Nadia Yurisa Adila, S.H., M.H.

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Merujuk pada pasal tersebut maka kepastian hukum yang adil merupakan hak bagi setiap warga negara Indonesia. Namun kenyataannya, tuntutan keadilan dan tuntutan kepastian hukum kerap menjadi bentrokan yang tidak terhindarkan dalam penerapan hukum pidana khususnya terkait penetapan status barang bukti berupa alat angkut milik pihak ketiga yang beritikad baik dalam tindak pidana kehutanan.

 Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU PPPH) telah mengatur bahwa setiap orang yang melakukan pengangkutan kayu hasil hutan wajib memiliki dokumen yang merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 16 disebutkan bahwa di samping hasil hutan yang tidak disertai dengan surat keterangan sahnya hasil hutan, alat angkut, baik darat maupun perairan yang dipergunakan untuk mengangkut hasil hutan dimaksud dirampas untuk negara, hal itu dimaksudkan agar pemilik jasa angkutan/pengangkut ikut bertanggung jawab atas keabsahan hasil hutan yang diangkut. 

Sebelum adanya pembaruan terhadap UU PPPH tersebut Mahkamah Agung pada tanggal 16 Mei 2008 telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 01 Tahun 2008 tentang Petunjuk Penanganan Perkara Tindak Pidana Kehutanan. Mahkamah Agung melalui SEMA tersebut mengingatkan hakim agar memperhatikan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, terutama ketentuan dalam Pasal 50, Pasal 78 dan Pasal 38. Lebih lanjut pada poin ke-3 (ketiga) dalam SEMA tersebut menyebutkan bahwa Pasal 78 ayat (5) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang dengan tegas menentukan bahwa “semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk negara.”

Aturan-aturan tersebut secara eksplisit tidak membedakan kepemilikan dari alat angkut yang dirampas untuk negara apakah milik Terdakwa atau milik pihak ketiga. Barang bukti milik Terdakwa telah diatur dalam Pasal 39 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan bahwa barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas. Selanjutnya dalam ayat (2) menyebutkan bahwa dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang. Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita sebagaimana tercantum dalam Pasal 39 ayat (3) KUHP. Hal yang menjadi question of law selanjutnya adalah bagaimana perlindungan hukum bagi pihak ketiga yang beritikad baik apabila barang bukti berupa alat angkut miliknya dirampas untuk negara?

Adanya aturan yang mengatur alat angkut, baik darat maupun perairan yang dipergunakan untuk mengangkut hasil hutan dimaksud dirampas untuk negara tersebut seolah mendudukkan hakim sebagai corong undang-undang. Dalam ranah kebijakan pidana hakim memang memiliki peran sebagai pemegang kebijakan aplikatif yang bertugas untuk menerapkan suatu peraturan hukum. Namun demikian, hakim tidak harus selalu menjadi juru cakap dari undang-undang (la bouche de la loi) yang menerapkan hukum apa adanya (rechtstoepassing). 

Aturan perampasan barang bukti tersebut di satu sisi dimaksudkan agar pemilik jasa angkutan/pengangkut ikut bertanggung jawab atas keabsahan hasil hutan yang diangkut dan sebagai upaya penyelamatan kekayaan negara. Tetapi di sisi lainnya ada hak dari pihak ketiga yang beritikad baik yang harus dilindungi. Pada dasarnya aturan hukum memiliki aspek kepastian hukum dan seharusnya memenuhi kebutuhan akan keadilan. Keadilan sejatinya meletakan sesuatu pada tempatnya dengan memberikan orang atas sesuatu yang menjadi haknya (unicuique suum tribuere) dan tidak mengakibatkan kerugian bagi pemilik barang bukti berupa alat angkut tersebut. Terlebih lagi apabila barang bukti berupa alat angkut miliknya merupakan alat yang digunakan untuk bekerja yang berkaitan dengan mata pencahariannya.

Pada praktik penegakan hukum kerap kali ditemui perspektif yang berbeda dalam menilai pihak ketiga yang beritikad baik khususnya dalam perkara tindak pidana kehutanan. Definisi dari pihak ketiga yang beritikad baik dapat merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Keberatan Pihak Ketiga yang Beriktikad Baik Terhadap Putusan Perampasan Barang Bukan Kepunyaan Terdakwa Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Pihak ketiga yang beritikad baik berdasarkan aturan tersebut merupakan pihak yang dapat membuktikan sebagai pemilik yang sah, pengampu, wali dari pemilik barang, atau kurator dalam perkara kepailitan atas barang-barang yang tidak ada kaitannya secara hukum dalam proses terjadinya tindak pidana korupsi. Selain itu, pihak ketiga yang beritikad baik juga harus dapat membuktikan bahwa (a) Pemohon memperoleh hak atas barang objek permohonan sebelum dilakukan penyidikan dan/atau penyitaan; (b) Pemohon memperoleh hak atas barang objek permohonan berdasarkan itikad baik; (c) Objek keberatan merupakan barang yang dirampas atau dimusnahkan dalam perkara tindak pidana korupsi; dan (d) Pemohon tidak terkait dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa.

Menurut hemat Penulis, PERMA Nomor 2 Tahun 2022 tersebut dapat menjadi rujukan dalam menentukan pihak ketiga yang beritikad baik dengan menyesuaikan karakteristik perkara tindak pidana kehutanan, sebab karakteristik penegakan hukum tindak pidana korupsi dengan tindak pidana kehutanan memiliki tujuan yang sama yaitu untuk melindungi kepentingan nasional yang lebih besar yaitu keamanan kekayaan negara khususnya perlindungan kelestarian lingkungan hidup pada tindak pidana kehutanan. 

Berkaitan dengan perampasan barang bukti berupa alat angkut tersebut pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 021/PUU-III/2005, tanggal 1 Maret 2006, perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang Telah Diubah Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam pertimbangannya halaman 80 sampai dengan 81 juga telah menguraikan sebagai berikut: 

“…Perampasan hak milik dapat dibenarkan sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law, terlebih lagi terhadap hak milik yang lahir karena konstruksi hukum (legal construction), in casu hak milik yang lahir dari perjanjian jaminan fidusia. Namun demikian, terlepas dari keabsahan perampasan hak milik sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law di atas, hak milik dari pihak ketiga yang beritikad baik (ter goeder trouw, good faith) tetap harus dilindungi…”

Lebih lanjut mengenai hak milik dalam hukum perdata telah ditegaskan dalam Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa dan hak untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak–hak orang lain, kesemuanya itu dengan tidak mengurangi akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.

Salah satu wujud perlindungan bagi pihak ketiga yang beritikad baik terhadap barang bukti miliknya dapat terlihat dalam peraturan tindak pidana perikanan yang mencantumkan kata “dapat” dalam rumusan Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan) yang menyebutkan bahwa “benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara”. Begitu juga halnya dalam Pasal 76A UU Perikanan yang mengatur bahwa “benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri.” Terlihat bahwa dengan adanya kata “dapat” tersebut tidak membatasi cakupan suatu ketentuan secara restriktif perihal penetapan status barang bukti. Dengan kata lain undang-undang memberikan ruang bagi hakim untuk menilai dan menetapkan apakah barang bukti tindak pidana kehutanan sudah sepatutnya dikembalikan kepada pihak ketiga yang beritikad baik selaku pemilik atau menetapkan barang bukti dirampas untuk negara. 

Hal ini disebabkan hakim tidak dapat mengesampingkan fakta-fakta hukum yang ada di persidangan begitu saja apabila pihak ketiga yang memiliki alat angkut (i.e: truk/becak/perahu/kapal) dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bermufakat jahat dengan Terdakwa terhadap barang bukti miliknya yang digunakan dalam perkara tindak pidana kehutanan. Dalam agama Islam sudah menjadi kewajiban bagi seorang hakim untuk senantiasa melakukan ijtihad dalam memutus sebuah perkara yang didasarkan pada fakta-fakta hukum dalam persidangan. Hakim seyogianya dapat menerapkan peraturan yang bersifat abstrak terhadap kasus konkrit dalam persidangan meski pada akhirnya hakim dihadapkan kepada pilihan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. 

Berbicara mengenai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan maka hal ini berkorelasi dengan adagium Summum Ius Summa Injuria Summa Lex, Summa Crux (hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya) yang dikemukakan oleh seorang filsuf di zaman Romawi Kuno, Marco Tulio Ciceróna. Apabila kepastian hukum saja yang diutamakan, maka hanya keadilan prosedural (procedural justice) yang dapat tercapai. Meskipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan. Apa yang dianggap sebagai kepastian hukum atas putusan hakim yang adil, bisa jadi merupakan ketidakadilan yang besar bagi masyarakat (rigorous law is often rigorous injustice). Sebab hubungan antara keadilan dan kepastian hukum selalu bergantung kepada kultur dan harus dipertimbangkan secara berimbang case by case oleh hakim.

Penulis berharap ada penyempurnaan dan pembaruan terhadap UU PPPH mengenai aturan perampasan barang bukti kedepannya, sehingga penjelasan dalam Pasal 16 UU PPPH dapat berbunyi setidak-tidaknya menjadi “alat angkut, baik darat maupun perairan yang dipergunakan untuk mengangkut hasil hutan dimaksud dapat dirampas untuk negara apabila pelaku tindak pidana perusakan hutan adalah sekaligus pemilik barang bukti.” Kemudian hal yang harus diatur adalah mengenai hal-hal apa saja barang bukti berupa alat angkut yang terkait dengan pihak ketiga beritikad baik tersebut dapat dirampas untuk negara. Begitu pula dengan Mahkamah Agung yang memiliki legitimasi pembentukan hukum kiranya dapat menerbitkan SEMA terkait petunjuk penanganan perkara tindak pidana kehutanan yang merujuk pada UU PPPH terbaru. Hal ini dapat dilakukan dengan menyelenggarakan rapat pleno kamar guna mewujudkan kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan khususnya dalam perkara tindak pidana kehutanan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Van Oven bahwa jalan terbaik dari kepastian hukum adalah tidak terikatnya hakim pada bunyi undang-undang, tetapi justru pada kebebasan hakim dalam memutuskan suatu perkara. Begitu pula menurut Franken bahwa pembentukan hukum oleh hakim dianggap sebagai suatu hal yang baik karena hakim melakukan perumusan aturan-aturan sedemikian rupa sehingga melalui perumusan tersebut juga ditetapkan fakta mana dalam kasus tertentu menjadi relevan dan kemudian putusan akhir akan mengalir darinya sebagai satu cara penyelesaian konkret dari sengketa. Sejatinya proses penegakan hukum bukan hanya semata-mata untuk menjamin dan mewujudkan kepastian hukum, melainkan juga untuk mewujudkan rasa keadilan bagi masyarakat, in casu memberikan perlindungan hukum kepada pihak ketiga yang beritikad baik untuk mendapatkan hak-haknya atas alat angkut miliknya yang dirampas dalam perkara tindak pidana kehutanan.


Nadia Yurisa Adila, S.H., M.H.

Hakim Pengadilan Negeri Sawahlunto