Cari Berita

Ecocide dan Tanggung Jawab Moral Peradilan: Menimbang Ulang Peran Hakim di Tengah Krisis Ekologis Global

Muamar Azmar Mahmud Farig - Dandapala Contributor 2025-12-05 18:05:38
Dok. Ist.

Krisis Ekologis dan Keterbatasan Instrumen Hukum Administratif

Krisis ekologis di Indonesia berkembang menjadi fenomena struktural yang tidak lagi dapat dipahami sebagai rangkaian insiden lingkungan yang terpisah. Kerusakan Hutan Tesso Nilo, yang oleh laporan konservasi WWF digambarkan sebagai salah satu titik keanekaragaman hayati terpenting di Asia Tenggara, mengilustrasikan bagaimana fragmentasi habitat, ekspansi perkebunan, dan pembalakan sistematis menghancurkan integritas ekosistem yang mestinya dilindungi.

Demikian pula banjir besar yang melanda Sumatra pada akhir 2025 menegaskan hubungan langsung antara perubahan tutupan lahan, hilangnya daerah resapan, dan meningkatnya intensitas bencana. Laporan dari berbagai lembaga riset menunjukkan bahwa kerusakan ekologis tersebut memperburuk akumulasi risiko hidrometeorologi yang terjadi secara berulang.

Baca Juga: Environmental Ethic Sebagai Pilar Keadilan Ekologis

Fenomena ini menyingkap satu persoalan mendasar, instrumen perlindungan lingkungan kita terlalu bergantung pada politik hukum pemerintah. Sejak awal pembentukannya, rezim perlindungan lingkungan Indonesia dibangun dengan logika administratif—perizinan, sanksi administratif, dokumen AMDAL, dan standar teknis.

Struktur seperti ini tampak rasional dalam pengaturan penggunaan ruang dan aktivitas industri, tetapi menjadi rapuh ketika arah kebijakan pemerintah bergeser. Ketika prioritas ekonomi berada di atas perlindungan ekologi, maka izin yang seharusnya menjadi filter justru berubah menjadi legitimasi kerusakan.

Keterbatasan ini sejalan dengan kritik Hans Jonas dalam The Imperative of Responsibility (1984). Jonas menegaskan bahwa dunia modern, dengan skala dan dampak teknologi yang tak dapat dipulihkan, menuntut tanggung jawab moral yang melampaui kalkulasi administratif.

Tanggung jawab itu menuntut kita memandang tindakan pada dampak jangka panjangnya termasuk dampak ekologis yang mungkin baru terlihat puluhan tahun kemudian. Dalam konteks inilah, kelemahan struktur hukum lingkungan nasional tampak jelas, dibangun untuk mengatur kegiatan, bukan untuk mencegah kehancuran sistem kehidupan.

Hal ini diperjelas lagi oleh konsep planetary boundaries dari Rockström (2009) dan Steffen (2015), yang menunjukkan bahwa bumi memiliki batas-batas ekologis yang apabila dilampaui, akan mengancam stabilitas sistem kehidupan global. Ketika kerusakan ekologi berlangsung pada skala yang telah melewati kapasitas regulasi administratif, maka pendekatan hukum yang terlalu bergantung pada pemerintah menjadi tidak memadai. Dengan demikian, masalah ekologis Indonesia bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi soal desain struktur hukum yang menempatkan perlindungan lingkungan sebagai turunan dari kebijakan ekonomi, bukan sebagai mandat moral negara.

Ecocide dan Tanggung Jawab Moral Peradilan

Wacana Ecocide muncul secara global bukan karena dunia tiba-tiba ingin memperluas kriminalisasi, tetapi karena kerusakan ekologis telah mencapai tingkat yang tidak dapat dikendalikan oleh instrumen administratif semata.

Panel Ahli yang dibentuk oleh Stop Ecocide Foundation (2021) mengusulkan definisi Ecocide sebagai tindakan melawan hukum atau sewenang-wenang yang dilakukan dengan pengetahuan bahwa tindakan tersebut berpotensi menyebabkan kerusakan ekologis yang parah, meluas, atau jangka panjang.

Akademisi hukum internasional seperti Philippe Sands (2020) menegaskan bahwa dunia membutuhkan kategori moral baru dalam hukum pidana internasional untuk merespons krisis lingkungan yang semakin dalam.

Wacana Ecocide memberi pesan penting, hukum tidak boleh tunduk pada kepentingan jangka pendek pemerintah. Bila kerusakan lingkungan dibiarkan tunduk pada prioritas politik atau ekonomi, maka hukum kehilangan fungsinya sebagai penjaga keberlanjutan.

Kondisi ini relevan bagi Indonesia, di mana perlindungan lingkungan masih sangat bergantung pada arah kebijakan eksekutif. Ketika izin dan standar administratif menjadi instrumen utama, maka kerusakan sistemik seperti Tesso Nilo dan banjir Sumatera mudah luput dari mekanisme pertanggungjawaban hukum.

Dalam konteks ini, peradilan memikul peran yang jauh lebih besar daripada sekadar menerapkan undang-undang. Hakim memiliki posisi epistemik yang unik, merekalah yang menentukan bagaimana realitas ekologis dipahami secara hukum. Apakah kerusakan ekologi hanya dibaca sebagai pelanggaran izin, atau sebagai ancaman keberlanjutan hidup bersama? Perbedaan cara baca ini menentukan apakah hukum akan melanggengkan kerusakan atau menghentikannya.

Gagasan keadilan antar generasi yang dikemukakan Edith Brown Weiss (1989) relevan di sini. Weiss menunjukkan bahwa generasi sekarang memiliki kewajiban untuk menjaga kapasitas ekologis bumi bagi generasi berikutnya.

Dalam perkara lingkungan, hakim bukan hanya menyelesaikan sengketa antara pihak berperkara, tetapi memutus arah ekologis masa depan bangsa. Ketika putusan pengadilan mengabaikan dampak jangka panjang, pengadilan berpotensi ikut mewariskan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan.

Dalam A Perfect Moral Storm (2011), Stephen Gardiner menjelaskan bahwa krisis iklim adalah krisis moral karena institusi kita gagal bertindak meskipun mengetahui risiko besar yang sudah terjadi. Peradilan Indonesia dapat terjebak dalam krisis moral serupa apabila hanya berfokus pada legalitas administratif tanpa membaca struktur ekologis yang lebih luas. Dalam konteks inilah, wacana Ecocide berfungsi sebagai cermin, menuntut peradilan untuk meninjau ulang cara memahami keadilan dalam era krisis lingkungan global.

Penutup: Saatnya Peradilan Memikul Mandat Moral Ekologis

Instrumen administratif yang menjadi fondasi hukum lingkungan Indonesia telah terbukti tidak cukup menghadapi kerusakan ekologis yang bersifat sistemik. Ketergantungan pada arah politik pemerintah menjadikan lingkungan hidup sebagai variabel yang mudah dikompromikan ketika pembangunan ekonomi dijadikan prioritas utama. Sementara itu, kerusakan ekologis terus berlangsung pada skala yang mengancam keselamatan generasi mendatang.

Dalam situasi ini, peradilan tidak boleh memposisikan diri sebagai penafsir pasif dari kebijakan administratif. Peradilan harus memikul mandat moral untuk memastikan bahwa hukum tidak menjadi alat yang melegitimasi kehancuran ekologis. Wacana Ecocide memberi arah etis bagi peradilan yang mengingatkan bahwa kerusakan lingkungan bukan sekadar persoalan teknis, tetapi ancaman terhadap keberlanjutan hidup bangsa.

Maka pertanyaannya bukan lagi apakah Indonesia akan mengadopsi Ecocide sebagai kategori pidana. Pertanyaannya adalah: apakah peradilan Indonesia memiliki keberanian moral untuk membaca hukum dengan sensibilitas ekologis, untuk menempatkan keberlanjutan sebagai inti keadilan, dan untuk bertindak sebagai penjaga peradaban ekologis di tengah krisis global?

Daftar Pustaka

Gardiner, S. (2011). A Perfect Moral Storm: The Ethical Tragedy of Climate Change. Oxford University Press.

Jonas, H. (1984). The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age. University of Chicago Press.

Leopold, A. (1949). A Sand County Almanac. Oxford University Press.

Rockström, J. et al. (2009). “Planetary Boundaries: Exploring the Safe Operating Space for Humanity.” Ecology and Society, 14(2).

Steffen, W. et al. (2015). “Planetary Boundaries: Guiding Human Development on a Changing Planet.” Science, 347.

Stop Ecocide Foundation (2021). Independent Expert Panel: Legal Definition of Ecocide.

Baca Juga: Revisi RUU KUHAP di Ruang Bedah Moral: Keadilan atau Prosedural?

Weiss, E. B. (1989). In Fairness to Future Generations. United Nations University Press.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…