Pengangkatan anak merupakan
praktik sosial yang hidup di tengah masyarakat Indonesia, baik sebagai
kebutuhan sosial maupun spiritual. Dalam konteks Bali, praktik ini dikenal
dengan istilah meras sentana atau ngangkat sentana, yang dimaknai bukan hanya
sebagai pengalihan anak ke dalam suatu keluarga, melainkan juga sebagai upaya
menjaga kesinambungan garis keturunan dan kewajiban adat.
Bagi umat Hindu di
Bali, kehadiran anak bukan sekadar penerus nama keluarga, melainkan juga
penopang swadharma (tanggung jawab) dan swadikara (hak) dalam hubungan dengan
leluhur, masyarakat adat, serta Tuhan Yang Maha Esa.
Namun, praktik ini
tidak bisa dilepaskan dari pengaturan hukum negara. Sejak lahirnya Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan
Peraturan Menteri Sosial Nomor 110/HUK/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan
Anak, negara menegaskan prinsip bahwa pengangkatan anak harus dilaksanakan demi
kepentingan terbaik bagi anak dan tidak memutuskan hubungan darah dengan orang
tua kandung.
Baca Juga: Menimbang Permohonan Ganti Nama Ber-Wangsa Dalam Bingkai Adat Bali
Di sisi lain,
Keputusan Pasamuhan Agung III Majelis Desa Adat Bali Tahun 2022 menegaskan
pedoman hukum adat Bali mengenai meras sentana (pengangkatan anak/penerus
keturunan) berdasarkan hukum adat bali. Dalam aturan ini ditegaskan bahwa
pengangkatan anak menurut adat Bali lebih diarahkan untuk kepentingan
keluarga/orang tua angkat, khususnya dalam memastikan keberlanjutan keturunan
dan kewajiban adat (parahyangan, pawongan, dan palemahan).
Dari sini muncul
sebuah dialektika: bagaimana hukum negara yang berorientasi pada perlindungan
anak dapat diselaraskan dengan hukum adat Bali yang bernafaskan Hindu dan
berorientasi pada kesinambungan keluarga serta spiritualitas?
Dalam hukum adat
Bali, meras sentana adalah praktik pengangkatan anak dengan tujuan utama
melanjutkan keturunan serta mengurus kewajiban adat dan agama. Hal ini tidak
hanya menyangkut persoalan keluarga dalam dimensi sekala (kenyataan), tetapi
juga dalam dimensi niskala (keyakinan). Anak angkat dianggap sebagai penerus
yang menjamin keberlanjutan kewajiban upacara keagamaan, keberlangsungan pura
keluarga, serta ketenteraman roh leluhur.
Keputusan Pasamuhan
Agung III MDA Bali No 04 /KEP-PSM.III/MDA-BALI/XII/2022 tentang Tentang Pedoman
Meras Sentana (Pengangkatan Anak/Penerus Keturunan) berdasarkan Hukum Adat Bali
menegaskan beberapa hal penting:
- Tujuan: bukan hanya untuk kepentingan
anak, melainkan juga untuk kepentingan keluarga/orang tua angkat dalam
menjaga warisan (segala swadharma beserta swadikara).
- Prioritas calon anak: diutamakan dari
garis keturunan keluarga suami (kapurusa) atau istri (predana), dan bila
tidak ada, bisa berasal dari luar garis keturunan, termasuk anak terlantar
(sakama-kama).
- Ritual adat: pengangkatan anak
dilakukan dengan upacara diakui sah secara adat dan spiritual.
Dengan demikian,
dalam perspektif adat Bali, meras sentana adalah jalan spiritual dan sosial
untuk memastikan kesinambungan kewajiban keluarga terhadap leluhur dan
masyarakat adat.
Adapun tata caranya
dimulai dengan tahap persiapan pengangkatan anak yaitu adanya pernyataan
tertulis suami istri (calon orang tua angkat) mengenai pengangkatan anak dan
calon anak yang akan diangkat, pernyataan persetujuan tertulis orang tua
dan/atau saudara suami dari garis keturunan kapurusa terdekat, pernyataan
persetujuan tertulis calon anak angkat dan/atau orang tua/walinya dan
pernyataan persetujuan tertulis prajuru desa adat/banjar adat, sesudah
pasobyahan (pengumuman) dalam Paruman (rapat) desa adat/banjar adat.
Selanjutnya tahap
pelaksanaan pengangkatan anak yaitu pelaksanaan upacara peperasan sesuai agama
Hindu, hukum adat bali dan awig-awig desa setempat, disaksikan oleh keluarga
orang tua angkat, keluarga anak angkat, dan prajuru disertai pasobyahan
(pengumuman), berita acara pelaksanaan upacara pemerasan hingga ketetapan desa
adat yang menyatakan bahwa pengangkatan anak telah dilaksanakan sesuai hukum
adat bali serta awig-awig setempat.
Terakhir tahapan
penyelesaian administrasi permohonan penetapan pengadilan negeri yang
dilaksanakan sesudah pelaksanaan upacara peperasan untuk menjamin kepastian dan
pengakuan hukum negara sebagaimana Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah RI
Nomor 54 Tahun 2007.
Sementara itu,
hukum negara memandang pengangkatan anak sebagai perbuatan hukum yang
mengalihkan hak perawatan dari orang tua kandung atau wali kepada orang tua
angkat berdasarkan putusan pengadilan.
PP No. 54 Tahun
2007 mengatur bahwa tujuan pengangkatan anak adalah kepentingan terbaik bagi
anak, yang dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat maupun ketentuan
peraturan perundang-undangan
Prinsip-prinsip
penting yang ditekankan antara lain:
- Tidak memutuskan hubungan darah anak
dengan orang tua kandung.
- Orang tua angkat wajib memberitahukan
asal-usul anak kepada anak.
- Calon orang tua angkat harus seagama
dengan calon anak angkat.
Sementara itu,
Permensos No. 110/HUK/2009 menekankan syarat-syarat ketat bagi calon anak
angkat maupun calon orang tua angkat. Anak yang dapat diangkat harus belum
berusia 18 tahun, terlantar, atau memerlukan perlindungan khusus. Sedangkan
orang tua angkat harus sehat jasmani dan rohani, menikah sah minimal lima
tahun, berusia 30–55 tahun, berkelakuan baik, dan mampu secara ekonomi
Dengan demikian,
hukum negara menekankan aspek perlindungan anak sebagai subjek yang harus
dijamin hak-haknya, bukan sebagai sarana kelanjutan keturunan.
Menariknya, baik
hukum negara maupun hukum adat Bali sama-sama mengakui keberadaan pengangkatan
anak berdasarkan adat kebiasaan setempat. Pasal 8 PP 54/2007 bahkan secara
tegas menyebutkan bahwa pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia dapat
dilakukan melalui mekanisme adat. Artinya, negara tidak meniadakan hukum adat,
melainkan mengakuinya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip perlindungan
anak.
Meras sentana
sebagai praktik pengangkatan anak dalam hukum adat Bali memiliki dimensi yang
jauh lebih luas daripada sekadar adopsi anak. Ia mengandung makna sosial, dan
spiritual yang bernafaskan Hindu. Anak angkat dipandang sebagai penerus
keturunan yang memikul kewajiban adat dan spiritual keluarga.
Baca Juga: Kode Etik Hakim dalam Perspektif Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu
Di sisi lain, hukum
negara melalui PP No. 54 Tahun 2007 dan Permensos No. 110/HUK/2009 menekankan
prinsip kepentingan terbaik bagi anak serta perlindungan hukum terhadap hak-hak
anak. Kedua sistem hukum ini pada dasarnya saling melengkapi, meskipun memiliki
pendekatan yang berbeda. Negara mengakui pengangkatan anak secara adat,
sementara adat perlu memperhatikan prinsip perlindungan anak yang diatur
negara.
Harmonisasi keduanya akan menciptakan keseimbangan: kepastian hukum bagi anak sekaligus keberlangsungan nilai-nilai adat dan spiritual masyarakat Bali. Dengan demikian, meras sentana dapat dipandang tidak hanya sebagai praktik adat, tetapi juga sebagai bentuk pengamalan hukum yang bernafaskan Hindu sekaligus tunduk pada prinsip perlindungan anak dalam hukum nasional. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI