Cari Berita

Sedikit, Lebih Baik? Relevansi Sistem Majelis dalam Sistem Peradilan Indonesia

William Edward Sibarani–Hakim Pengadilan Negeri Liwa - Dandapala Contributor 2025-06-24 08:00:43
Dok. Pribadi.

Pendahuluan

Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2024, jumlah Hakim tingkat pertama pada Peradilan Umum saat ini hanya sebanyak 3.224 orang dengan jumlah beban perkara sebesar 2.369.064 perkara. Kondisi yang demikian menjadi kurang ideal karena 1 orang Hakim harus mengadili rerata 735 perkara dalam satu tahun.[1] Keterbatasan jumlah hakim tidak hanya terjadi pada Peradilan Umum, namun juga terjadi pada seluruh cabang peradilan. Sampai saat ini, setidaknya Peradilan Agama yang masih diberikan dispensasi khusus untuk melaksanakan persidangan dengan hakim tunggal.[2]

Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung

Untuk mengatasi hal tersebut, beberapa perkara seperti Pra Peradilan, Gugatan Sederhana, Anak bahkan yang terbaru perkara Kasasi, telah lebih dulu dipimpin oleh hakim tunggal. Walaupun tahun ini Mahkamah Agung mendapatkan tambahan hakim baru sebanyak 1.451 orang, namun relevansi penggunaan sistem majelis tetap perlu didiskusikan lebih lanjut untuk benar-benar mewujudkan asas keadilan yang berlandaskan prosedur yang sederhana, cepat serta berbiaya ringan.

Sejarah Persidangan Sistem Majelis di Indonesia

Sistem hukum Indonesia pada masa kolonial merupakan pionir dari sistem majelis yang berlaku sampai saat ini. Salah satu karakteristik utama pada masa itu adalah sifatnya yang dualistis, yakni adanya pemisahan hukum antara kelompok masyarakat Eropa dan non-Eropa. Sistem hukum ganda ini telah diterapkan sejak abad ke-18, ketika Belanda mulai menguasai wilayah pedalaman Jawa, dan kemudian dilembagakan secara formal melalui Regeringsreglement (Peraturan Pemerintah) Hindia Belanda tahun 1854. Peraturan tersebut mengatur bahwa hukum, yurisdiksi, dan prosedur peradilan yang berlaku bagi orang Belanda serta kelompok yang diklasifikasikan sebagai "Eropa" (termasuk warga Jepang sejak 1899), sebisa mungkin harus menyesuaikan dengan hukum dan prosedur yang berlaku di Negeri Belanda, sesuai dengan prinsip konkordansi.[3] Disisi lain, saat itu Indonesia juga masih menerapkan hukum adat dalam penyelesaian sengketa yang terjadi di daerah-daerah tertentu.

Penelitian Daniel S. Lev dalam Colonial Law and the Genesis of the Indonesian State memberikan analisis historis yang tajam terhadap warisan sistem hukum kolonial di Indonesia dan bagaimana elemen-elemennya bertahan serta membentuk struktur hukum negara pasca kemerdekaan. Salah satu aspek penting yang dianalisis secara implisit dalam kajian tersebut adalah sistem peradilan kolonial yang bersifat plural dan hierarkis, serta bagaimana struktur ini memberi justifikasi dan konteks terhadap pemakaian sistem majelis hakim dalam peradilan Indonesia modern.[4]

Meskipun Fasseur dan Daniel Lev tidak secara eksplisit membahas penggunaan panel of judges atau majelis hakim, konfigurasi peradilan kolonial, khususnya pada Landraad, secara substansial sudah menggambarkan praktik pengambilan keputusan secara kolektif yang menjadi dasar sistem majelis hakim di Indonesia saat ini.

Dalam struktur Landraad, meskipun posisi ketua di beberapa pengadilan dipegang oleh hakim berkebangsaan Belanda, namun proses peradilan melibatkan sejumlah pihak lain, seperti panitera, jaksa, penghulu Islam yang berperan sebagai penasihat, serta bupati yang secara ex-officio menjadi bagian dari pengadilan. Selain itu, pasca kemerdekaan sebagian besar hakim Indonesia yang tersedia belum memiliki kompetensi yang cukup mengenai tata prosedur hukum Eropa. Oleh karena itu, mempertahankan sistem peradilan yang telah mereka kenal, yaitu yang dianut dalam Landraad, dipandang sebagai langkah yang paling realistis dan stabil dari segi kelembagaan. Dengan demikian, sejak awal, sistem majelis hakim digunakan dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum dan mengurangi risiko arbitrariness atau kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum.[5]

Relevansi Penggunaan Sistem Majelis Saat Ini

Tidak dapat dipungkiri argumen mengenai luasnya ruang interpretasi bagi hakim secara tidak langsung memperlihatkan perlunya mekanisme pengimbangan secara internal. Dalam hal ini, persidangan yang dipimpin dalam susunan majelis bertujuan untuk menghindari dominasi tafsir tunggal oleh satu hakim. Selain itu, sistem majelis meningkatkan akurasi dan keadilan melalui musyawarah, serta menyediakan kontrol atas potensi kesewenang-wenangan dalam sistem hukum yang tidak terkodifikasi secara formal. Apabila dikaitkan dengan realitas saat ini, maka penambahan jumlah hakim masih menjadi solusi jangka pendek untuk tetap menciptakan keadilan serta mewujudkan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.

Namun, melihat komparasi dalam penelitian yang dilakukan di Yunani dan beberapa negara Eropa lain seperti Serbia, Kroasia, Slovenia, Prancis, Austria dan Norwegia, kesimpulan yang diperoleh dari hipotesis di atas masih belum bulat. Pada tahun 2012, Yunani melakukan reformasi peradilan dengan mengganti sistem panel tiga hakim menjadi panel hakim tunggal untuk kasus-kasus pidana tertentu, seperti kasus narkotika. Reformasi peradilan Yunani yang mengganti panel tiga hakim dengan hakim tunggal memang meningkatkan efisiensi penyelesaian perkara, tetapi juga menghasilkan tingkat vonis bersalah yang lebih tinggi sehingga dapat berdampak pada kepadatan penjara.[6]

Di sisi lain, negara-negara dengan jumlah hakim dan pengadilan yang lebih banyak seperti Serbia dan Kroasia, tidak menunjukkan kinerja sistem peradilan yang lebih baik dibanding negara dengan sistem sederhana seperti Norwegia. Serbia, Kroasia, dan Slovenia memiliki warisan hukum kontinental yang rumit, yang diadopsi secara utuh pasca-sosialisasi. Sistem tersebut menciptakan struktur pengadilan yang kompleks, tumpang tindih, dan sering kali menciptakan birokrasi internal yang menghambat produktivitas hakim, tidak seperti yang terjadi di Norwegia. Spaić & Đorđević menunjukkan bahwa sistem pengadilan yang terlalu kompleks justru tidak efisien meskipun memiliki banyak hakim. Dalam hal ini, reformasi harus fokus pada restrukturisasi jaringan pengadilan dan peningkatan tata kelola serta manajemen perkara.[7]

Norwegia hanya memiliki sekitar 10 hakim profesional per 100.000 penduduk, jauh di bawah negara-negara seperti Serbia atau Indonesia. Namun, salah satu kekuatan utama sistem Norwegia adalah distribusi perkara yang adil antar pengadilan dan antar hakim.[8]

Beban perkara tidak terpusat pada kota-kota besar saja, dan sistem pengelolaan perkara memastikan bahwa tidak ada pengadilan yang terlalu padat atau terlalu kosong. Sistem peradilan Norwegia membuktikan bahwa kesederhanaan dan efisiensi kelembagaan dapat mengungguli pendekatan kuantitatif yang berlebihan. Kunci keberhasilan Norwegia terletak pada struktur yang terkonsolidasi, manajemen perkara yang terorganisir, penggunaan teknologi, serta penguatan peran pendukung di luar hakim.

Bagi Indonesia, studi kasus Norwegia menyodorkan arah reformasi yang lebih strategis: menggeser fokus dari ekspansi institusional menuju optimalisasi kelembagaan. Dengan kata lain, reformasi bukan hanya tentang menambah jumlah hakim, melainkan memperkuat sistem yang mendukung mereka untuk bekerja lebih baik. (ZM/LDR)

 

Referensi:

[1] Rasio Beban dan Kinerja Penanganan Perkara pada Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI Tahun 2024, hlm. 139.

[2] Pidato Ketua Mahkamah Agung RI pada Sidang Istimewa Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI Tahun 2024 tanggal 19 Februari 2025, hlm. 12.

[3] C. Fasseur, ā€œColonial Dillema: Van Vollenhoven and the Struggle between Adat Law and Western Law in Indonesiaā€ dalam Jamie S. Davidson & David Henley, The Revival Tradition in Indonesia Politics: The Deployment of adat from colonialism to indigenism, (London: Routledge, Taylor & Francis Group, 2007), hlm. 55-56.

[4] Daniel S. Lev, ā€œJudicial Unification in Post-Colonial Indonesia,ā€ Indonesia – Cornell University Press, No. 16, Oktober 1973, hlm. 1-2. DOI: https://doi.org/10.2307/3350645.

[5] Daniel S. Lev, ā€œColonial Law and the Genesis of the Indonesian Stateā€ dalam Christoph Antons, Law and Society in East Asia, (London: Routledge, 2013), hlm. 60. DOI: https://doi.org/10.4324/9781315091976.

[6] Theodore Alysandratos & Konstantinos Kalliris, ā€œIs One Judging Head the Same as Three: A Natural Experiment on Individuals vs Teamsā€, Maret 2022, hlm. 9-11. DOI: https://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3809478.

[7] Bojan Spaic & Mila Dordevic, ā€œLess is More? The Number of Judges and Judicial Efficiencyā€, Pravni Zapisi, 2022, hlm. 434-439. DOI: https://doi.org/10.5937/pravzap0-41043.

Baca Juga: Implementasi Pasal 14 c KUHP dalam Putusan Mahkamah Agung

[8] Bojan Spaic & Mila Dordevic, ā€œLess is More? The Number of Judges and Judicial Efficiencyā€, Pravni Zapisi, 2022, hlm. 432-433. DOI: https://doi.org/10.5937/pravzap0-41043.


Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Tag