup
Baca Juga: Restorative Justice Pada Kasus Pidana Perikanan, Mungkinkah?
Penerapan bukti elektronik dalam perkara tindak
pidana perikanan mencerminkan adaptasi progresif penegak hukum terhadap era
digital. Dari kasus awal di Batam hingga kasus Mauliza Utari di Pontianak,
terlihat peningkatan penerapan standar forensik yang menegaskan arah menuju
presisi dan akuntabilitas pembuktian.
Putusan Mauliza menjadi preseden penting, menunjukkan kesiapan peradilan menerima bukti elektronik sepanjang prosedur penanganannya dipenuhi. Namun, tantangan tetap besar: kejahatan perikanan semakin kompleks dan terdigitalisasi. Karena itu, penguatan tiga pilar utama: kapasitas SDM, regulasi teknis, dan infrastruktur laboratorium forensik digital bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Dengan fondasi ini, penyidik dapat mengungkap tidak hanya pelaku lapangan, tetapi juga jaringan kejahatan hingga ke otak dan penerima manfaatnya. Komitmen memperkuat pembuktian digital berarti komitmen menjaga kedaulatan sekaligus kelestarian sumber daya kelautan Indonesia bagi generasi mendatang. (al/ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI