Cari Berita

Delik Penghinaan Presiden, Kebebasan Berekspresi dan Tanggung Jawab Sosial

Rio Satriawan - Dandapala Contributor 2025-12-29 11:45:04
Dok. Ist.

Pasal 218 dan Pasal 219 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) mengembalikan delik penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden yang sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006. Sejumlah pihak menilai hal ini adalah kemunduran dan ancaman terhadap kebebasan berekspresi yang pada gilirannya nanti akan mengancam demokrasi dan melanggengkan otoritarianisme.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI) menjamin kebebasan berpedapat dan berekspresi dalam Pasal 28D ayat (1). Pasal itu juga lah yang dijadikan batu uji oleh MK untuk menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP Lama sebagai delik penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden inkonstitusional. MK berpendapat, Pasal penghinaan ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena dapat menimbulkan salah tafsir antara kritik dengan penghinaan. Lebih lanjut MK menyatakan Presiden/Wakil Presiden berhak dihormati secara protokoler namun tidak lantas memperoleh martabat istimewa sebagai manusia di hadapan hukum dan sosial kemasyarakatan.

Perihal penghinaan terhadap pemimpin/pejabat negara ini, beberapa negara maju tidak lagi memasukannya ke dalam ranah hukum pidana melainkan dalam ranah hukum perdata. Tahun 2009, Inggris telah menghapus delik pencemaran nama baik, penghinaan terhadap pemerintah dan penghinaan terhadap pengadilan dari ranah hukum pidana. Mempertahankan ketiga delik tersebut dianggap sudah tidak relevan dengan demokrasi modern. Perlindungan terhadap reputasi dapat diselesaikan melalui mekanisme perdata. Senada dengan itu, Amerika juga menganggap pencemaran nama baik sebagai risiko alami dalam sebuah demokrasi sehingga tidak perlu diancam dengan pidana.

Baca Juga: Wakil Ketua MA: Kebebasan Berekspresi Dilindungi Konstitusi

Bagaimana dengan Indonesia? Apa latar belakang kembalinya delik penghinaan Presiden/Wakil Presiden di KUHP Baru sementara negara lain sudah memasukannya ke dalam ranah hukum perdata. Mengutip konsep budaya hukum milik Lawrence M. Friedman, penulis berusaha mengemukakan dasar kembalinya delik penghinaan tersebut dalam KUHP Baru. Hukum adalah produk budaya, pembentukan hukum harus mempertimbangkan kebutuhan, kebiasaan dan prespektif lokal agar efektif dan diterima. Hukum yang berlaku dan dianggap efektif di suatu negara tidak bisa serta merta diterapkan di negara lain. Hubunganya dengan kebebasan berekspresi yang seolah dikekang dengan kembalinya delik penghinaan, hal tersebut dapat dipahami sebagai penyeimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan bernegara.

Kebebasan berekspresi merupakan hak asasi manusia yang dalam pelaksanaannya tentu menimbulkan pula kewajiban untuk menghormati hak asasi yang dimiliki oleh manusia lain. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP) yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2005, bahwa hak atas kebebasan berpendapat menimbulkan kewajiban dan tanggug jawab khusus. Sehingga dalam pelaksanaanya Negara dapat melakukan pembatasan sepanjang bertujuan untuk: 1) menghormati hak atau nama baik orang lain; 2) melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum. Sehingga kembalinya delik penghinaan Presiden/Wakil Presiden adalah hal yang perlu sepanjang dimaknai sebagai upaya menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi sebagai hak dan tanggung jawab sosial sebagai kewajiban.

Perbuatan menghina orang lain bagi masyarakat Indonesia yang menjunjung adat ketimuran dianggap sebagai perbuatan yang tidak lazim dan bertentangan dengan norma. Dalam buku anotasi KUHP Nasional karya Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso, Penghinaan adalah rechtsdelicten atau felonies atau mala in se dan bukan wetsdelicten atau mesdemeanors atau mala prohibita. Artinya, penghinaan adalah sesuatu yang dari asal sudah merupakan kejahatan karena berkaitan dengan moral. Dengan demikian pembentukan undang-undang tetap memasukannya dalam ranah hukum pidana mengingat sifat asal perbuatannya sebagai kejahatan.

Kekhawatiran pembungkaman kritik 

Kritikan dan hinaan adalah dua hal yang berbeda. Pasal ini seringkali menimbulkan kekhawatiran akan tindakan pembungkaman kritik terhadap pihak-pihak yang berseberangan dengan penguasa. Namun, jika dicermati lebih jauh, pasal ini justru membedakan dengan jelas antara kritikan dan hinaan. Pasal 218 ayat (2) memberikan perlindungan bagi siapa pun yang akan melayangkan kritikan.

Frasa “dilakukan untuk kepentingan umum” dimaksudkan untuk melindungi siapa pun yang menyampaikan kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan Presiden/Wakil Presiden melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi. Kepentingan masyarakat yang disampaikan melalui unjuk rasa, kritik atau perbedaan pendapat terhadap kebijakan pemerintah tidak termasuk dalam penghinaan.

Turunnya ancaman pidana penjara maksimal dari maksimal 6 (enam) tahun pada KUHP Lama menjadi maksimal 3 (tiga) tahun pada KUHP Baru juga merupakan suatu kemajuan yang signifikan terhadap perlindungan hak berekspresi dan demokrasi. Dengan diturunkannya ancaman maksimal tersebut maka upaya paksa berupa penahanan tidak dapat dilakukan terhadap orang yang nantinya menjadi tersangka.

Sehingga apabila terjadi perbedaan persepsi antara aparat penegak hukum dengan tersangka mengenai apakah perbuatan tersangka termasuk kritikan atau penghinaan maka tersangka tidak akan menerima perampasan kemerdekaan sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan ia telah terbukti bersalah melakukan penghinaan dan dijatuhi pidana penjara.  

Terakhir, delik penghinaan Presiden/Wakil Presiden dalam KUHP Baru berbeda dengan delik serupa pada KUHP lama yang telah dinyatakan inkostitusional oleh MK. Dalam KUHP Baru delik tersebut merupakan delik aduan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 220.

Konsekuensinya, Presiden/Wakil Presiden yang merasa dihina harus mengadukannya secara langsung agar dugaan tindak pidana yang dilakukan terhadapnya dapat diproses. Adanya syarat aduan membuat aparat penegak hukum yang ditengarai sering dijadikan alat tekan oleh penguasa tidak bisa serta merta memproses pihak-pihak yang bersebrangan dengan penguasa tanpa adanya aduan langsung dari yang bersangkutan.

Dialektika pembahasan pasal ini awalnya memang menimbulkan kontroversi. Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso dalam bukunya anotasi KUHP Nasional menyatakan, di satu sisi, pasal ini dimaksudkan untuk menjaga kewibawaan dna marwah Persiden dan/atau Wakil Presiden, namun di sisi lain, jangan sampai pasal ini menghambat kebebasan berekspresi, kebebasan berdemokrasi termasuk kebebasan berpedanpat baik lisan maupun tulisan.

Penulis pribadi berpendapat, perumusan delik penghinaan Presiden/Wakil Presiden dalam KUHP Baru mampu mewujudkan keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial.

Mengkritik boleh, menghina jangan. (ldr/snr)

Baca Juga: Tak Ada Satu pun yang Dipidana karena Pemikirannya Sendiri

 

Tulisan merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili lembaga.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…