Pasal 218
dan Pasal 219 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP Baru) mengembalikan delik penghinaan terhadap Presiden/Wakil
Presiden yang sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah
Konstitusi (MK) melalui putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006. Sejumlah pihak
menilai hal ini adalah kemunduran dan ancaman terhadap kebebasan berekspresi yang
pada gilirannya nanti akan mengancam demokrasi dan melanggengkan
otoritarianisme.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI) menjamin kebebasan
berpedapat dan berekspresi dalam Pasal 28D ayat (1). Pasal itu juga lah yang
dijadikan batu uji oleh MK untuk menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal
137 KUHP Lama sebagai delik penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden
inkonstitusional. MK berpendapat, Pasal penghinaan ini dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum karena dapat menimbulkan salah tafsir antara kritik dengan
penghinaan. Lebih lanjut MK menyatakan Presiden/Wakil Presiden berhak dihormati
secara protokoler namun tidak lantas memperoleh martabat istimewa sebagai
manusia di hadapan hukum dan sosial kemasyarakatan.
Perihal
penghinaan terhadap pemimpin/pejabat negara ini, beberapa negara maju tidak
lagi memasukannya ke dalam ranah hukum pidana melainkan dalam ranah hukum
perdata. Tahun 2009, Inggris telah menghapus delik pencemaran nama baik,
penghinaan terhadap pemerintah dan penghinaan terhadap pengadilan dari ranah
hukum pidana. Mempertahankan ketiga delik tersebut dianggap sudah tidak relevan
dengan demokrasi modern. Perlindungan terhadap reputasi dapat diselesaikan
melalui mekanisme perdata. Senada dengan itu, Amerika juga menganggap
pencemaran nama baik sebagai risiko alami dalam sebuah demokrasi sehingga tidak
perlu diancam dengan pidana.
Baca Juga: Wakil Ketua MA: Kebebasan Berekspresi Dilindungi Konstitusi
Bagaimana
dengan Indonesia? Apa latar belakang kembalinya delik penghinaan Presiden/Wakil
Presiden di KUHP Baru sementara negara lain sudah memasukannya ke dalam ranah
hukum perdata. Mengutip konsep budaya hukum milik Lawrence M. Friedman, penulis
berusaha mengemukakan dasar kembalinya delik penghinaan tersebut dalam KUHP
Baru. Hukum adalah produk budaya, pembentukan hukum harus mempertimbangkan
kebutuhan, kebiasaan dan prespektif lokal agar efektif dan diterima. Hukum yang
berlaku dan dianggap efektif di suatu negara tidak bisa serta merta diterapkan
di negara lain. Hubunganya dengan kebebasan berekspresi yang seolah dikekang
dengan kembalinya delik penghinaan, hal tersebut dapat dipahami sebagai
penyeimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan bernegara.
Kebebasan
berekspresi merupakan hak asasi manusia yang dalam pelaksanaannya tentu
menimbulkan pula kewajiban untuk menghormati hak asasi yang dimiliki oleh
manusia lain. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (3) Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP) yang telah diratifikasi
dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2005, bahwa hak atas kebebasan berpendapat
menimbulkan kewajiban dan tanggug jawab khusus. Sehingga dalam pelaksanaanya
Negara dapat melakukan pembatasan sepanjang bertujuan untuk: 1) menghormati hak
atau nama baik orang lain; 2) melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum
atau kesehatan atau moral umum. Sehingga kembalinya delik penghinaan
Presiden/Wakil Presiden adalah hal yang perlu sepanjang dimaknai sebagai upaya
menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi sebagai hak dan tanggung jawab
sosial sebagai kewajiban.
Perbuatan
menghina orang lain bagi masyarakat Indonesia yang menjunjung adat ketimuran
dianggap sebagai perbuatan yang tidak lazim dan bertentangan dengan norma.
Dalam buku anotasi KUHP Nasional karya Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso, Penghinaan
adalah rechtsdelicten atau felonies atau mala in se dan
bukan wetsdelicten atau mesdemeanors atau mala prohibita.
Artinya, penghinaan adalah sesuatu yang dari asal sudah merupakan kejahatan
karena berkaitan dengan moral. Dengan demikian pembentukan undang-undang tetap
memasukannya dalam ranah hukum pidana mengingat sifat asal perbuatannya sebagai
kejahatan.
Kekhawatiran
pembungkaman kritik
Kritikan
dan hinaan adalah dua hal yang berbeda. Pasal ini seringkali menimbulkan
kekhawatiran akan tindakan pembungkaman kritik terhadap pihak-pihak yang berseberangan
dengan penguasa. Namun, jika dicermati lebih jauh, pasal ini justru membedakan
dengan jelas antara kritikan dan hinaan. Pasal 218 ayat (2) memberikan
perlindungan bagi siapa pun yang akan melayangkan kritikan.
Frasa
“dilakukan untuk kepentingan umum” dimaksudkan untuk melindungi siapa pun yang
menyampaikan kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan Presiden/Wakil
Presiden melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi. Kepentingan masyarakat
yang disampaikan melalui unjuk rasa, kritik atau perbedaan pendapat terhadap
kebijakan pemerintah tidak termasuk dalam penghinaan.
Turunnya
ancaman pidana penjara maksimal dari maksimal 6 (enam) tahun pada KUHP Lama
menjadi maksimal 3 (tiga) tahun pada KUHP Baru juga merupakan suatu kemajuan
yang signifikan terhadap perlindungan hak berekspresi dan demokrasi. Dengan
diturunkannya ancaman maksimal tersebut maka upaya paksa berupa penahanan tidak
dapat dilakukan terhadap orang yang nantinya menjadi tersangka.
Sehingga
apabila terjadi perbedaan persepsi antara aparat penegak hukum dengan tersangka
mengenai apakah perbuatan tersangka termasuk kritikan atau penghinaan maka
tersangka tidak akan menerima perampasan kemerdekaan sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan ia telah terbukti bersalah melakukan penghinaan dan
dijatuhi pidana penjara.
Terakhir,
delik penghinaan Presiden/Wakil Presiden dalam KUHP Baru berbeda dengan delik
serupa pada KUHP lama yang telah dinyatakan inkostitusional oleh MK. Dalam KUHP
Baru delik tersebut merupakan delik aduan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
220.
Konsekuensinya,
Presiden/Wakil Presiden yang merasa dihina harus mengadukannya secara langsung
agar dugaan tindak pidana yang dilakukan terhadapnya dapat diproses. Adanya
syarat aduan membuat aparat penegak hukum yang ditengarai sering dijadikan alat
tekan oleh penguasa tidak bisa serta merta memproses pihak-pihak yang
bersebrangan dengan penguasa tanpa adanya aduan langsung dari yang bersangkutan.
Dialektika
pembahasan pasal ini awalnya memang menimbulkan kontroversi. Eddy O.S. Hiariej
dan Topo Santoso dalam bukunya anotasi KUHP Nasional menyatakan, di satu sisi,
pasal ini dimaksudkan untuk menjaga kewibawaan dna marwah Persiden dan/atau
Wakil Presiden, namun di sisi lain, jangan sampai pasal ini menghambat
kebebasan berekspresi, kebebasan berdemokrasi termasuk kebebasan berpedanpat
baik lisan maupun tulisan.
Penulis
pribadi berpendapat, perumusan delik penghinaan Presiden/Wakil Presiden dalam
KUHP Baru mampu mewujudkan keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung
jawab sosial.
Mengkritik
boleh, menghina jangan. (ldr/snr)
Baca Juga: Tak Ada Satu pun yang Dipidana karena Pemikirannya Sendiri
Tulisan merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili lembaga.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI