Cari Berita

Penerapan Perekaman Elektronik dalam Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Yura P. Yudhistira - Tim Litbang Dandapala - Dandapala Contributor 2025-08-21 10:40:54
Dok. Ist.

Salah satu tujuan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) adalah untuk menangani, melindungi, dan memulihkan Korban. UU TPKS yang diundangkan pada 9 Mei 2022 ini juga menyebutkan dalam penjelasannya bahwa kekerasan seksual menimbulkan dampak luar biasa kepada Korban. Dampak tersebut meliputi penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik. Dampak kekerasan seksual juga sangat memengaruhi hidup Korban.

Dalam publikasi berjudul Pedoman Pemaknaan Pasal Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS), Konsorsium Akademi Penghapusan Kekerasan Seksual pada Januari 2024 menuliskan Pelecehan seksual yang dialami oleh korban dapat menjadi trauma yang membekas pada korban.

Publikasi tersebut menyebutkan terdapat penelitian dalam bidang psikologi menunjukkan pelecehan seksual turut mengancam integritas fisik diri sendiri atau orang lain. Publikasi tersebut juga mengutip sebuah penelitian lain yang menunjukkan berbagai bentuk pelecehan seksual, dari kategori paling ringan (seperti komentar tentang baju yang ketat) hingga paling berat (seperti pelecehan seksual yang melibatkan persetubuhan), memuat tindakan yang dapat menimbulkan trauma.

Baca Juga: Femisida Dalam Kerangka Hukum Indonesia

Untuk mengatasi trauma yang dialami korban, dibutuhkan sebuah sistem layanan penanganan tindak pidana kekerasan seksual yang berpihak pada korban. Publikasi berjudul Analisis Tantangan Implementasi dan Kebutuhan Operasionalisasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang diterbitkan oleh INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) tahun 2022,  mengambil contoh di Sunflower Center Korea Selatan yang menyediakan layanan lintas sektor atau multidisiplin seperti medis, medikolegal, hukum, konseling dan dukungan investigasi polisi untuk korban di satu lokasi.

Korban yang datang dilayani oleh tenaga medis yang lengkap dari visum et repertum sampai kepada forensik dengan fasilitas lab termasuk untuk tes DNA dan kebutuhan medikolegal lainnya yang tersedia dalam satu gedung. Untuk pemeriksaan, korban hanya berkomunikasi dengan psikolog saja di ruangan tersendiri dengan kaca one-way.

Di ruangan lain yang disekat, penyidik menggunakan alat pendengar yang sudah bisa merekam semua apa yang disampaikan oleh korban di ruangan tersebut dan bisa melakukan wawancara di sana sehingga korban tidak perlu diminta keterangan lagi secara terpisah. Dari pengalaman Korea Selatan tersebut, menjadi sebuah hal penting Negara membentuk sebuah sistem, termasuk sistem hukum, dimana korban kekerasan seksual dapat bersaksi atau bercerita pengalamannya dalam satu waktu dan tidak perlu mengulang-ulang cerita traumatis tersebut.

Dalam kaitannya dengan UU TPKS, pembuat Undang-Undang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa telah terdapat terobosan dalam UU TPKS. UU TPKS mengatur hukum acara yang komprehensif mulai tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan tetap memperhatikan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, dan tanpa intimidasi.

Salah satu hal yang diatur dalam UU TPKS ini merupakan perekaman elektronik. Pasal 24 ayat (2) UU TPKS menyebutkan bahwa hasil pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban pada tahap penyidikan melalui perekaman elektronik merupakan alat bukti keterangan saksi yang dapat digunakan dalam pemeriksaan pembuktian di persidangan. Perekaman elektronik ini dapat digunakan sebagai alat bukti dalam hal saksi dan/atau korban karena alasan kesehatan, keamanan, keselamatan, dan/atau alasan lainnya yang sah tidak dapat hadir untuk diperiksa di persidangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 48 (1) UU TPKS.

Berdasarkan pengaturan Pasal 49 (1) UU TPKS, kewenangan perekaman elektronik ini ada pada penyidik dengan dihadiri penuntut umum, baik secara langsung maupun melalui sarana elektronik dari jarak jauh. Pengaturan perekaman elektronik ini juga sangat mudah. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa perekaman elektronik sebagaimana dimaksud dilakukan atas penetapan ketua pengadilan negeri. Meskipun demikian tanpa adanya penetapan tersebut, berdasarkan ketentuan ayat (4) penyidik tetap dapat melakukan perekaman elektronik dengan beberapa pertimbangan.

Dalam publikasi Materi Ajar Peningkatan Kapasitas Advokat terkait Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual diterbitkan oleh Indonesia Judicial Research Society (IJRS) pada tahun 2024, menuliskan bahwa sistem penanganan perkara tindak pidana kekerasan seksual perlu dibangun sedemikian rupa untuk menghindari korban bercerita berulang kali yang dapat meningkatkan risiko trauma dan re-viktimisasi.

Meskipun korban tetap perlu dipanggil secara layak untuk menghadiri persidangan, namun dalam hal karena alasan kesehatan, keamanan, keselamatan, dan/atau alasan lainnya yang sah korban tidak dapat hadir untuk diperiksa di persidangan, pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara perekaman elektronik.

Mengenai penggunaan dan penerapan perekaman elektronik dalam perkara TPKS ini, Tim Penelitian dan Pengembangan DANDAPALA (Tim LITBANG DANDAPALA) menelusuri putusan pada situs direktori putusan Mahkamah Agung terkait dengan UU TPKS. Tim LITBANG DANDAPALA menemukan 50 putusan terkait dengan UU TPKS. Penelusuran dilakukan dengan kata kunci “kekerasan seksual” atau Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.” Putusan yang diteliti dan ditelusuri adalah Putusan Pengadilan Negeri, baik pidana anak maupun pidana dewasa. Putusan yang ditelusuri merupakan putusan dengan registrasi perkara tahun 2023 dan 2024, mengingat UU TPKS mulai berlaku pada tahun 2022.

Dari 50 perkara terkait UU TPKS yang ditemukan, 44 salinan (softcopy) putusan tersedia dalam direktori putusan, sedangkan 6 salinan (softcopy) putusan perkara lainnya tidak tersedia dalam direktori putusan. Sehingga penelitian lebih lanjut dilakukan terhadap 44 putusan tersebut.

Dalam dakwaan yang menjadi dasar 44 Putusan tersebut semuanya menggunakan UU TPKS, baik dalam dakwaan yang disusun secara tunggal, alternatif, subsidaritas, ataupun kombinasi. Dalam perkara-perkara tersebut, sebanyak 41 perkara atau 93 persen perkara dituntut oleh Penuntut Umum menggunakan UU TPKS, 3 perkara lainnya atau sebanyak 7 persen dituntut dengan UU Perlindungan Anak dan UU Pornografi. Majelis Hakim dalam 44 perkara tersebut menjatuhkan hukuman dengan UU TPKS sebanyak 42 perkara atau sekitar 95 persen dari putusan yang diteliti.

Dari hasil penelitian lebih lanjut, pada bagian pemeriksaan saksi (keterangan saksi), terutama saksi korban, ditemukan bahwa Majelis Hakim menggunakan istilah “dibawah sumpah pada pokoknya menerangkan sebagai berikut” dalam 41 putusan, sedangkan 3 putusan lainnya menggunakan istilah “disumpah dalam persidangan.”  Dari 44 putusan yang diteliti, tidak terdapat putusan yang mencantumkan pemeriksaan keterangan saksi dilakukan melalui perekaman elektronik, pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audio visual, maupun putusan yang mencantumkan pembacaan berita acara pemeriksaan saksi dalam penyidikan yang telah diberikan di bawah sumpah/janji.

Dari data 44 putusan yang ditelusuri tim LITBANG DANDAPALA tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1) bahwa saksi korban menghadiri dan memberikan keterangan secara langsung di persidangan, 2) tidak ada perekaman elektronik yang digunakan dalam memberikan kesaksian di persidangan, 3) saksi korban memberikan keterangan secara berulang, baik di tingkat penyidikan maupun pada pemeriksaan persidangan, dimana hal tersebut merupakan hal yang traumatis bagi korban.

Baca Juga: Perlindungan Korban Kekerasan Seksual dalam Rumah Tangga Atas Viktimisasi Berganda

Apabila pada pemeriksaan penyidikan tidak dilakukan perekaman elektronik atas pemeriksaan keterangan saksi korban, maka pengadilan sebagai tempat perkara bermuara harus kembali melakukan pemeriksaan keterangan saksi korban, dan hal tersebut berpotensi besar menimbulkan risiko trauma dan re-viktimisasi pada korban. Namun, untuk meminimalisir risiko tersebut, pengadilan dapat melakukan pemeriksaan saksi korban tanpa kehadiran pihak terdakwa sebagaimana ketentuan Pasal 173 KUHAP, melakukan pemeriksaan saksi korban dalam persidangan secara elektronik sebagaimana ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2022, atau jika memenuhi syarat sebagaimana ketentuan Pasal 162 ayat (1) KUHAP keterangan saksi korban yang telah diberikan dalam pemeriksaan penyidikan tersebut dapat dibacakan di persidangan.  (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI