Cari Berita

Serat Kalatidha Pada Peradilan Indonesia

Ari Gunawan S.H. M.H. - Dandapala Contributor 2025-02-17 13:25:11
Ari Gunawan S.H. M.H.

Program acara yang digagas Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum yakni perisai pada episode yang ketiga mengajukan tema Kinerja berkualitas dengan Integritas. Tema ini disampaikan dalam  upaya dari peradilan khususnya peradilan umum  untuk kembali mendapatkan kepercayaan publik yang sedikit terganggu dengan  adanya pimpinan pengadilan dan beberapa hakim serta staf pengadilan  yang  saat ini menjalani pesakitan maupun yang telah dijatuhi sanksi etik karena dianggap telah tersangkut perkara gratifikasi . 

Penjatuhan hukuman disiplin sepanjang tahun 2024  dilingkungan peradilan umum  yakni untuk hakim ada 84 hukuman disiplin dengan perincian 21 hukuman disiplin berat, sedang 9  dan 54 sanksi ringan, sedangkan untuk panitera ada 65  yakni berat 18, sedang 10 dan ringan 37. Bertitik tolak dari program perisai maka tidaklah salah kalau kita merenungi apa yang diramalkan oleh seorang pujangga jawa pada abad 18 yakni raden ronggo warsito dengan karyanya yakni serat kalatidha . 

Serat Kalatidha  ditulis sang pujangga kurang lebih seabad yang lalu, yakni pada masa pemerintahan Paku Buwono IX (1862 - 1893 M).  Serat Kalatidha merupakan refleksi atas kondisi kerajaan pada masa itu, akan  tetapi jika kita  renungi dan resapi, maka akan sesuai juga dengan kondisi  sekarang  Serat Kalatidha merupakan ramalan akan datangnya suatu zaman. Yang mana sang pujangga  telah memprediksikannya sebab ia dikenal  sebagai ngerti sadurunge winarah, mengerti apa yang akan terjadi kelak yang biasanya ramalan itu dikemukakan secara terang-terangan maupun symbol dan dunia nyata pernyataan itu memang terjadi. 


Berikut ini adalah cuplikan serat Kalatidha 

“ Mangkya darajating praja, kawuryan wus sunyaturi, rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi, atilar silastuti, sujana sarjana kelu, kalulun kalatida, tidhem tandhaning dumadi, ardayengrat dene karoban rubeda “

Dan jika kita artikan akan seperti ini 

“ Kondisi  negara  kita saat ini  sudah semakin mengalami kemunduran,  situasi  bangsa makin parah, karena sudah tak ada seseorang yang dapat dijadikan panutan, hal tersebut dikarenkan sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah/ aturan-aturan lama yang baik yang luhur yang dimiliki bangsa ini. Diperparah dengan golongan  cerdik cendekiawan terbawa arus kalatidha (zaman yang penuh keragu-raguan), sehingga  keadaan menjadi  mencekam dan dunia penuh dengan kerepotan”

Demikian  sepenggal  gambaran dari sang pujangga Ronggowarsito  terkait dengan kondisi tata negara yang telah rusak. Para pemimpin tak mampu meneladani rakyatnya dengan perbuatan-perbuatan bermoral. "Karana tanpa palupi", begitu tulis Ronggowarsito.  Jika kita renungi dan resapi,  maka sekarang ini sudah tidak ada lagi yang bisa diikuti. Negeri ini nyaris kehabisan pemimpin yang bisa dijadikan teladan.

 Tentu teladan di sini merupakan sesuatu yang baik dan layak ditiru. Mengapa tak bisa diteladani? Karena para pemimpin itu, "atilar silatusti", meninggalkan tradisi. Di sini tradisi dimaksud lebih kepada etika. Sejatinya etika itu merupakan rambu-rambu untuk menuju hidup yang lebih baik, tetapi rambu-rambu itu ditinggalkan sehingga hidup ini jadi "rusak". Dunia dilanda kerepotan lantaran kerusakan itu.( Toto Tis Suparto : 2021)

Karna Tanpa Palupi 

Mahkamah Agung dan Lembaga peradilan sebagai salah satu gerbang terakhir para pencari keadilan  tentunya harus menjadi garda terdepan dalam perubahan kearah yang lebih baik. Dalam Upaya memperbaiki kondisi di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan, Ketua Mahkamah Agung  telah memulai dengan langkah yang baik dengan menerapkan kebijakan ketika beliau diangkat menjadi Nahkoda tertinggi di Lembaga Peradilan  diantaranya melalui statemen beliau  bahwa Ketua Mahkamah Agung akan menerapkan demosi jika ada jamuan  ketika  ada kunjungan ke daerah dan tanpa perlu VIP Room dibandara  bagi Pimpinan maupun Hakim Agung.

Langkah dan upaya Ketua Mahkamah Agung perlu kita maknai sebagai pengejawantahan dari ingin memberikan contoh atau teladan pada tataran dibawahnya dan sebagai langka antisipatif untuk mengantisipasi gambaran yang dikemukakan oleh sang Pujangga yakni “Karna tanpa Palupi “ dan jika kita kaitkan dengan sosok pemimpin bahwa seorang pemimpin yang kebanyakan minta dilayani maka ini merupakan  anti tesisnya adagium terdahulu karena hal ini mencerminkan jiwa seorang pemimpin yang melayani. Pimpinan Mahkamah Agung telah memberikan suatu contoh perilaku  kesederhanaan yang baik dan  untuk itu patutlah dan layak untuk  ditiru dan diikuti oleh seluruh insan peradilan.

Menurut Greenleaf, seorang pemimpin yang baik  bukanlah  orang yang otoriter dan beranggapan bahwa aktivitas  kantor akan lamcar jika berada  ditangan pemimpin. Sebaliknya  pemimpin adalah orang yang punya semangat untuk berkontribusi  dan melayani  orang-orang yang dipimpinnya yakni pegawai, pengguna layanan atau siapa saja yang berinteraksi dengannya. Servant Leader tidak akan bertanya, “apa yang perlu dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri  tetapi apa yang perlu dilakukan agar menguntungkan kita dan banyak orang ?”.

Orientasi berpikir dan bertindak adalah orang lain bukan dirinya sendiri dan untuk itu kita harus berpikiran bahwa semua insan peradilan adalah pemimpin, yakni seseorang  yang mempunyai perilaku perilaku positif  dan menginsipirasi  orang lain, membawa  pengaruh postof  serta dapat menjadi panutan dan teladan (Louis Sastrawijaya; 2022).

Atilar silatusti

Salah satu hal tradisi yang baik dan luhur  yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah tradisi atau petuah-petuah luhur  atau etika yang sarat makna sebagai bangsa yang mempunyai adat ketimuran yang tinggi. Etika yang dimaksud  antara lain  budaya malu dan  tenggang rasa yang tinggi, serta selalu mementingkan kepentingan orang banyak. 

Sebelum membahas mengenai tradisi yang baik dan luhur patutlah kita merenungi arti makna atau  purpose yakni memaknai sebuah pekerjaan, tentunya pekerjaan yang kita emban saat ini sebagai insan peradilan yang kita jalani saat ini, dunia dimana masyarakat yang kita layani adalah masyarakat yang mencari keadilan.

Jika kita renungkan bahwa kita adalah manusia-manusia yang dipilih Tuhan untuk bekerja di Peradilan tentunya Tuhan memilih kita dari sekian banyak orang  dan kenapa kita dipilih tentunya harapannya agar kita dapat bermanfaat khususnya  bagi masyarakat pencari keadilan.

Setelah menngerti makna atau tujuan tadi jika kita kaitkan dengan nilai nilai  leluhur bangsa kita  yakni budaya malu maka akan berdampak sangat positif, bahwa kita seharusnya malu jika bekerja tanpa integritas karena pengertian integritas itu sendiri adalah konsistensi dan keteguhan yang tidak tergoyahkan  dalam menjunjung tinggi nilai nilai luhur dan keyakinan.

Budaya malu yang lain yang seharusnya ada pada diri kita aparatur peradilan yakni  malu terlambat masuk kantor, malu tidak masuk kerja tanpa alasan. Pulang kerja sebelum waktunya, sering meninggalkan kantor tanpa alasan, bekerja tanpa pertanggungjawaban, dan tidak amanah.

Fondasi utama dalam melayani adalah  prioritas pada orang lain, maka orang yang bekerja didunia peradilan jika sudah mengerti apa yang menjadi makna pekerjaan kita  tentunya akan mempunyai  tujuan dalam bekerja sebagai  orang-orang yang mendapatkan amanat untuk melayani masyarakat pencari keadilan  dan pondasi utama  dalam melayani  adalah memberikam kontribusi kepada orang lain.  

Joel Oesteen dalam bukunya Your Best Life Now yang isinya adalah tentang kunci rahasia agar seseorang dapat mengalami kegembiraan dan kebahagiaan setiap hari  yaitu dengan menjadi seorang pemberi, tidak hanya mementingkan diri sendiri tetapi selalu memberikan kontribusi kepada orang lain.

Hal tersebut kadang sangatlah berat  karena pada kebanyakan yang terjadi pada semua orang menghadapi godaaan umtuk mementingkan diri sendiri sebagaimana dicontohkan kepada kolega yang tersandung kasus pidana maupun pelanggaran kode etik lainnya  dan tentunya ini sangat bertentangan dengan nilai nilai luhur bangsa kita yang cenderung mementingkan orang lain seperti kegiatan kerja bakti  dan  hal hal baik lainnya.

Aplikasi  dalam hal berkontribusi kepada orang lain yakni dengan memberikan service excellent atau pelayanan prima, artinya fokus kita tidak memberikan pelayanan asala-asalan tetapi memberikan pelayanan melalui kecepatan, ketepatan, kenyamanan, kemudahan  dan berbagai manfaat lain yang dapat dirasakan oleh pengguna layanan pengadilan. Dengan begitu kepercayaan masyarakat pencari keadilan akan merasa terlayani dan berimpilikasi pada meningkatnya kepercayaan kepada lembaga.

Kinerja yang berkualitas tidak secara otomatis dan natural terbentuk, melainkan hasil dari upaya yang cerdas dan berintegritas, inovatif, sistematis dan terus menerur (Bambang Myanto:2025). 

Apa yang disampaikan oleh pak Dirjen perlu kita renungkan  dan jangan lupa kita petuah dari sang pujangga ternama Ronggowarsito yang memberikan nasehat  dari satu bait akhir tembang sinom Serat Kalatida, “Sak begjabegjaning kang lali, luwih begja kang eling lan waspada!” (seberuntung- beruntungnya orang yang lalai, lebih beruntung orang yang tetap ingat dan waspada). 

Eling lan waspada  dapat dibahasakan menjadi mawas diri.  Eling lan waspada pada dimensi kemanusiaan berupa kesadaran atas potensi kekuatan dan kelemahan manusia.  Eling lan waspada pada dimensi Ketuhanan, berupa kesadaran atas Sangkan Paraning Dumadi, sebuah perjalanan anak manusia dari akan kembali kepada Sang Causa Prima, Tuhan Maha Esa.  

Marilah mulai menjadi pribadi mawas diri yang mempunyai pengetahuan untuk mengekspresikan dirinya sebagai manusia dan ke arah mana dirinya akan dibawa, sesuai dengan pengetahuan, sesuai yang dikehendaki Penciptanya.

Mari kita perbaiki niat kita dalam bekerja bukan untuk mementingkan diri sendiri akan tetapi dapat selalu berkontribusi kepada orang lain  selalu menjadi pribadi yang mawas diri.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum