Cari Berita

Solusi Kontekstual, Pencatatan Perkawinan Terlambat Alternatif Dispensasi Kawin

I Putu Renatha Indra Putra - Dandapala Contributor 2025-10-05 13:55:41
Dok. Penulis.

Semenjak bertugas di Pengadilan Negeri Amlapura dalam kurun waktu tidak lebih dari tiga bulan, Penulis kerap menjumpai perkara yang mengandung paradoks hukum dan budaya: pasangan yang telah menikah secara adat Bali dan agama Hindu (pawiwahan) saat masih di bawah umur, kini datang sebagai orang dewasa, memohon “Penetapan Dispensasi Kawin”.

Padahal, mereka bukan hendak menikah, melainkan ingin memperoleh legalitas negara atas ikatan yang sudah sah secara agama dan adat.

Permohonan ini menempatkan Hakim dalam suatu dilema: mengabulkan dispensasi kawin berarti menggunakan instrumen pencegahan perkawinan terhadap anak di bawah umur untuk memutihkan masa lalu, sementara menolak bisa merugikan anak yang lahir dari perkawinan tersebut.

Baca Juga: Fenomena Dispensasi Kawin Pasca Perkawinan Terlaksana Secara Adat dan Agama di Bali

Ironisnya, data perkara dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung menunjukkan bahwa Pengadilan Tinggi Denpasar adalah penyumbang terbesar kedua perkara dispensasi kawin di Indonesia setelah Pengadilan Tinggi Manado.

Ketidaksesuaian Konseptual Dispensasi Kawin Pasca-Dewasa

Secara yuridis, dispensasi kawin adalah izin untuk menikah bagi mereka yang belum cukup umur. Ketika pasangan yang sudah dewasa mengajukan dispensasi kawin, instrumen ini kehilangan relevansi dan fungsi. Ia berubah menjadi alat pemutihan administratif, bukan pencegahan perkawinan anak. Hal ini mengikis marwah hukum dispensasi kawin dan menciptakan preseden yang membingungkan.

Terlebih lagi, permohonan semacam ini sering diajukan bukan oleh orang tua dari pasangan yang akan melangsungkan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2019, melainkan oleh pasangan itu sendiri, yang secara hukum sudah cakap dan tidak lagi berada dalam pengampuan orang tua. Bahkan jika orang tua yang mengajukan, permohonan tersebut tetap tidak relevan karena subjek hukum yang dimohonkan sudah dewasa dan telah menjalani kehidupan rumah tangga.

Permasalahan lain yang muncul adalah, sejauh yang Penulis ketahui, dalam pelaksanaannya, agama Hindu yang tumbuh dan hidup di Provinsi Bali tidak mengenal konsep “kawin ulang.” Pawiwahan adalah ritual sakral yang bersifat final dan mengikat seumur hidup.

Meminta pasangan untuk mengulang pawiwahan demi administrasi negara akan menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian terhadap kesakralan adat, menciptakan beban ekonomi, dan bertentangan dengan prinsip peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Tri Upasaksi: Pilar Filosofis Perkawinan Hindu Bali

Sejalan dengan pesan yang disampaikan oleh Pengadilan Tinggi Denpasar dalam acara “Kopi Bali” yang dilaksanakan pada tanggal 18 September 2025, Penulis berpendapat seorang Hakim yang menangani perkara serupa dapat mempertimbangkan konsepsi Tri Upasaksi dalam penetapannya.

Sederhananya, Tri Upasaksi merupakan tiga syarat yang menjadi penentu sahnya suatu perkawinan menurut hukum adat Bali, yang terdiri dari Dewa Saksi, Manusa Saksi, dan Bhuta Saksi. Apabila dijabarkan, maka perwujudan tri Upasaksi tersebut adalah:

  • Dewa Saksi (Tuhan/Agama): Perkawinan telah sah di hadapan Sang Hyang Widhi Wasa melalui upacara yadnya.
  • Manusa Saksi (Manusia/Adat): Perkawinan disaksikan oleh sulinggih (pemuka agama), keluarga, dan banjar adat.
  • Bhuta Saksi (Alam/Lingkungan): Pasangan telah hidup bersama, membangun rumah tangga, dan memiliki keturunan.

Ketika ketiga hal ini telah terpenuhi, maka secara substansi, ikatan perkawinan telah sah dan sempurna menurut adat dan agama. Meskipun usia pasangan saat pawiwahan belum memenuhi syarat administratif negara, kenyataan bahwa mereka kini telah dewasa dan cakap hukum membuka ruang bagi negara untuk mengakui dan mencatat perkawinan tersebut secara resmi, tanpa harus mengulang proses sakral yang telah tuntas. Menurut Penulis, inilah titik temu antara kearifan lokal dan sistem hukum nasional.

Pencatatan Perkawinan Terlambat sebagai solusi yang kontekstual

Penulis berpandangan bahwa instrumen hukum yang paling tepat untuk menyelesaikan perkara semacam ini adalah Pencatatan Perkawinan Terlambat, bukan Dispensasi Kawin.

Berkaitan dengan pencatatan perkawinan terlambat tersebut, terdapat beberapa instrumen hukum yang mengakomodir, antara lain:

  • Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan.
  • Pasal 7 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2019 (perubahan atas UU Perkawinan): Dispensasi hanya diberikan bagi calon mempelai yang belum mencapai usia minimum. (bertolak belakang dengan diberikannya dispensasi ketika sudah dewasa)
  • Pasal 34 dan 35 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 108 Tahun 2019: Pencatatan perkawinan terlambat dapat dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan.
  • Pasal 2 dan Pasal 27 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (sebagaimana diubah dengan UU No. 24 Tahun 2013): Setiap peristiwa penting termasuk perkawinan wajib dilaporkan untuk dicatat dalam register kependudukan, dan pencatatan perkawinan dapat dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan jika tidak dilakukan sesuai waktu yang ditentukan.

Dengan mengalihkan permohonan dispensasi kawin ke pencatatan terlambat, Hakim dapat menjaga fungsi asli dispensasi kawin sebagai pencegah perkawinan anak. Dispensasi kawin tidak lagi menjadi instrumen pemutihan, melainkan tetap fokus pada perlindungan anak sebelum usia dewasa.

Solusi ini juga memberikan kepastian hukum bagi anak dalam hal administratif dan hak sipil lainnya. Semua ini tercapai tanpa harus memaksa orang tua melakukan proses kawin ulang yang hampir tidak dikenal dan tidak pernah terdengar dan tidak pernah diketahui sejauh ini oleh Penulis dalam tradisi Hindu Bali.

Keadilan yang Berakar pada Kearifan Lokal

Penulis percaya bahwa hukum tidak boleh berjalan sendiri, melainkan harus beriringan dengan adat budaya yang tidak melanggar ketentuan. Konteksnya dengan permasalahan dispensasi kawin dan pencatatan perkawinan terlambat adalah, ketika Tri Upasaksi telah terpenuhi dan pasangan telah dewasa, maka pencatatan perkawinan terlambat menjadi sebuah bentuk keadilan mampu menghormati hukum nasional tanpa mengabaikan kearifan lokal. Dengan pendekatan ini, Hakim tidak hanya meluruskan administrasi, tetapi juga menjaga martabat hukum dan adat.

Baca Juga: Memaknai Status “Kawin Belum Tercatat” pada Dokumen Kependudukan

Bali bukan sekadar daerah dengan banyak perkara Dispensasi Kawin; Bali adalah tempat di mana hukum dan budaya saling bertemu, saling memengaruhi, dan mencari jalan tengah yang adil. Dalam setiap perkara, Hakim dituntut untuk tidak hanya menegakkan aturan, tetapi juga mempertimbangkan nilai-nilai adat yang hidup di masyarakat. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI