Cari Berita

Kritik Hart Terhadap Teori Prediktif dan Implikasinya Bagi Legitimasi Pengadilan Pajak

Ari Julianto-Hakim Pengadilan Pajak - Dandapala Contributor 2025-12-21 08:00:49
Dok. Penulis.

Naskah ini menganalisis relevansi pemikiran H.L.A. Hart dalam The Concept of Law, khususnya kritiknya terhadap "Teori Prediktif tentang Kewajiban", dalam konteks Pengadilan Pajak di Indonesia.

Fokus utama kajian adalah membedah kekeliruan memandang hukum pajak semata-mata sebagai prediksi atas sanksi fiskal. Dengan menggunakan analogi "Lampu Merah" dan analisis Pasal 78 UU No. 14 Tahun 2002, naskah ini berargumen bahwa Pengadilan Pajak (PP) berfungsi sebagai penegak standar normatif yang memberikan alasan pembenar (justification), bukan sekadar validator atas probabilitas hukuman.

Pendahuluan: Hukum Sebagai Prediksi?

Baca Juga: Meninjau Peradilan Pajak Indonesia Melalui Lensa "Kebingungan Teori Hukum" H.L.A. Hart

Salah satu "pertanyaan abadi" (persistent questions) yang mengganggu teori hukum adalah mengenai hakikat aturan dan kewajiban. Dalam praktik perpajakan, seringkali muncul pandangan skeptis—serupa dengan pandangan Realisme Hukum Amerika—bahwa hukum hanyalah "ramalan tentang apa yang akan dilakukan oleh pengadilan",.

Bagi seorang perencana pajak yang agresif, aturan perpajakan seringkali tidak dilihat sebagai standar moral atau hukum yang mengikat, melainkan sebagai variabel risiko: "Berapa persen kemungkinan saya diperiksa?" atau "Berapa besar kemungkinan hakim akan memenangkan saya?"

H.L.A. Hart menolak pandangan reduksionis ini. Ia berargumen bahwa mendefinisikan kewajiban hukum semata-mata sebagai prediksi akan adanya sanksi (teori prediktif) adalah sebuah kesalahan fatal yang mengabaikan dimensi internal dari hukum itu sendiri.

Dalam konteks Indonesia, di mana Pengadilan Pajak dibentuk untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum, memahami kritik Hart ini menjadi krusial untuk membedakan antara kepatuhan pajak yang didasarkan pada hukum dengan kepatuhan yang didasarkan pada ketakutan semata.

Kritik Terhadap Teori Prediktif dalam Sengketa Pajak

Hart memulai kritiknya dengan membedakan antara kondisi "terpaksa" (being obliged) dan "memiliki kewajiban" (having an obligation),.

1. Kegagalan Logika Prediksi Teori prediktif menyatakan bahwa seseorang memiliki kewajiban hanya jika ia kemungkinan besar akan menderita sanksi jika membangkang. Jika teori ini diterapkan pada hukum pajak, maka seorang Wajib Pajak yang berhasil menyembunyikan asetnya dengan sempurna di luar negeri—sehingga probabilitas ketahuannya nol—secara logis tidak memiliki kewajiban pajak.

Hart menunjukkan cacat logika ini: fakta bahwa seseorang berhasil lolos dari sanksi tidak menghapus kewajibannya. Di Pengadilan Pajak, sengketa sering terjadi bukan karena Wajib Pajak memprediksi akan lolos, tetapi karena adanya perbedaan penafsiran aturan. Jika hukum hanyalah prediksi sanksi, maka argumen di pengadilan akan kehilangan makna normatifnya.

2. Hakim Bukan Peramal Kelemahan terbesar teori prediktif terlihat saat kita mengamati perilaku hakim. Jika aturan hukum hanyalah prediksi tentang apa yang akan dilakukan hakim, maka bagi hakim itu sendiri, aturan tersebut tidak memiliki fungsi. Hakim tidak melihat aturan pajak (misalnya UU PPh) sebagai alat untuk memprediksi keputusannya sendiri di masa depan. Sebaliknya, hakim melihat aturan sebagai panduan (guide) dan pembenar (justification) untuk menjatuhkan putusan,.

Hal ini tercermin jelas dalam Pasal 78 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Pasal tersebut menyatakan: "Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim".

Kata "berdasarkan" dalam pasal ini menegaskan posisi Hart: aturan undang-undang adalah alasan pembenar bagi putusan hakim, bukan ramalan. Hakim tidak berkata, "Saya memprediksi saya akan menolak banding Anda karena probabilitas sanksi tinggi." Hakim berkata, "Saya menolak banding Anda karena Anda melanggar Pasal X UU Perpajakan."

Analogi: Lampu Merah dan Kesadaran Hukum

Untuk memperjelas perbedaan radikal antara melihat hukum sebagai prediksi (sudut pandang eksternal) dengan hukum sebagai standar (sudut pandang internal), Hart menggunakan analogi lampu lalu lintas yang sangat relevan jika kita terapkan dalam konteks kepatuhan pajak.

Analogi Lampu Merah (The Red Light Analogy):

Bayangkan sebuah persimpangan jalan dengan lampu lalu lintas.

Perspektif Prediktif (Wajib Pajak "Bad Man"): Seseorang yang hanya memiliki sudut pandang eksternal melihat lampu merah menyala hanya sebagai "tanda alam" bahwa mobil lain akan berhenti atau polisi akan muncul. Bagi dia, lampu merah adalah sinyal probabilitas risiko. Jika ia yakin tidak ada polisi (tidak ada risiko audit/sanksi), lampu merah itu tidak bermakna apa-apa baginya. Ia akan menerobos. Ini adalah sikap Wajib Pajak yang patuh hanya karena takut sanksi administrasi atau pidana.

Perspektif Normatif (Hakim/Wajib Pajak Patuh): Bagi mereka yang menerima aturan (sudut pandang internal), lampu merah bukan sekadar tanda prediksi. Lampu merah adalah alasan (reason) atau sinyal bagi mereka untuk berhenti. Mereka berhenti bukan karena memprediksi polisi akan datang, tetapi karena "aturan mengharuskan berhenti saat lampu merah".

Relevansi di Pengadilan Pajak: Dalam ruang sidang Pengadilan Pajak, Hakim dan Fiskus (Terbanding) menggunakan sudut pandang internal ini. Ketika Fiskus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP), mereka tidak sedang membuat taruhan atau prediksi. Mereka menggunakan aturan pajak sebagai standar untuk menilai perilaku Wajib Pajak sebagai "salah" atau "kurang bayar". Pengadilan Pajak berfungsi untuk memvalidasi apakah standar tersebut telah diterapkan dengan benar, bukan untuk menghitung ulang peluang risiko.

Implikasi Bagi Pengadilan Pajak

Penerimaan terhadap teori Hart bahwa hukum adalah sistem aturan yang memberikan standar pembenar, bukan sekadar ancaman sanksi, memiliki implikasi serius bagi eksistensi Pengadilan Pajak:

  1. Legitimasi Putusan: Putusan Pengadilan Pajak bersifat akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Finalitas ini hanya dapat diterima secara moral jika putusan tersebut didasarkan pada aturan yang valid (sebagai justifikasi), bukan sekadar karena hakim memiliki kekuasaan koersif (sebagai gunman).
  2. Kepastian Hukum: UU Pengadilan Pajak bertujuan menciptakan kepastian hukum. Kepastian ini tidak bisa dicapai melalui metode prediktif yang fluktuatif, melainkan melalui penerapan aturan sekunder (rule of adjudication) yang menetapkan siapa yang berwenang memutus sengketa secara otoritatif.
  3. Koreksi atas Kekuasaan: Pengadilan Pajak bertugas memeriksa sengketa keputusan pejabat. Ini menunjukkan bahwa hukum pajak membatasi kekuasaan negara. Jika hukum hanya prediksi sanksi dari penguasa, maka konsep "sengketa" menjadi tidak relevan karena penguasa (sumber sanksi) akan selalu benar. Keberadaan pengadilan membuktikan bahwa aturan pajak mengikat baik warga maupun pejabatnya.

Kesimpulan

H.L.A. Hart mengajarkan kita bahwa kebingungan dalam memahami hukum seringkali muncul karena kita gagal membedakan antara "diharuskan oleh ancaman" (obliged) dengan "memiliki kewajiban" (obligation). Dalam konteks Indonesia, Pengadilan Pajak tidak boleh dipandang sekadar sebagai arena negosiasi risiko atau kalkulasi probabilitas sanksi (Teori Prediktif).

Sebaliknya, sesuai dengan Pasal 78 UU No. 14 Tahun 2002, Pengadilan Pajak adalah manifestasi dari aspek internal hukum: sebuah institusi di mana aturan undang-undang digunakan sebagai standar rasional dan alasan pembenar untuk menyelesaikan perselisihan. Tanpa pemahaman ini, hukum pajak hanya akan terdegradasi menjadi alat pemalak yang canggih, dan Pengadilan Pajak kehilangan marwahnya sebagai benteng keadilan. (ldr)

Baca Juga: Memahami Sengketa Pajak: Ketika Kepentingan Negara Bertemu Hak Wajib Pajak

 

Daftar Pustaka:

  1. Hart, H.L.A. (2012). The Concept of Law (3rd ed.). Oxford University Press.

Republik Indonesia. (2002). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…