Cari Berita

PK Ditolak, Pemilik Perusahaan Tetap Dibui 4 Tahun di Kasus TPPO ke Jepang

article | Sidang | 2025-09-29 11:25:32

Jakarta – Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan peninjauan kembali (PK) yang dimohonkan oleh Terpidana M. Akbar Gusmawan (34). Akbar dihukum dalam perkara tindak pidana perdagangan orang (TPPO) ke Jepang. Putusan tersebut tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2242 PK/Pid.Sus/2025 tanggal 20 Agustus 2025. “Menolak permohonan PK dari Pemohon PK/Terpidana M. Akbar Gusmawan tersebut,” ucap Ketua Majelis PK Hidayat Manao, didampingi Para Hakim Anggota PK Yanto dan Sigid Triyono sebagaimana dikutip DANDAPALA dari salinan putusan yang dilansir website MA, Senin (29/9/2025).Sebelumnya, PN Denpasar telah menyatakan Terpidana M. Akbar Gusmawan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta dalam permufakatan jahat untuk melakukan perdagangan orang beberapa kali. Akbar dihukum pidana penjara selama 4  Tahun dan pidana denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan.Majelis Hakim PN Denpasar juga membebankan kepada Terpidana untuk membayar restitusi sebesar Rp 366 juta kepada para korban.Kasus ini bermula saat itu terpidana mendirikan perusahaan PT Mutiara Abadi Gusmawan (PT MAG) yang bergerak di bidang perekrutan dan penempatan pekerja di dalam dan luar negeri khususnya ke negara Jepang di bidang hospitality dan bidang pertanian pada 23 Juli 2020. Terpidana tercatat sebagai Direktur sekaligus pemilik saham mayoritas (95%) PT MAG. PT MAG awalnya menjanjikan kepada para korban untuk bekerja di Jepang. Kemudian PT MAG menawarkan kepada para korban sebelum bekerja di Jepang, agar para korban bekerja sementara di Malaysia. Atas penawaran tersebut, para korban ada yang menerimanya. Ternyata setelah itu tidak ada satu pun para lorban yang diberangkat ke Jepang. Para korban diberangkatkan ke Malaysia dengan visa holiday dengan tujuan mengelabuhi Kantor Imigrasi Malaysia. Padahal para korban berangkat ke Malaysia dengan tujuan untuk bekerja.Atas perbuatan Terpidana selaku Direktur PT MAG telah menimbulkan kerugian bagi para korban. “Alasan permohonan PK Terpidana bukanlah keadaan baru/novum. Selain itu tidak terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dan Judex Facti telah mengadili Terpidana dalam perkara a quo sesuai hukum acara pidana yang berlaku,” tambah Majelis PK dalam Putusan PK. Atas ditolaknya Permohonan PK Terpidana, vonis yang dijatuhkan oleh PN Denpasar dalam Putusan Nomor 527/Pid.Sus/2023/PN Dps tanggal 14 November 2023 tetap berlaku. (zm/wi)

Kisah Salah Tangkap Sengkon-Karta dan PK Pertama di Indonesia

article | History Law | 2025-04-05 16:25:45

KISAH salah tangkap yang cukup membuat geger jagat hukum Indonesia yaitu Sengkon dan Karta. Bagaimana kisahnya?Sengkon dan Karta adalah dua orang petani kecil dari Desa Bojongsari, Bekasi yang telah di penjara atas tuduhan pembunuhan yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan pada November tahun 1974. Keduanya adalah seorang petani miskin ini dituduh menjadi pelaku pembunuhan pasangan Sulaiman dan Siti Haya pada November 1974.  Kisah mereka berawal pada 1974, sebuah masalah besar menimpa mereka bak petir di siang bolong tiba tiba keduanya ditangkap oleh aparat kepolisian kala itu mereka Sengkon dan Karta dituduh menjadi pelaku perampok dan pembunuhan sepasang suami istri bernama Sulaiman dan Siti Haya. Konon Sengkon dan Karta mengalami siksaan fisik agar mau mengakui perbuatan keji mereka tersebut. Namun, Sengkon dan Karta terus mengelak dan mengatakan mereka tidak bersalah. Pada akhirnya, seberapa kuat usaha Sengkon dan Karta menyelamatkan diri, mereka tetap divonis bersalah atas perbuatan perampokan dan pembunuhan. “Sengkon dijatuhi hukuman penjara selama 12 tahun dan Karta selama tujuh tahun,” demikian sebagaimana arsip sumber PN Bekasi Oktober 1977 yang dikutip DANDAPALA, Sabtu (5/4/2025).Mereka menjalani hukuman penjara di LP Cipinang. Di tengah masa hukumannya, Sengkon dan Karta bertemu dengan tahanan lain bernama Gunel yang masih memiliki hubungan darah dengan Sengkon. Pada saat itu, Gunel dipenjara atas kesalahannya melakukan pencurian. Lebih lanjut, Gunel juga mengaku kepada Sengkon bahwa ia merupakan pelaku perampokan di Desa Bojongsari dan membunuh Sulaiman-Siti Haya. Dalam pengakuannya, Gunel menyatakan membunuh Sulaeman pada 20 November 1974 di Kampung Bojongsari, Desa Jatiluhur, Kecamatan Pondok Gede, Bekasi.Gunel mengaku membunuh pasutri itu bersama dengan tiga orang lainnya. Gunel dkk lalu dihukum penjara atas kasus perampokan itu.Atas fakta baru itu, dunia hukum geger, Sengkon dan Karta mengajukan PK melalui PN Bekasi pada tanggal  3 November 1980. Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi Artomo Singodiredjo SH mengajukan permohonan schorsing (penundaan) kepada Kepala LP Cipinang agar Sengkon dan Karta dibebaskan terlebih dahulu. Permohonan tersebut kemudian dikabulkan oleh Jaksa Agung Ali Said SH, yang mengirim surat kepada Menteri Kehakiman dan Ketua MA dengan maksud sama. Sengkon dan Karta bebas. Pada 4 November 1980, Sengkon dan Karta resmi keluar dari penjara dengan bebas setelah PK mereka dikabulkan MA.Kasus Sengkon dan Karta akhirnya menghasilkan PERMA Nomor 1 Tahun 1980 yang menjadi dasar hukum pertama yang mengatur tata cara pengajuan PK di Indonesia. Adapun alasan-alasan yang dapat diajukan dalam permohonan PK meliputi:1. Ditemukan bukti baru (novum) yang sebelumnya tidak diketahui dan bisa mengubah putusan.2. Putusan hakim yang bertentangan satu sama lain pada tingkat pengadilan yang sama atau berbeda.3. Kesalahan nyata dalam putusan yang menimbulkan ketidakadilan.PERMA Nomor 1 Tahun 1980 memberikan panduan yang jelas tentang prosedur PK, termasuk syarat-syarat pengajuan dan batas waktu pengajuan. Peraturan ini memberikan landasan bagi MA untuk mengoreksi kesalahan yang terjadi dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.PERMA Nomor 1 Tahun 1980 itu kemudian diadopsi dalam KUHAP yang disahkan pada 31 Desmeber 1981.Itulah sekelumit cerita tentang Senkon dan Karta yang telah memjadi terobosan hukum di Indonesia (EES/asp).Referensi:Lubis, T Mulya. Alexander Lay. (2009). Kontroversi Hukuman Mati, Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. AMD. (13 Maret 1980). Tertuduh Ditemukan Terhukum dalam Kasus yang Sama. Arsip Kompas. AMD. (19 Maret 1980). Disidangkan Kembali, Perkara Pembunuhan Suami-Isteri Sulaeman. Arsip Kompas. AMD. (24 April 1980). Keterangan Dua Saksi Saling Berbeda. Arsip Kompas. AMD. (20 Juni 1980). Tertuduh Utama Dituntut Hukuman 12 Tahun. Arsip Kompas. AMD. (16 Oktober 1980). Dari Sidang Pembunuhan Suami Istri Sulaeman:kompas.