Cari Berita

Memahami Pengangkatan Anak Berlandaskan Adat Bali dan Bernafaskan Hindu

I Kadek Apdila Wirawan - Dandapala Contributor 2025-10-07 08:15:59
Dok. Ist.

Pengangkatan anak merupakan praktik sosial yang hidup di tengah masyarakat Indonesia, baik sebagai kebutuhan sosial maupun spiritual. Dalam konteks Bali, praktik ini dikenal dengan istilah meras sentana atau ngangkat sentana, yang dimaknai bukan hanya sebagai pengalihan anak ke dalam suatu keluarga, melainkan juga sebagai upaya menjaga kesinambungan garis keturunan dan kewajiban adat.

Bagi umat Hindu di Bali, kehadiran anak bukan sekadar penerus nama keluarga, melainkan juga penopang swadharma (tanggung jawab) dan swadikara (hak) dalam hubungan dengan leluhur, masyarakat adat, serta Tuhan Yang Maha Esa.

Namun, praktik ini tidak bisa dilepaskan dari pengaturan hukum negara. Sejak lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Peraturan Menteri Sosial Nomor 110/HUK/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak, negara menegaskan prinsip bahwa pengangkatan anak harus dilaksanakan demi kepentingan terbaik bagi anak dan tidak memutuskan hubungan darah dengan orang tua kandung.

Baca Juga: Menimbang Permohonan Ganti Nama Ber-Wangsa Dalam Bingkai Adat Bali

Di sisi lain, Keputusan Pasamuhan Agung III Majelis Desa Adat Bali Tahun 2022 menegaskan pedoman hukum adat Bali mengenai meras sentana (pengangkatan anak/penerus keturunan) berdasarkan hukum adat bali. Dalam aturan ini ditegaskan bahwa pengangkatan anak menurut adat Bali lebih diarahkan untuk kepentingan keluarga/orang tua angkat, khususnya dalam memastikan keberlanjutan keturunan dan kewajiban adat (parahyangan, pawongan, dan palemahan).

Dari sini muncul sebuah dialektika: bagaimana hukum negara yang berorientasi pada perlindungan anak dapat diselaraskan dengan hukum adat Bali yang bernafaskan Hindu dan berorientasi pada kesinambungan keluarga serta spiritualitas?

Dalam hukum adat Bali, meras sentana adalah praktik pengangkatan anak dengan tujuan utama melanjutkan keturunan serta mengurus kewajiban adat dan agama. Hal ini tidak hanya menyangkut persoalan keluarga dalam dimensi sekala (kenyataan), tetapi juga dalam dimensi niskala (keyakinan). Anak angkat dianggap sebagai penerus yang menjamin keberlanjutan kewajiban upacara keagamaan, keberlangsungan pura keluarga, serta ketenteraman roh leluhur.

Keputusan Pasamuhan Agung III MDA Bali No 04 /KEP-PSM.III/MDA-BALI/XII/2022 tentang Tentang Pedoman Meras Sentana (Pengangkatan Anak/Penerus Keturunan) berdasarkan Hukum Adat Bali menegaskan beberapa hal penting:

  • Tujuan: bukan hanya untuk kepentingan anak, melainkan juga untuk kepentingan keluarga/orang tua angkat dalam menjaga warisan (segala swadharma beserta swadikara).  
  • Prioritas calon anak: diutamakan dari garis keturunan keluarga suami (kapurusa) atau istri (predana), dan bila tidak ada, bisa berasal dari luar garis keturunan, termasuk anak terlantar (sakama-kama).
  • Ritual adat: pengangkatan anak dilakukan dengan upacara diakui sah secara adat dan spiritual.

Dengan demikian, dalam perspektif adat Bali, meras sentana adalah jalan spiritual dan sosial untuk memastikan kesinambungan kewajiban keluarga terhadap leluhur dan masyarakat adat.

Adapun tata caranya dimulai dengan tahap persiapan pengangkatan anak yaitu adanya pernyataan tertulis suami istri (calon orang tua angkat) mengenai pengangkatan anak dan calon anak yang akan diangkat, pernyataan persetujuan tertulis orang tua dan/atau saudara suami dari garis keturunan kapurusa terdekat, pernyataan persetujuan tertulis calon anak angkat dan/atau orang tua/walinya dan pernyataan persetujuan tertulis prajuru desa adat/banjar adat, sesudah pasobyahan (pengumuman) dalam Paruman (rapat) desa adat/banjar adat.

Selanjutnya tahap pelaksanaan pengangkatan anak yaitu pelaksanaan upacara peperasan sesuai agama Hindu, hukum adat bali dan awig-awig desa setempat, disaksikan oleh keluarga orang tua angkat, keluarga anak angkat, dan prajuru disertai pasobyahan (pengumuman), berita acara pelaksanaan upacara pemerasan hingga ketetapan desa adat yang menyatakan bahwa pengangkatan anak telah dilaksanakan sesuai hukum adat bali serta awig-awig setempat.

Terakhir tahapan penyelesaian administrasi permohonan penetapan pengadilan negeri yang dilaksanakan sesudah pelaksanaan upacara peperasan untuk menjamin kepastian dan pengakuan hukum negara sebagaimana Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah RI Nomor 54 Tahun 2007.

Sementara itu, hukum negara memandang pengangkatan anak sebagai perbuatan hukum yang mengalihkan hak perawatan dari orang tua kandung atau wali kepada orang tua angkat berdasarkan putusan pengadilan.

PP No. 54 Tahun 2007 mengatur bahwa tujuan pengangkatan anak adalah kepentingan terbaik bagi anak, yang dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat maupun ketentuan peraturan perundang-undangan

Prinsip-prinsip penting yang ditekankan antara lain:

  • Tidak memutuskan hubungan darah anak dengan orang tua kandung.
  • Orang tua angkat wajib memberitahukan asal-usul anak kepada anak.
  • Calon orang tua angkat harus seagama dengan calon anak angkat.

Sementara itu, Permensos No. 110/HUK/2009 menekankan syarat-syarat ketat bagi calon anak angkat maupun calon orang tua angkat. Anak yang dapat diangkat harus belum berusia 18 tahun, terlantar, atau memerlukan perlindungan khusus. Sedangkan orang tua angkat harus sehat jasmani dan rohani, menikah sah minimal lima tahun, berusia 30–55 tahun, berkelakuan baik, dan mampu secara ekonomi

Dengan demikian, hukum negara menekankan aspek perlindungan anak sebagai subjek yang harus dijamin hak-haknya, bukan sebagai sarana kelanjutan keturunan.

Menariknya, baik hukum negara maupun hukum adat Bali sama-sama mengakui keberadaan pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat. Pasal 8 PP 54/2007 bahkan secara tegas menyebutkan bahwa pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia dapat dilakukan melalui mekanisme adat. Artinya, negara tidak meniadakan hukum adat, melainkan mengakuinya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip perlindungan anak.

Meras sentana sebagai praktik pengangkatan anak dalam hukum adat Bali memiliki dimensi yang jauh lebih luas daripada sekadar adopsi anak. Ia mengandung makna sosial, dan spiritual yang bernafaskan Hindu. Anak angkat dipandang sebagai penerus keturunan yang memikul kewajiban adat dan spiritual keluarga.

Baca Juga: Kode Etik Hakim dalam Perspektif Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu

Di sisi lain, hukum negara melalui PP No. 54 Tahun 2007 dan Permensos No. 110/HUK/2009 menekankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak serta perlindungan hukum terhadap hak-hak anak. Kedua sistem hukum ini pada dasarnya saling melengkapi, meskipun memiliki pendekatan yang berbeda. Negara mengakui pengangkatan anak secara adat, sementara adat perlu memperhatikan prinsip perlindungan anak yang diatur negara.

Harmonisasi keduanya akan menciptakan keseimbangan: kepastian hukum bagi anak sekaligus keberlangsungan nilai-nilai adat dan spiritual masyarakat Bali. Dengan demikian, meras sentana dapat dipandang tidak hanya sebagai praktik adat, tetapi juga sebagai bentuk pengamalan hukum yang bernafaskan Hindu sekaligus tunduk pada prinsip perlindungan anak dalam hukum nasional. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI