Cari Berita

Menelisik Kitab Hukum Kutara Manawa Dharmasastra, Aturan Hukum Era Majapahit

article | History Law | 2025-09-18 13:50:00

Kerajaan Majapahit, merupakan salah satu Kerajaan Nusantara terbesar dalam Sejarah Indonesia yang didirikan pada tahun 1293 oleh Raden Wijaya. Salah satu peninggalan yang sangat terkenal hingga saat ini yaitu sumpah palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada pada saat itu.Masa kejayaan Kerajaan Majapahit terjadi pada tahun 1350-1389 ketika raja Hayam Wuruk sebagai raja menjalankan pemerintahannya dan berhasil menguasai wilayah yang sangat luas dari Jawa, Semenanjung Malaka, hingga beberapa wilayah di Filipina.Terhadap kejayaan tersebut, pernahkah kita memikirkan mengenai bagaimana pemerintahan Majapahit mengatur rakyat dan pemerintahannya? Hukum apa yang digunakan pada saat itu?Salah satu kitab hukum yang terkenal dan juga digunakan sebagai refrensi dalam pembuatan KUHP Nasional oleh Tim Perumus KUHP yaitu Kitab Kutara Manawa Dharmasastra atau biasa dikenal sebagai Kitab Kutara Manawa.Latar BelakangKitab Kutara Manawa tercatat sebagai kitab hukum yang disebut sebagai sang hyang agama dan diberlakukan pada Kerajaan majapahit dalam kurun waktu 1293 sampai dengan 1500 Masehi. Terdapat 2 piagam yang mengatur mengenai kitab kutara manawa yaitu piagam bendasari dan piagam trawulan pada tahun 1358. Perlu diketahui, kitab hukum kutara manawa terdiri atas 275 pasal yang terdiri atas aturan hukum pidana dan hukum perdata.Kitab kutara manawa dharmasastra digunakan oleh Raja Hayam Wuruk untuk menegakan aturan hukum. Dengan kata lain, meskipun kekuasaan raja pada saat itu sangat besar, tetapi segala tindakan raja menggunakan parameter hukum yang berlaku saat itu.  Selain itu, dalam melakukan penegakan hukum, raja dibantu oleh dua orang dharmadyaksa yang didukung oleh tujuh orang upapati. Pengaturan HukumKitab kutara manawa sebagaimana dijelaskan diatas, tidaklah membagi secara khsusus dalam bab hukum pidana maupun perdata. Melainkan didalamnya termuat secara langsung ketentuan tersebut seperti aturan mengenai perkara pidana— pembunuhan (astadusta), pencurian (astacorah), dan penganiayaan (walat)— dan perkara perdata—jual-beli (adolatuku), pembagian warisan (drewe kaliliran), utang-piutang (ahutang-apihutang), dan perkawinan (kawarangan) yang termuat dalam satu kitab tersebut.Dalam perkembangan atas penerapan Kitab kutara manawa tersebut, Gajah Mada melihat perlu adanya penyempurnaan aturan dan tatanan hukum dimana penetapan hukuman pidana terbagi ke dalam dua kelompok yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Dimana urainya pidana pokok terdiri atas; (i) pidana mati; (ii) pidana potong anggota tubuh; (iii) denda; (iv) panglisyawa atau patukusyawa. Sedangkan terhadap pidana tambahan meliputi; (i) tebusan; (ii) penyitaan; dan (iii) patibajampi.Hukuman pidana mati pada masa Kerajaan Majapahit termasuk kedalam pidana pokok, yang diikuti oleh pidana pemotongan anggota tubuh. Hukuman potong anggota tubuh dikenakan kepada seseorang yang terbukti melakukan perbuatan berupa; (i) pencurian emas; (ii) intan; (iii) kain; dan (iv) barang berharga lainnya. Sedangkan terhadap seseorang yang kedapatan mencuri kerbau, sapi, dan kuda sebagai binatang penarik kereta akan dikenakan hukuman potong setengah kaki.Penerapan HukumanKitab kutara manawa juga mengatur besaran denda yang diukur berdasarkan jenis kasta, akibat yang diderita oleh korban, waktu perbuatan, niat jahat, dan jenis perbuatan. Adapun besarnya denda yang ditetapkan adalah; (i) Satak Rawe (250); (ii) Samas (400); (iii) Domas (800); (iv) Setali (1000); (v) Rwang Tali (2000); (vi) Patang Tali (4000); (vii) Salaksa (10.000), (viii) Rwang Laksa (20.000); (ix) Patang Laksa (40.000); dan (x) Saketi Nem Laksa (160.000) dalam hitungan uang perak.Jika pemukulan, pelemparan, pemerangan yang dilakukan tidak mengakibatkan penderitaan berat, dendanya Samas (400). Jika lukanya sedang, dendanya Setali (1000).Sesuatu hal yang menarik dalam kitab kutara manawa adalah penerapan hukuman mati yang dapat diganti dengan membayar tebusan uang dalam jumlah tertentu. Akan tetapi, hanya teruntuk kasus-kasus tertentu saja. Perbuatan seperti melakukan tenung, menebar fitnah berbahaya, melakukan tindakan membahayakan raja merupakan perbuatan yang dapat dihukum dengan hukuman mati.Pidana AnakKitab kutara manawa juga sudah mengatur mengenai batas usia anak yang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. Disebutkan bahwa jenis tindak pidana dari yang terancam hukuman berat maupun ringan, tidak berlaku terhadap anak-anak yang berusia dibawah sepuluh tahun karena digolongkan belum dewasa. Anak-anak yang belum dapat membedakan baik dan jahat, yang berusia di bawah sepuluh tahun, jika berbuat yang tidak baik, tidak layak dikenakan hukuman oleh raja. Berdasarkan ataruan yang demikian, dapat kita pahami bahwa ketentuan batasan usia seseorang dapat dikenai pidana ternyata sudah dikenal dalam era majapahit, meskipun terdapat perbedaan usia dalam pertanggungjawaban pidana yang berlaku di masa sekarang.PenutupDengan demikian, adanya kitab kutara manawa sebagai kitab yang telah diterapkan pada era Kerajaan majapahit merupakan salah satu peninggalan Sejarah di bidang hukum yang sangat bermanfaat bagi seorang jurist atau ahli hukum di masa sekarang. Generasi saat ini dapat mempelajari mengenai kondisi Sejarah hukum pada masa lalu, sehingga dapat mengambil intisari dan nilai hukum serta Sejarah dalam melakukan penerapan hukum di masa sekarang. (zm/fac)Referensi :Agus Sunyoto, Mahapatih Mangkubhumi Majapahit PU Gajah Mada, Malang, Penerbit Pustaka Pesantren Nusantara, 2019Slamet Mulyana, Perundang-undangan Majapahit, Djakarta, Bhratara, 1967Dr. Tanti Kirana Utami, Kilas Sejarah Penyusunan Kitab Kutaramanawadharmasastra Kerajaan Majapahit, Damera Press, 2023Dr. Edi Atmaja, Menafsir Teks Hukum Kuno, https://library.bpk.go.id/pathfinder/files/webservices/jkpkbpkpp-dl-20250616123243.pdf