Salah satu tujuan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) adalah untuk menangani,
melindungi, dan memulihkan Korban. UU TPKS yang diundangkan pada 9 Mei 2022 ini
juga menyebutkan dalam penjelasannya bahwa kekerasan seksual menimbulkan dampak
luar biasa kepada Korban. Dampak tersebut meliputi penderitaan fisik, mental,
kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik. Dampak kekerasan seksual juga
sangat memengaruhi hidup Korban.
Dalam publikasi berjudul Pedoman Pemaknaan Pasal Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS), Konsorsium Akademi Penghapusan Kekerasan Seksual pada Januari 2024 menuliskan Pelecehan seksual yang dialami oleh korban dapat menjadi trauma yang membekas pada korban.
Publikasi tersebut menyebutkan terdapat penelitian dalam bidang psikologi
menunjukkan pelecehan seksual turut mengancam integritas fisik diri sendiri
atau orang lain. Publikasi tersebut juga mengutip sebuah penelitian lain yang menunjukkan
berbagai bentuk pelecehan seksual, dari kategori paling ringan (seperti
komentar tentang baju yang ketat) hingga paling berat (seperti pelecehan
seksual yang melibatkan persetubuhan), memuat tindakan yang dapat menimbulkan
trauma.
Baca Juga: Femisida Dalam Kerangka Hukum Indonesia
Untuk mengatasi trauma yang dialami korban, dibutuhkan sebuah sistem layanan penanganan tindak pidana kekerasan seksual yang berpihak pada korban. Publikasi berjudul Analisis Tantangan Implementasi dan Kebutuhan Operasionalisasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang diterbitkan oleh INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) tahun 2022, mengambil contoh di Sunflower Center Korea Selatan yang menyediakan layanan lintas sektor atau multidisiplin seperti medis, medikolegal, hukum, konseling dan dukungan investigasi polisi untuk korban di satu lokasi.
Korban yang datang dilayani oleh tenaga medis yang lengkap dari visum et repertum sampai kepada forensik dengan fasilitas lab termasuk untuk tes DNA dan kebutuhan medikolegal lainnya yang tersedia dalam satu gedung. Untuk pemeriksaan, korban hanya berkomunikasi dengan psikolog saja di ruangan tersendiri dengan kaca one-way.
Di ruangan lain
yang disekat, penyidik menggunakan alat pendengar yang sudah bisa merekam semua
apa yang disampaikan oleh korban di ruangan tersebut dan bisa melakukan
wawancara di sana sehingga korban tidak perlu diminta keterangan lagi secara
terpisah. Dari pengalaman Korea Selatan tersebut, menjadi sebuah hal penting
Negara membentuk sebuah sistem, termasuk sistem hukum, dimana korban kekerasan
seksual dapat bersaksi atau bercerita pengalamannya dalam satu waktu dan tidak
perlu mengulang-ulang cerita traumatis tersebut.
Dalam kaitannya dengan UU TPKS, pembuat Undang-Undang dalam penjelasannya
menyebutkan bahwa telah terdapat terobosan dalam UU TPKS. UU TPKS mengatur hukum
acara yang komprehensif mulai tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan dengan tetap memperhatikan dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, kehormatan, dan tanpa intimidasi.
Salah satu hal yang diatur dalam UU TPKS ini merupakan perekaman
elektronik. Pasal 24 ayat (2) UU TPKS menyebutkan bahwa hasil pemeriksaan
terhadap saksi dan/atau korban pada tahap penyidikan melalui perekaman
elektronik merupakan alat bukti keterangan saksi yang dapat digunakan dalam
pemeriksaan pembuktian di persidangan. Perekaman elektronik ini dapat digunakan
sebagai alat bukti dalam hal saksi dan/atau korban karena alasan kesehatan,
keamanan, keselamatan, dan/atau alasan lainnya yang sah tidak dapat hadir untuk
diperiksa di persidangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 48 (1) UU TPKS.
Berdasarkan pengaturan Pasal 49 (1) UU TPKS, kewenangan perekaman
elektronik ini ada pada penyidik dengan dihadiri penuntut umum, baik secara
langsung maupun melalui sarana elektronik dari jarak jauh. Pengaturan perekaman
elektronik ini juga sangat mudah. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa perekaman
elektronik sebagaimana dimaksud dilakukan atas penetapan ketua pengadilan negeri.
Meskipun demikian tanpa adanya penetapan tersebut, berdasarkan ketentuan ayat
(4) penyidik tetap dapat melakukan perekaman elektronik dengan beberapa
pertimbangan.
Dalam publikasi Materi Ajar Peningkatan Kapasitas Advokat terkait Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual diterbitkan oleh Indonesia Judicial Research Society (IJRS) pada tahun 2024, menuliskan bahwa sistem penanganan perkara tindak pidana kekerasan seksual perlu dibangun sedemikian rupa untuk menghindari korban bercerita berulang kali yang dapat meningkatkan risiko trauma dan re-viktimisasi.
Meskipun korban tetap
perlu dipanggil secara layak untuk menghadiri persidangan, namun dalam hal karena
alasan kesehatan, keamanan, keselamatan, dan/atau alasan lainnya yang sah
korban tidak dapat hadir untuk diperiksa di persidangan, pemeriksaan dapat
dilakukan dengan cara perekaman elektronik.
Mengenai penggunaan dan penerapan perekaman elektronik dalam perkara TPKS ini,
Tim Penelitian dan Pengembangan DANDAPALA (Tim LITBANG DANDAPALA) menelusuri putusan
pada situs direktori putusan Mahkamah Agung terkait dengan UU TPKS. Tim LITBANG
DANDAPALA menemukan 50 putusan terkait dengan UU TPKS. Penelusuran dilakukan
dengan kata kunci “kekerasan seksual” atau Undang-Undang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual.” Putusan yang diteliti dan ditelusuri adalah Putusan
Pengadilan Negeri, baik pidana anak maupun pidana dewasa. Putusan yang
ditelusuri merupakan putusan dengan registrasi perkara tahun 2023 dan 2024, mengingat
UU TPKS mulai berlaku pada tahun 2022.
Dari 50 perkara terkait UU TPKS yang ditemukan, 44 salinan (softcopy)
putusan tersedia dalam direktori putusan, sedangkan 6 salinan (softcopy)
putusan perkara lainnya tidak tersedia dalam direktori putusan. Sehingga
penelitian lebih lanjut dilakukan terhadap 44 putusan tersebut.
Dalam dakwaan yang menjadi dasar 44 Putusan tersebut semuanya menggunakan
UU TPKS, baik dalam dakwaan yang disusun secara tunggal, alternatif,
subsidaritas, ataupun kombinasi. Dalam perkara-perkara tersebut, sebanyak 41
perkara atau 93 persen perkara dituntut oleh Penuntut Umum menggunakan UU TPKS,
3 perkara lainnya atau sebanyak 7 persen dituntut dengan UU Perlindungan Anak
dan UU Pornografi. Majelis Hakim dalam 44 perkara tersebut menjatuhkan hukuman
dengan UU TPKS sebanyak 42 perkara atau sekitar 95 persen dari putusan yang
diteliti.
Dari hasil penelitian lebih lanjut, pada bagian pemeriksaan saksi (keterangan
saksi), terutama saksi korban, ditemukan bahwa Majelis Hakim menggunakan
istilah “dibawah sumpah pada pokoknya menerangkan sebagai berikut” dalam 41
putusan, sedangkan 3 putusan lainnya menggunakan istilah “disumpah dalam
persidangan.” Dari 44 putusan yang
diteliti, tidak terdapat putusan yang mencantumkan pemeriksaan keterangan saksi
dilakukan melalui perekaman elektronik, pemeriksaan langsung jarak jauh dengan
alat komunikasi audio visual, maupun putusan yang mencantumkan pembacaan berita
acara pemeriksaan saksi dalam penyidikan yang telah diberikan di bawah
sumpah/janji.
Dari data 44 putusan yang ditelusuri tim LITBANG DANDAPALA tersebut dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1) bahwa saksi korban menghadiri dan
memberikan keterangan secara langsung di persidangan, 2) tidak ada perekaman
elektronik yang digunakan dalam memberikan kesaksian di persidangan, 3) saksi korban
memberikan keterangan secara berulang, baik di tingkat penyidikan maupun pada
pemeriksaan persidangan, dimana hal tersebut merupakan hal yang traumatis bagi
korban.
Baca Juga: Perlindungan Korban Kekerasan Seksual dalam Rumah Tangga Atas Viktimisasi Berganda
Apabila pada pemeriksaan penyidikan tidak dilakukan perekaman elektronik
atas pemeriksaan keterangan saksi korban, maka pengadilan sebagai tempat
perkara bermuara harus kembali melakukan pemeriksaan keterangan saksi korban, dan
hal tersebut berpotensi besar menimbulkan risiko trauma dan re-viktimisasi pada
korban. Namun, untuk meminimalisir risiko tersebut, pengadilan dapat melakukan
pemeriksaan saksi korban tanpa kehadiran pihak terdakwa sebagaimana ketentuan
Pasal 173 KUHAP, melakukan pemeriksaan saksi korban dalam persidangan secara
elektronik sebagaimana ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2022,
atau jika memenuhi syarat sebagaimana ketentuan Pasal 162 ayat (1) KUHAP
keterangan saksi korban yang telah diberikan dalam pemeriksaan penyidikan tersebut
dapat dibacakan di persidangan. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI