Cari Berita

Keterbukaan Informasi di Pengadilan: Menjaga Transparansi Tanpa Mengabaikan Privasi

Radityo Muhammad Harseno - Dandapala Contributor 2025-05-01 07:30:15
Radityo Muhammad Harseno

Pendahuluan

Dalam perkembangan sistem peradilan modern, keterbukaan informasi publik telah menjadi salah satu prinsip fundamental yang melegitimasi lembaga peradilan di mata masyarakat. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) menegaskan bahwa setiap badan publik, termasuk lembaga peradilan, berkewajiban menyediakan akses informasi yang transparan, akurat, dan akuntabel. Mahkamah Agung RI melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 2-144/KMA/SK/VIII/2022 tentang Standar Pelayanan Informasi Publik di Pengadilan, telah menegaskan bahwa layanan informasi bukan sekadar formalitas administratif, melainkan bagian dari pemenuhan hak konstitusional warga negara atas informasi, sekaligus instrumen untuk memperkuat akuntabilitas lembaga peradilan.

Baca Juga: Aplikasi Perkusi Badilum Sebagai Upaya Transparansi Pelaksanaan Eksekusi

Namun, di tengah laju digitalisasi layanan pengadilan dan tuntutan masyarakat terhadap keterbukaan, muncul tantangan baru yang tidak boleh diabaikan, yakni potensi pelanggaran hak atas privasi dan keamanan data pribadi. Lahirnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU Pelindungan Data Pribadi) menjadi isyarat kuat bahwa keterbukaan informasi harus dijalankan secara berimbang, tanpa mengabaikan perlindungan hak individu atas data pribadinya.

Fenomena seperti doxxing, peretasan, atau bahkan ancaman fisik yang disebabkan oleh kebocoran data melalui informasi pendukung yang dipublikasikan di website pengadilan, menjadi contoh konkret betapa ketidakhati-hatian dalam menampilkan informasi dapat menimbulkan risiko serius terhadap hak atas privasi, bahkan mengancam independensi dan keamanan aparatur peradilan.

Dalam konteks ini, menjaga transparansi informasi di pengadilan tanpa mengabaikan pelindungan privasi menjadi sebuah keniscayaan sekaligus tantangan praksis bagi Mahkamah Agung RI. Penulis, melalui artikel ini bermaksud menyampaikan opini, sebagai media untuk merefleksikan dinamika tersebut, dengan menelaah dasar hukum yang mengatur keterbukaan dan pelindungan data pribadi, menilik kembali realitas implementasi di lingkungan peradilan, serta menawarkan gagasan mengenai keterbukaan informasi yang ideal, dan tetap menghormati prinsip independensi serta keamanan aparatur peradilan.

Pengaturan Keterbukaan Informasi dan Perlindungan Data Pribadi

Keterbukaan informasi publik dalam lingkungan peradilan di Indonesia berakar dari pengaturan normatif melalui UU KIP yang secara tegas menetapkan bahwa informasi dalam penguasaan badan publik adalah milik masyarakat. Setiap warga negara berhak mengakses informasi tersebut sebagai bagian dari partisipasi dalam kehidupan bernegara yang demokratis. Tindak lanjut Mahkamah Agung RI atas mandat tersebut wujud melalui SK KMA Nomor 2-144/KMA/SK/VIII/2022 yang merinci standar pelayanan informasi publik di pengadilan, termasuk klasifikasi informasi, mekanisme pemberian informasi, dan prosedur pengecualian atas dasar perlindungan kepentingan tertentu.

Prinsip keterbukaan tersebut memang tidak berjalan dalam ruang hampa. Dinamika transformasi digital yang memperluas ruang distribusi informasi, menjadikan tuntutan kebutuhan untuk menjaga hak atas privasi semakin mengemuka. UU Pelindungan Data Pribadi memberikan kerangka baru yang menegaskan bahwa data pribadi adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dilindungi, termasuk dalam lingkup badan publik seperti lembaga peradilan. Konsekuensinya, keterbukaan informasi di satu sisi menjadi keharusan untuk membangun akuntabilitas dan kepercayaan publik, sementara di sisi lain, lembaga peradilan wajib memastikan bahwa keterbukaan itu tidak mengorbankan data pribadi—khususnya para aparatur peradilan—yang bersifat sensitif.

Pertemuan antara rezim keterbukaan dan rezim pelindungan data pribadi mengharuskan adanya interpretasi yang seimbang terhadap kedua kerangka hukum tersebut. Lembaga peradilan dituntut untuk tidak sekadar menjalankan keterbukaan sebagai kewajiban administratif, melainkan juga sebagai bentuk penghormatan terhadap hak konstitusional warga negara atas informasi dan privasi. Dalam konteks ini, keterbukaan informasi tidak boleh dipahami sebagai keterbukaan yang seluas-luasnya, melainkan keterbukaan yang cerdas, selektif, dan terbatas dengan berbasis perlindungan hak. Integrasi nilai-nilai ini menjadi pondasi utama dalam membangun pelayanan informasi publik yang akuntabel dan berintegritas di lingkungan peradilan.

Implementasi-Realitas: Capaian dan Tantangan dalam Pelayanan Informasi

Dalam praktiknya, lembaga peradilan kita telah menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam mengartikulasikan prinsip keterbukaan informasi melalui pelayanan konkret kepada masyarakat. Salah satu bentuk keberhasilan tersebut adalah penerapan kebijakan anonimisasi dalam putusan atau salinan putusan, terutama pada perkara anak, KDRT, atau kesusilaan serta perkara tertentu yang mengandung dimensi perlindungan khusus. Upaya pengaburan identitas para pihak dalam putusan, penghapusan data personal dalam publikasi elektronik, serta pengamanan terhadap informasi sensitif penerima layanan bantuan hukum mencerminkan kesadaran lembaga untuk mengedepankan keseimbangan antara transparansi dan pelindungan privasi.

Meskipun demikian, dalam tataran realitas masih saja terdapat sejumlah celah yang membuka ruang bagi potensi pelanggaran terhadap hak atas privasi. Salah satu contoh yang perlu dicermati adalah keterbukaan informasi melalui publikasi Daftar Riwayat Hidup aparatur pengadilan dalam dokumen-dokumen pendukung Zona Integritas maupun data pribadi berupa Nomor Induk Kependudukan (NIK) dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di dalam website pengadilan. Data pribadi seperti Nomor Induk Pegawai (NIP), NIK, yang memuat unsur tanggal lahir menjadi pangkal dari doxxing atau peretasan yang bahkan pernah dialami oleh Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Pontianak Isnurul Syamsul Arif, S.H., M.Hum. Kondisi ini bukan hanya menunjukkan betapa besarnya risiko pencurian data pribadi (identity theft) dapat terjadi, tetapi juga menempatkan aparatur peradilan, khususnya para hakim, pada potensi ancaman keamanan fisik maupun siber.

Realitas ini memperlihatkan bahwa meskipun kesadaran terhadap keterbukaan telah tumbuh, pemahaman mengenai batasan keterbukaan, khususnya terkait perlindungan data pribadi, belum sepenuhnya terinternalisasi dalam standar operasional prosedur layanan informasi di pengadilan. Pengelolaan informasi publik belum sepenuhnya berbasis pada prinsip selective disclosure, sehingga membuka ruang inkonsistensi antara semangat akuntabilitas dan kewajiban melindungi hak pribadi. Situasi ini menunjukkan perlunya pembenahan sistemik agar keterbukaan informasi benar-benar berjalan seiring dengan perlindungan terhadap martabat, keselamatan, dan privasi individu yang berinteraksi dengan lembaga peradilan.

Keterbukaan Informasi di Pengadilan: Antara Transparansi, Privasi, dan Independensi

Penerapan keterbukaan informasi di pengadilan sudah seharusnya mengedepankan prinsip integritas-akuntabilitas publik dengan tanpa mengalienasi penghormatan terhadap hak-hak dasar individu. Dalam konteks ini, keterbukaan tidak boleh diartikan sebagai pembukaan informasi secara serampangan, melainkan harus dijalankan secara selektif dan proporsional. Informasi yang menyangkut proses peradilan, layanan publik, dan laporan pertanggungjawaban keuangan memang perlu diakses luas oleh masyarakat. Namun sebaliknya, informasi yang berkaitan dengan data pribadi, keamanan individu, serta perlindungan terhadap kelompok rentan harus diperlakukan dengan ekstra hati-hati.

Lebih lanjut, sejujurnya, penerapan keterbukaan informasi berkelindan dengan perlindungan terhadap independensi dan keamanan aparatur peradilan, khususnya para hakim. Publikasi data pribadi aparatur yang bersifat sensitif, seperti pencantuman NIP, NIK, alamat, atau bahkan riwayat kehidupan pribadi dalam dokumen-dokumen peradilan, dapat membuka celah bagi ancaman terhadap keselamatan dan independensi hakim.

Padahal, prinsip judicial independence sebagaimana termuat dalam Prinsip-Prinsip Dasar Independensi Kehakiman PBB (1985) dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman harus dipahami secara integral dengan adanya jaminan bahwa hakim harus bebas dari tekanan, ancaman, atau pengaruh eksternal dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Dengan demikian, keterbukaan informasi yang ideal bukan hanya bicara soal integritas dan akuntabilitas kepada publik semata, melainkan juga tentang bagaimana menjaga ruang aman bagi hakim dan aparatur peradilan lainnya dalam menjalankan tugasnya secara merdeka.

Untuk itu, menurut hemat penulis, perlu adanya pendekatan evaluatif terhadap keterbukaan informasi dan layanan publik di lingkungan peradilan, yakni keterbukaan yang cerdas (smart openness). Pendekatan ini menuntut kita untuk melakukan klasifikasi dan seleksi informasi secara ketat, menerapkan prosedur secara konsisten, serta meningkatkan mekanisme audit keamanan informasi yang berkelanjutan di dalam lembar kerja evaluasi peradilan (baca: AMPUH Badilum).

Selain itu, literasi data digital bagi aparatur peradilan juga harus ditingkatkan melalui forum formal-informal (pengawasan bidang, rapat bulanan, atau bahkan coffee morning) agar setiap bentuk keterbukaan informasi senantiasa mempertimbangkan prinsip perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak atas privasi dan rasa aman. Dengan demikian, keterbukaan informasi di dalam lembaga peradilan akan benar-benar menjadi instrumen untuk memperkuat kepercayaan publik (public trust), dan bukan menjadi sumber ancaman terhadap integritas lembaga peradilan. (LDR)

Baca Juga: Keadilan di Era Digital Nurani di Tengah Kemajuan Teknologi


Radityo Muhammad Harseno, Hakim Pengadilan Negeri Putussibau

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum