Konstruksi korban dalam sistem peradilan pidana Indonesia pada awalnya memang mengalami marginalisasi atau peminggiran secara normatif. Marginalisasi korban dalam sistem peradilan pidana dilatarbelakangi oleh eksistensi hukum pidana materil (KUHP) dan hukum pidana formil (KUHAP) yang beraliran daad-dader-strafrecht sehingga definisi korban pun tidak diatur dalam KUHP dan KUHAP. KUHP Nasional yang diberlakukan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 merupakan translate dari KUHP Belanda yang dibentuk pada tahun 1881 dan diberlakukan tahun 1886 yang masih sangat kuat beraliran daad-strafrecht (fokus pada perbuatan) dan kemudian daad-daader strafrecht (fokus perbuatan dan orang) dengan paradigma retributif yang kuat sehingga hal ini menyebabkan korban tidak mendapatkan atensi dan termarginalisasi dalam sistem peradilan pidana.
Sedangkan dalam konteks hukum acara pidana, sebelum eksistensi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), maka yang berlaku adalah HIR (Herzien Inlandsch Reglement) yang merupakan operasionalisasi paradigma retributif (fokus pada orang dan perbuatan) dari KUHP dengan atensi pada kecepatan penegakan hukum pidana sehingga hak-hak hukum pelaku seringkali tidak diperhatikan dan dilanggar. Kemudian keberlakuan KUHAP juga belum memberikan perhatian terhadap peran dan perlindungan terhadap korban mengingat spirit pembentukan KUHAP adalah memperkuat due process of law dalam hal ini terkait perlindungan hak-hak pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa/terpidana) dan akuntabilitas mekanisme kinerja penegak hukum. Fokus KUHAP adalah melindungi tersangka/terdakwa/terpidana dari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum sebagaimana yang terjadi saat berlakunya HIR. Kondisi ini menyebabkan perhatian kepada hak dan perlindungan korban menjadi sangat minim dan termarginalkan.
Secara historis, dinamika perkembangan korban dalam sistem peradilan pidana pada dasarnya dapat dilihat dalam tiga periodesasi hukum pidana Indonesia.
Pertama, hukum pidana yang berorientasi pada pembalasan semata (retributif/absolut)/daad-strafrecht. Merupakan periodesasi di saat konsep pemasyarakatan belum dikenal dalam tata hukum Indonesia dan hukum acara pidana masih menggunakan HIR. Istilah pemasyarakatan sendiri dikenal pertama kali tahun 1963 yang dicetuskan oleh DR. Saharjo (Menteri Hukum dan Kehakiman saat itu) dalam pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Indonesia. Secara formal konsep pemasyarakatan mulai memiliki landasan yuridis formal sejak diundangkannya UU Pemasyarakatan tahun 1995.
Kedua, hukum pidana sebagai sarana mencapai tujuan-tujuan tertentu (relatif/gabungan)/daad-dader-strafrecht. Periodesasi sejak UU Pemasyarakatan mulai diterapkan. Pada periodesasi ini, sanksi pidana tidak sekadar dijadikan alat pembalasan melainkan sebagai sarana reformasi untuk memperbaiki narapidana (resosialisasi). Pemasyarakatan merupakan obat bagi orang 'sakit' yakni narapidana agar sembuh dan dapat melebur kembali ke dalam masyarakat sebagai pribadi yang baik untuk mendukung pembangunan bangsa. Dalam periodesasi kedua ini pusat perhatian dalam penegakan hukum pidana terletak pada pelaku sehingga kemudian pada tahap ini dikenal konsep mengenai individualisasi pidana.
Akan tetapi, dalam realitasnya, konsep pemasyarakatan mengalami disfungsi karena faktor over capasity akibat core pemenjaraan masih menjadi arus utama penyelesaian perkara pidana. Kemudian muncul pemikiran kontemporer agar penyelesaian perkara pidana tidak semua harus dengan sanksi perampasan kemerdekaan yang terbukti tidak efektif untuk menurunkan tingkat kejahatan dan juga mengabaikan kepentingan korban. Lalu munculah pemikiran periodesasi ketiga yang mengkonstruksikan konsep pemidanaan yang meletakkan peran strategis pada kepentingan korban. Sanksi pidana diarahkan untuk kepentingan korban.
Ketiga, hukum pidana yang berorientasi pada kepentingan korban. Jika pada periodesasi satu dan dua, sanksi pidana hanya berfokus pada perbuatan dan pelaku tindak pidana, pada periodesasi ketiga ini, sanksi pidana mulai memberikan perhatian terhadap korban sebagai pihak yang paling terdampak dari terjadinya tindak pidana. Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, maka tahun 2006 menjadi mailstones eksistensi hukum pidana yang berorientasi pada kepentingan korban, dari sinilah melembaga konsep restitusi dan kompensasi yang berfokus pada pemulihan hak-hak dan kepentingan hukum korban yang sebelumnya terampas akibat suatu tindak pidana. Meskipun demikian, sebelum UU Perlindungan Saksi dan Korban, konsep mengenai restitusi dan kompensasi telah dikenal dalam UU Pengadilan HAM namun hanya terbatas pada tindak pidana pelanggaran HAM berat.
Setelah lahirnya UU Perlindugan Saksi dan Korban, konsep restitusi dan kompensasi melembaga dalam berbagai aturan pidana khusus seperti UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. UU Sistem Peradilan Anak tahun 2012 melembagakan konsep diversi dalam penyelesaian perkara anak yang merupakan pelembagaan prinsip keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara anak dengan titik tumpu pada tanggungjawab pelaku, pemenuhan hak dan kepentingan korban serta restorasi hubungan antara pelaku dan korban dengan minimalisasi pemenjaraan.
Transformasi demarginalisasi korban dalam sistem peradilan pidana kemudian menjadi semakin bertumbuh dengan pembentukan peraturan-peraturan internal penegak hukum yang besifat keadilan restoratif dengan spirit keberpihakan pada korban seperti Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntuan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, hingga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana. Walaupun peraturan-peraturan internal penegak hukum tersebut masih memiliki berbagai kekurangan namun spirit untuk mengkonstruksikan korban dalam posisi centre of attention menjadi sebuah angin segar bagi perkembangan hukum pidana kedepan.
Demarginalisasi korban dalam sistem peradilan pidana sendiri akan semakin kuat dengan berlakunya KUHP baru Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 pada 2 Januari 2026 mendatang ditambah dengan pemberlakuan revisi KUHAP yang akan mengatur secara lebih rinci hak dan perlindungan korban dalam hukum acara pidana. KUHP baru membawa tiga spirit keadilan secara integral dengan meletakkan korban sebagai salah satu subyek utama dalam operasionalisasinya yakni keadilan korektif, (bagi pelaku) keadilan rehabilitatif (bagi korban dan pelaku), dan keadilan restoratif (bagi korban). Sanksi pidana diletakkan dalam kerangka keseimbangan antara kepentingan dan tanggungjawab pelaku, perlindungan dan pemulihan korban serta pemenuhan aspek partisipatif-edukatif. Jenis-jenis sanksi pidana pun bergeser dari core utama perampasan kemerdekaan menjadi ke arah korektif, rehabilitatif, dan restitutif/restoratif. Sehingga pendekatan daad-dader-strafrecht mulai bergeser menjadi daad-dader-victim-strafrecht. Sanksi fisik yang hanya menyasar pelaku kini diseimbangkan dengan pendekatan edukatif (pidana pengawasan/rehabilitasi) serta pendekatan materil dan imateril kepada korban berupa restitusi (ganti rugi) dan rehabilitasi yang memiliki manfaat direct bagi pemulihan hak dan kepentingan korban.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum