Program acara yang digagas Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum yakni perisai pada episode yang ketiga mengajukan tema Kinerja berkualitas dengan Integritas. Tema ini disampaikan dalam upaya dari peradilan khususnya peradilan umum untuk kembali mendapatkan kepercayaan publik yang sedikit terganggu dengan adanya pimpinan pengadilan dan beberapa hakim serta staf pengadilan yang saat ini menjalani pesakitan maupun yang telah dijatuhi sanksi etik karena dianggap telah tersangkut perkara gratifikasi .
Penjatuhan hukuman disiplin sepanjang tahun 2024 dilingkungan peradilan umum yakni untuk hakim ada 84 hukuman disiplin dengan perincian 21 hukuman disiplin berat, sedang 9 dan 54 sanksi ringan, sedangkan untuk panitera ada 65 yakni berat 18, sedang 10 dan ringan 37. Bertitik tolak dari program perisai maka tidaklah salah kalau kita merenungi apa yang diramalkan oleh seorang pujangga jawa pada abad 18 yakni raden ronggo warsito dengan karyanya yakni serat kalatidha .
Serat Kalatidha ditulis sang pujangga kurang lebih seabad yang lalu, yakni pada masa pemerintahan Paku Buwono IX (1862 - 1893 M). Serat Kalatidha merupakan refleksi atas kondisi kerajaan pada masa itu, akan tetapi jika kita renungi dan resapi, maka akan sesuai juga dengan kondisi sekarang Serat Kalatidha merupakan ramalan akan datangnya suatu zaman. Yang mana sang pujangga telah memprediksikannya sebab ia dikenal sebagai ngerti sadurunge winarah, mengerti apa yang akan terjadi kelak yang biasanya ramalan itu dikemukakan secara terang-terangan maupun symbol dan dunia nyata pernyataan itu memang terjadi.
Berikut ini adalah cuplikan serat Kalatidha
“ Mangkya darajating praja, kawuryan wus sunyaturi, rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi, atilar silastuti, sujana sarjana kelu, kalulun kalatida, tidhem tandhaning dumadi, ardayengrat dene karoban rubeda “
Dan jika kita artikan akan seperti ini
“ Kondisi negara kita saat ini sudah semakin mengalami kemunduran, situasi bangsa makin parah, karena sudah tak ada seseorang yang dapat dijadikan panutan, hal tersebut dikarenkan sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah/ aturan-aturan lama yang baik yang luhur yang dimiliki bangsa ini. Diperparah dengan golongan cerdik cendekiawan terbawa arus kalatidha (zaman yang penuh keragu-raguan), sehingga keadaan menjadi mencekam dan dunia penuh dengan kerepotan”
Demikian sepenggal gambaran dari sang pujangga Ronggowarsito terkait dengan kondisi tata negara yang telah rusak. Para pemimpin tak mampu meneladani rakyatnya dengan perbuatan-perbuatan bermoral. "Karana tanpa palupi", begitu tulis Ronggowarsito. Jika kita renungi dan resapi, maka sekarang ini sudah tidak ada lagi yang bisa diikuti. Negeri ini nyaris kehabisan pemimpin yang bisa dijadikan teladan.
Tentu teladan di sini merupakan sesuatu yang baik dan layak ditiru. Mengapa tak bisa diteladani? Karena para pemimpin itu, "atilar silatusti", meninggalkan tradisi. Di sini tradisi dimaksud lebih kepada etika. Sejatinya etika itu merupakan rambu-rambu untuk menuju hidup yang lebih baik, tetapi rambu-rambu itu ditinggalkan sehingga hidup ini jadi "rusak". Dunia dilanda kerepotan lantaran kerusakan itu.( Toto Tis Suparto : 2021)
Karna Tanpa Palupi
Mahkamah Agung dan Lembaga peradilan sebagai salah satu gerbang terakhir para pencari keadilan tentunya harus menjadi garda terdepan dalam perubahan kearah yang lebih baik. Dalam Upaya memperbaiki kondisi di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan, Ketua Mahkamah Agung telah memulai dengan langkah yang baik dengan menerapkan kebijakan ketika beliau diangkat menjadi Nahkoda tertinggi di Lembaga Peradilan diantaranya melalui statemen beliau bahwa Ketua Mahkamah Agung akan menerapkan demosi jika ada jamuan ketika ada kunjungan ke daerah dan tanpa perlu VIP Room dibandara bagi Pimpinan maupun Hakim Agung.
Langkah dan upaya Ketua Mahkamah Agung perlu kita maknai sebagai pengejawantahan dari ingin memberikan contoh atau teladan pada tataran dibawahnya dan sebagai langka antisipatif untuk mengantisipasi gambaran yang dikemukakan oleh sang Pujangga yakni “Karna tanpa Palupi “ dan jika kita kaitkan dengan sosok pemimpin bahwa seorang pemimpin yang kebanyakan minta dilayani maka ini merupakan anti tesisnya adagium terdahulu karena hal ini mencerminkan jiwa seorang pemimpin yang melayani. Pimpinan Mahkamah Agung telah memberikan suatu contoh perilaku kesederhanaan yang baik dan untuk itu patutlah dan layak untuk ditiru dan diikuti oleh seluruh insan peradilan.
Menurut Greenleaf, seorang pemimpin yang baik bukanlah orang yang otoriter dan beranggapan bahwa aktivitas kantor akan lamcar jika berada ditangan pemimpin. Sebaliknya pemimpin adalah orang yang punya semangat untuk berkontribusi dan melayani orang-orang yang dipimpinnya yakni pegawai, pengguna layanan atau siapa saja yang berinteraksi dengannya. Servant Leader tidak akan bertanya, “apa yang perlu dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri tetapi apa yang perlu dilakukan agar menguntungkan kita dan banyak orang ?”.
Orientasi berpikir dan bertindak adalah orang lain bukan dirinya sendiri dan untuk itu kita harus berpikiran bahwa semua insan peradilan adalah pemimpin, yakni seseorang yang mempunyai perilaku perilaku positif dan menginsipirasi orang lain, membawa pengaruh postof serta dapat menjadi panutan dan teladan (Louis Sastrawijaya; 2022).
Atilar silatusti
Salah satu hal tradisi yang baik dan luhur yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah tradisi atau petuah-petuah luhur atau etika yang sarat makna sebagai bangsa yang mempunyai adat ketimuran yang tinggi. Etika yang dimaksud antara lain budaya malu dan tenggang rasa yang tinggi, serta selalu mementingkan kepentingan orang banyak.
Sebelum membahas mengenai tradisi yang baik dan luhur patutlah kita merenungi arti makna atau purpose yakni memaknai sebuah pekerjaan, tentunya pekerjaan yang kita emban saat ini sebagai insan peradilan yang kita jalani saat ini, dunia dimana masyarakat yang kita layani adalah masyarakat yang mencari keadilan.
Jika kita renungkan bahwa kita adalah manusia-manusia yang dipilih Tuhan untuk bekerja di Peradilan tentunya Tuhan memilih kita dari sekian banyak orang dan kenapa kita dipilih tentunya harapannya agar kita dapat bermanfaat khususnya bagi masyarakat pencari keadilan.
Setelah menngerti makna atau tujuan tadi jika kita kaitkan dengan nilai nilai leluhur bangsa kita yakni budaya malu maka akan berdampak sangat positif, bahwa kita seharusnya malu jika bekerja tanpa integritas karena pengertian integritas itu sendiri adalah konsistensi dan keteguhan yang tidak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai nilai luhur dan keyakinan.
Budaya malu yang lain yang seharusnya ada pada diri kita aparatur peradilan yakni malu terlambat masuk kantor, malu tidak masuk kerja tanpa alasan. Pulang kerja sebelum waktunya, sering meninggalkan kantor tanpa alasan, bekerja tanpa pertanggungjawaban, dan tidak amanah.
Fondasi utama dalam melayani adalah prioritas pada orang lain, maka orang yang bekerja didunia peradilan jika sudah mengerti apa yang menjadi makna pekerjaan kita tentunya akan mempunyai tujuan dalam bekerja sebagai orang-orang yang mendapatkan amanat untuk melayani masyarakat pencari keadilan dan pondasi utama dalam melayani adalah memberikam kontribusi kepada orang lain.
Joel Oesteen dalam bukunya Your Best Life Now yang isinya adalah tentang kunci rahasia agar seseorang dapat mengalami kegembiraan dan kebahagiaan setiap hari yaitu dengan menjadi seorang pemberi, tidak hanya mementingkan diri sendiri tetapi selalu memberikan kontribusi kepada orang lain.
Hal tersebut kadang sangatlah berat karena pada kebanyakan yang terjadi pada semua orang menghadapi godaaan umtuk mementingkan diri sendiri sebagaimana dicontohkan kepada kolega yang tersandung kasus pidana maupun pelanggaran kode etik lainnya dan tentunya ini sangat bertentangan dengan nilai nilai luhur bangsa kita yang cenderung mementingkan orang lain seperti kegiatan kerja bakti dan hal hal baik lainnya.
Aplikasi dalam hal berkontribusi kepada orang lain yakni dengan memberikan service excellent atau pelayanan prima, artinya fokus kita tidak memberikan pelayanan asala-asalan tetapi memberikan pelayanan melalui kecepatan, ketepatan, kenyamanan, kemudahan dan berbagai manfaat lain yang dapat dirasakan oleh pengguna layanan pengadilan. Dengan begitu kepercayaan masyarakat pencari keadilan akan merasa terlayani dan berimpilikasi pada meningkatnya kepercayaan kepada lembaga.
Kinerja yang berkualitas tidak secara otomatis dan natural terbentuk, melainkan hasil dari upaya yang cerdas dan berintegritas, inovatif, sistematis dan terus menerur (Bambang Myanto:2025).
Apa yang disampaikan oleh pak Dirjen perlu kita renungkan dan jangan lupa kita petuah dari sang pujangga ternama Ronggowarsito yang memberikan nasehat dari satu bait akhir tembang sinom Serat Kalatida, “Sak begjabegjaning kang lali, luwih begja kang eling lan waspada!” (seberuntung- beruntungnya orang yang lalai, lebih beruntung orang yang tetap ingat dan waspada).
Eling lan waspada dapat dibahasakan menjadi mawas diri. Eling lan waspada pada dimensi kemanusiaan berupa kesadaran atas potensi kekuatan dan kelemahan manusia. Eling lan waspada pada dimensi Ketuhanan, berupa kesadaran atas Sangkan Paraning Dumadi, sebuah perjalanan anak manusia dari akan kembali kepada Sang Causa Prima, Tuhan Maha Esa.
Marilah mulai menjadi pribadi mawas diri yang mempunyai pengetahuan untuk mengekspresikan dirinya sebagai manusia dan ke arah mana dirinya akan dibawa, sesuai dengan pengetahuan, sesuai yang dikehendaki Penciptanya.
Mari kita perbaiki niat kita dalam bekerja bukan untuk mementingkan diri sendiri akan tetapi dapat selalu berkontribusi kepada orang lain selalu menjadi pribadi yang mawas diri.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum