Naskah ini menganalisis relevansi pemikiran H.L.A. Hart dalam The Concept of
Law, khususnya kritiknya terhadap "Teori Prediktif tentang
Kewajiban", dalam konteks Pengadilan Pajak di Indonesia.
Fokus utama kajian adalah membedah kekeliruan memandang hukum pajak
semata-mata sebagai prediksi atas sanksi fiskal. Dengan menggunakan analogi
"Lampu Merah" dan analisis Pasal 78 UU No. 14 Tahun 2002, naskah ini
berargumen bahwa Pengadilan Pajak (PP) berfungsi sebagai penegak standar
normatif yang memberikan alasan pembenar (justification), bukan sekadar
validator atas probabilitas hukuman.
Pendahuluan:
Hukum Sebagai Prediksi?
Baca Juga: Meninjau Peradilan Pajak Indonesia Melalui Lensa "Kebingungan Teori Hukum" H.L.A. Hart
Salah satu "pertanyaan abadi" (persistent questions)
yang mengganggu teori hukum adalah mengenai hakikat aturan dan kewajiban. Dalam
praktik perpajakan, seringkali muncul pandangan skeptis—serupa dengan pandangan
Realisme Hukum Amerika—bahwa hukum hanyalah "ramalan tentang apa yang akan
dilakukan oleh pengadilan",.
Bagi seorang perencana pajak yang agresif, aturan perpajakan seringkali
tidak dilihat sebagai standar moral atau hukum yang mengikat, melainkan sebagai
variabel risiko: "Berapa persen kemungkinan saya diperiksa?" atau
"Berapa besar kemungkinan hakim akan memenangkan saya?"
H.L.A. Hart menolak pandangan reduksionis ini. Ia berargumen bahwa
mendefinisikan kewajiban hukum semata-mata sebagai prediksi akan adanya sanksi
(teori prediktif) adalah sebuah kesalahan fatal yang mengabaikan dimensi internal
dari hukum itu sendiri.
Dalam konteks Indonesia, di mana Pengadilan Pajak dibentuk untuk menjamin
keadilan dan kepastian hukum, memahami kritik Hart ini menjadi krusial untuk membedakan
antara kepatuhan pajak yang didasarkan pada hukum dengan kepatuhan yang
didasarkan pada ketakutan semata.
Kritik
Terhadap Teori Prediktif dalam Sengketa Pajak
Hart memulai kritiknya dengan membedakan antara kondisi
"terpaksa" (being obliged) dan "memiliki kewajiban"
(having an obligation),.
1. Kegagalan
Logika Prediksi Teori prediktif menyatakan
bahwa seseorang memiliki kewajiban hanya jika ia kemungkinan besar akan
menderita sanksi jika membangkang. Jika teori ini diterapkan pada hukum pajak,
maka seorang Wajib Pajak yang berhasil menyembunyikan asetnya dengan sempurna
di luar negeri—sehingga probabilitas ketahuannya nol—secara logis tidak
memiliki kewajiban pajak.
Hart menunjukkan cacat logika ini: fakta bahwa seseorang berhasil lolos
dari sanksi tidak menghapus kewajibannya. Di Pengadilan Pajak, sengketa sering
terjadi bukan karena Wajib Pajak memprediksi akan lolos, tetapi karena adanya
perbedaan penafsiran aturan. Jika hukum hanyalah prediksi sanksi, maka argumen
di pengadilan akan kehilangan makna normatifnya.
2. Hakim
Bukan Peramal Kelemahan terbesar teori
prediktif terlihat saat kita mengamati perilaku hakim. Jika aturan hukum
hanyalah prediksi tentang apa yang akan dilakukan hakim, maka bagi hakim itu
sendiri, aturan tersebut tidak memiliki fungsi. Hakim tidak melihat aturan
pajak (misalnya UU PPh) sebagai alat untuk memprediksi keputusannya sendiri di
masa depan. Sebaliknya, hakim melihat aturan sebagai panduan (guide)
dan pembenar (justification) untuk menjatuhkan putusan,.
Hal ini tercermin jelas dalam Pasal 78 UU No. 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak. Pasal tersebut menyatakan: "Putusan Pengadilan
Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan
Hakim".
Kata "berdasarkan" dalam pasal ini menegaskan posisi Hart:
aturan undang-undang adalah alasan pembenar bagi putusan hakim, bukan ramalan.
Hakim tidak berkata, "Saya memprediksi saya akan menolak banding Anda
karena probabilitas sanksi tinggi." Hakim berkata, "Saya menolak
banding Anda karena Anda melanggar Pasal X UU Perpajakan."
Analogi:
Lampu Merah dan Kesadaran Hukum
Untuk memperjelas perbedaan radikal antara melihat hukum sebagai prediksi
(sudut pandang eksternal) dengan hukum sebagai standar (sudut pandang
internal), Hart menggunakan analogi lampu lalu lintas yang sangat relevan jika
kita terapkan dalam konteks kepatuhan pajak.
Analogi
Lampu Merah (The Red Light Analogy):
Bayangkan sebuah persimpangan jalan dengan lampu lalu lintas.
Perspektif
Prediktif (Wajib Pajak "Bad Man"): Seseorang yang hanya memiliki sudut pandang eksternal melihat lampu
merah menyala hanya sebagai "tanda alam" bahwa mobil lain akan
berhenti atau polisi akan muncul. Bagi dia, lampu merah adalah sinyal probabilitas
risiko. Jika ia yakin tidak ada polisi (tidak ada risiko audit/sanksi), lampu
merah itu tidak bermakna apa-apa baginya. Ia akan menerobos. Ini adalah sikap
Wajib Pajak yang patuh hanya karena takut sanksi administrasi atau pidana.
Perspektif Normatif
(Hakim/Wajib Pajak Patuh): Bagi mereka yang menerima
aturan (sudut pandang internal), lampu merah bukan sekadar tanda prediksi.
Lampu merah adalah alasan (reason) atau sinyal bagi mereka untuk
berhenti. Mereka berhenti bukan karena memprediksi polisi akan datang, tetapi
karena "aturan mengharuskan berhenti saat lampu merah".
Relevansi di
Pengadilan Pajak: Dalam ruang sidang
Pengadilan Pajak, Hakim dan Fiskus (Terbanding) menggunakan sudut pandang
internal ini. Ketika Fiskus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP), mereka
tidak sedang membuat taruhan atau prediksi. Mereka menggunakan aturan pajak
sebagai standar untuk menilai perilaku Wajib Pajak sebagai "salah"
atau "kurang bayar". Pengadilan Pajak berfungsi untuk memvalidasi apakah
standar tersebut telah diterapkan dengan benar, bukan untuk menghitung ulang
peluang risiko.
Implikasi
Bagi Pengadilan Pajak
Penerimaan terhadap teori Hart bahwa hukum adalah sistem aturan yang
memberikan standar pembenar, bukan sekadar ancaman sanksi, memiliki implikasi serius
bagi eksistensi Pengadilan Pajak:
- Legitimasi Putusan: Putusan Pengadilan Pajak bersifat akhir dan
mempunyai kekuatan hukum tetap. Finalitas ini hanya dapat diterima secara
moral jika putusan tersebut didasarkan pada aturan yang valid (sebagai
justifikasi), bukan sekadar karena hakim memiliki kekuasaan koersif
(sebagai gunman).
- Kepastian Hukum: UU Pengadilan Pajak bertujuan menciptakan
kepastian hukum. Kepastian ini tidak bisa dicapai melalui metode prediktif
yang fluktuatif, melainkan melalui penerapan aturan sekunder (rule of
adjudication) yang menetapkan siapa yang berwenang memutus sengketa
secara otoritatif.
- Koreksi atas Kekuasaan: Pengadilan Pajak bertugas memeriksa sengketa
keputusan pejabat. Ini menunjukkan bahwa hukum pajak membatasi kekuasaan
negara. Jika hukum hanya prediksi sanksi dari penguasa, maka konsep
"sengketa" menjadi tidak relevan karena penguasa (sumber sanksi)
akan selalu benar. Keberadaan pengadilan membuktikan bahwa aturan pajak
mengikat baik warga maupun pejabatnya.
Kesimpulan
H.L.A. Hart mengajarkan kita bahwa kebingungan dalam memahami hukum
seringkali muncul karena kita gagal membedakan antara "diharuskan oleh
ancaman" (obliged) dengan "memiliki kewajiban" (obligation).
Dalam konteks Indonesia, Pengadilan Pajak tidak boleh dipandang sekadar sebagai
arena negosiasi risiko atau kalkulasi probabilitas sanksi (Teori Prediktif).
Sebaliknya, sesuai dengan Pasal 78 UU No. 14 Tahun 2002, Pengadilan Pajak
adalah manifestasi dari aspek internal hukum: sebuah institusi di mana aturan
undang-undang digunakan sebagai standar rasional dan alasan pembenar untuk
menyelesaikan perselisihan. Tanpa pemahaman ini, hukum pajak hanya akan
terdegradasi menjadi alat pemalak yang canggih, dan Pengadilan Pajak kehilangan
marwahnya sebagai benteng keadilan. (ldr)
Baca Juga: Memahami Sengketa Pajak: Ketika Kepentingan Negara Bertemu Hak Wajib Pajak
Daftar
Pustaka:
- Hart, H.L.A. (2012). The Concept of Law
(3rd ed.). Oxford University Press.
Republik Indonesia. (2002). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI