Setelah ditetapkan menjadi undang-undang pada tanggal 2 Januari 2023, tidak lama lagi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) akan efektif berlaku menggantikan KUHP lama peninggalan Belanda pada tanggal 2 Januari 2026 mendatang, tepat tiga tahun setelah diundangkan sesuai Pasal 624 KUHP baru. Pergantian KUHP lama ke KUHP baru itu tidak sedikit membawa perubahan peraturan di dalamnya, termasuk pengaturan mengenai Pengulangan Tindak Pidana (Recidive).
Recidive atau pengulangan tindak pidana terjadi dalam hal seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang tetap (In kracht van gewijsde), kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi (Barda Nawawi Arief, 2012). Baik dalam KUHP lama dan KUHP baru pengulangan tindak pidana (recidive) adalah sama-sama sebagai alasan pemberat pidana. Meskipun masih sama-sama sebagai alasan pemberat pidana, namun apabila dicermati terdapat perbedaan ketentuan antara Recidive pada KUHP lama dan Recidive yang terdapat dalam KUHP baru. Lantas apa saja perbedaan antara pengaturan pengulangan tindak pidana (recidive) dalam KUHP lama dan KUHP baru? dan bagaimana pengaruh dalam penerapan pemidanaan setelah adanya perbedaan pengaturan tentang recidive dalam KUHP baru?
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Dengan Praperadilan Dalam RUU KUHAP
Perbandingan Pengaturan Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) dalam KUHP Lama dan KUHP Baru;
Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) dalam KUHP lama tidak diatur secara umum dalam Aturan Umum Buku I, tetapi diatur secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu, baik berupa kejahatan dalam Buku II maupun yang berupa pelanggaran dalam Buku III KUHP lama. Adapun untuk recidive kejahatan, KUHP lama membedakannya menjadi dua yaitu pertama, recidive kejahatan “Tertentu Sejenis” yang tersebar dalam sebelas pasal buku II KUHP yaitu Pasal 137 ayat (2), 144 (2), 155 (2), 157 (2), 161 (2), 163 (2), 208 (2), 216 (3), 321 (2), 393 (2) dan 303 bis (2). Kedua, Recidive “Kelompok Kejahatan” yang diatur dalam Pasal 486 KUHP (kejahatan terhadap harta benda dan pemalsuan), Pasal 487 KUHP (kejahatan terhadap orang), dan Pasal 488 KUHP (kejahatan penghinaan dan yang berhubungan dengan penerbitan/percetakan) dengan pasal-pasal tertentu yang diatur di dalamnya. Sementara untuk Recidive pelanggaran pengaturannya tersebar dalam 14 (empat belas) pasal yang terdapat dalam Buku III KUHP yaitu Pasal 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, dan 549. Dengan diaturnya ketentuan recidive dalam KUHP lama terbatas pada tindak pidana, maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa KUHP lama menganut sistem recidive khusus atau pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan jenis-jenis tindak pidana tertentu baik itu kejahatan atau pelanggaran (Barda Nawawi Arief, 2012).
Berbeda dengan KUHP lama yang tidak mengatur secara umum tentang ketentuan recidive, namun pengaturannya khusus berada di pasal-pasal tertentu. Dalam KUHP baru pengaturan tentang Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) kini telah diatur secara umum dalam “Buku Kesatu Aturan Umum”, atau lebih tepatnya dalam paragraf 6 Pasal 23 KUHP baru yang termasuk dalam Bab II tentang Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Dengan diaturnya Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) pada “Buku Kesatu Aturan Umum” KUHP baru dan tidak lagi diatur secara khusus untuk tindak pidana tertentu saja seperti halnya KUHP lama, maka sistem Recidive yang berlaku pada KUHP baru terdapat pergeseran dari yang semula menganut sistem Recidive Khusus (KUHP lama) menjadi menganut sistem Recidive Umum (KUHP baru).
Dalam ranah hukum pidana, konsep Pengulangan Tindak Pidana (recidive), terbagi ke dalam 2 (dua) macam sistem. Pertama adalah algemeene recidive atau recidive umum yang merujuk pada pengulangan tindak pidana tanpa mempertimbangkan jenis tindak pidana yang diulang, selama terdakwa kembali terlibat dalam perbuatan pidana apa pun setelah adanya putusan hakim yang tetap (In kracht) maka dapat disebut recidive. Sementara yang kedua adalah speciale recidive atau recidive khusus yang mengacu pada pengulangan tindak pidana yang serupa atau sejenis dengan peristiwa pidana yang sebelumnya menyebabkan hukuman dijatuhkan sesuai dengan sistem recidive yang ada pada KUHP lama (Arifin et al., 2023). Meskipun telah bergeser ke sistem recidive umum (berlaku pada tindak pidana apa pun), namun pembatasan dan syarat-syarat tertentu tetap berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 23 KUHP baru. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
- Melakukan Tindak Pidana kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan atau pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau pada waktu melakukan Tindak Pidana, kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan terdahulu belum kedaluwarsa;
- Mencakup tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus, pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, atau pidana denda paling sedikit kategori III;
- Berlaku juga untuk Tindak Pidana mengenai penganiayaan.
Pengaruh dalam penerapan pemidanaan setelah adanya pergeseran sistem recidive khusus ke sistem recidive umum dalam KUHP baru;
Baik dalam KUHP lama ataupun dalam KUHP baru, pengulangan tindak pidana (recidive) adalah sama-sama sebagai pemberatan. Adapun Pemberatan sebagaimana dimaksud adalah maksimum ancaman pidananya dapat ditambah paling banyak 1/3 (satu per tiga). Namun oleh karena dalam KUHP baru telah ada pergeseran menjadi sistem recidive umum, maka dikatakan seseorang sebagai recidive sekarang tidak lagi terbatas pada tindak pidana tertentu saja. Melainkan pengulangan tindak pidana apapun yang dilakukan oleh seseorang setelah ada putusan hakim yang tetap adalah dianggap sebagai recidive sepanjang memenuhi syarat sebagaimana Pasal 23 KUHP baru. Contoh: seseorang menjalani pidana penjara selama 3 (tiga) tahun karena kasus pencurian, kemudian menjalani pembebasan bersyarat pada tahun 2022. Pada tahun 2024 orang tersebut melakukan tindak pidana penganiayaan sehingga mengakibatkan luka berat, maka orang tersebut dapat dikatakan telah melakukan pengulangan tindak pidana (recidive) dengan pidananya dapat diperberat (Eddy O.S Hiariej dan Topo Santoso, 2025).
Hal seperti itu tidak berlaku pada pengaturan recidive dalam KUHP lama yang menganut sistem recidive khusus dan berlaku sebatas pada kejahatan tertentu sejenis serta kelompok kejahatan, sehingga apabila seseorang melakukan tindak pidana pencurian telah dijatuhi pidana berdasarkan putusan hakim yang tetap dan kemudian melakukan tindak pidana lagi namun bukan pada kelompok kejahatan yang sama, misalkan penganiayaan atau pembunuhan, meskipun belum lewat waktu maka ketentuan mengenai recidive yang dapat menjadi pemberatan pidana bagi pelaku tidak dapat diterapkan. Bahkan dalam KUHP lama untuk pasal kesusilaan seperti tindak pidana perkosaan juga tidak masuk dalam ketentuan pasal 487 KUHP (recidive kelompok kejahatan terhadap orang). Sehingga apabila misalkan orang melakukan tindak pidana perkosaan telah dipidana penjara dan setelah keluar kembali melakukan tindak pidana perkosaan lagi, ketentuan recidive tidak dapat diterapkan.
Dengan berlakunya ketentuan baru dalam KUHP baru khususnya mengenai recidive yang berubah ke sistem recidive umum, maka cakupan mengenai pengulangaan tindak pidana (recidive) yang dapat menjadi pemberat pidana pidana tidak lagi terbatas pada tindak pidana tertentu saja, namun menjadi lebih luas dan berlaku pada semua tindak pidana sepanjang memenuhi syarat sebagaimana Pasal 23 KUHP baru.
Kesimpulan
Pengaturan tentang pengulangan tindak pidana (recidive) dalam hukum pidana Indonesia telah mengalami perubahan dari KUHP lama ke KUHP baru. Sebagaimana KUHP lama, recidive diatur secara khusus dan terbatas pada tindak pidana tertentu saja, baik kejahatan maupun pelanggaran, yang tersebar dalam pasal-pasal tertentu. Dengan demikian, pemberatan pidana untuk recidive hanya dapat diterapkan bila pengulangan terjadi atas tindak pidana sejenis atau dalam kelompok kejahatan tertentu yang telah ditentukan, dan pengulangan tindak pidana yang berbeda tidak dapat dikenai pemberatan recidive.
Berbeda dengan KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023), pengaturan recidive telah diatur secara umum dalam Buku Kesatu Aturan Umum, tepatnya Pasal 23. Dalam KUHP baru menganut sistem recidive umum, yang memungkinkan penerapan pemberatan pidana terhadap setiap bentuk pengulangan tindak pidana apa pun, tanpa terbatas pada jenis kejahatan tertentu, asalkan memenuhi syarat yang ditentukan sebagaimana Pasal 23 UU No. 1 Tahun 2023.
Secara penerapan, baik dalam KUHP lama maupun baru, recidive tetap menjadi dasar pemberatan pidana dengan ketentuan maksimum pidana dapat ditambah hingga satu per tiga. Namun, cakupan recidive dalam KUHP baru menjadi lebih luas, tidak lagi terbatas pada jenis tindak pidana tertentu seperti dalam KUHP lama. (LDR)
Referensi
Arifin, B., Arfarizky, R. A., & Windari, R. (2023). Perbandingan Konsep Recidive dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 dengan Criminal Act of South Korea Abstrak. 45(2).
Barda Nawawi Arief. (2012). Sari Kuliah Hukum Pidana Lanjut (Cetakan IV). Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang.
Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso. (2025). Anotasi KUHP Nasional. Rajawali Pers.
Baca Juga: Memahami Esensi Pidana Narkotika Dalam Kacamata Teleologis
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum