Profesi hakim di Indonesia kini tengah menghadapi tantangan kompleks yang menarik untuk dikaji secara mendalam. Di satu sisi, seorang hakim dituntut untuk menjaga integritas dan independensi melalui pembatasan pergaulan yang diatur dalam Kode Etik Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Namun di sisi lain, mereka tetap manusia yang memiliki kebutuhan bersosialisasi dan hak atas rasa aman dalam menjalankan tugasnya. Pertanyaannya, bagaimana menyeimbangkan kedua aspek ini tanpa mengorbankan salah satunya?
Realitas menunjukkan bahwa hakim di Indonesia kerap menghadapi dilema dalam konteks pergaulan sosial. Sebagai pejabat publik yang memiliki peran strategis dalam penegakan hukum dan keadilan, setiap gerak-gerik para hakim pasti senantiasa akan menjadi sorotan publik. KEPPH yang menjadi pedoman etis bagi hakim memang telah mengatur secara rigid batasan-batasan dalam pergaulan, mulai dari pertemanan hingga hubungan profesional. Namun implementasinya tidaklah sesederhana yang tertulis di atas kertas.
Perkembangan teknologi informasi juga tampaknya membuat rumit situasi ini. Media sosial dan kemudahan komunikasi modern membuat batas-batas pergaulan pertemanan menjadi kabur. Seorang hakim bisa saja tanpa sengaja terlibat dalam percakapan atau interaksi yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Belum lagi tantangan dalam memisahkan antara kehidupan profesional dan personal, yang kini semakin tipis batasnya.
Paradigma "silent corps" yang masih mengakar dalam kultur peradilan Indonesia tersebut dipandang sudah usang dan tidak relevan dengan dinamika sosial kontemporer. Konsep yang menghendaki hakim untuk ‘diam’ dan meminimalisasi interaksi sosial ini pada praktiknya justru kontraproduktif dengan kebutuhan adaptasi terhadap kompleksitas permasalahan hukum modern. Ketika masyarakat menuntut transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar dari lembaga peradilan, sikap "membisu" justru dapat menimbulkan kesenjangan pemahaman dan berpotensi menurunkan kepercayaan publik.
Lebih lanjut, doktrin silent corps yang cenderung mengisolasi hakim dari realitas sosial sesungguhnya bertentangan dengan kebutuhan hakim untuk memahami dinamika masyarakat secara komprehensif. Bagaimana mungkin seorang hakim dapat menghasilkan putusan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat jika ia terisolasi dari realitas sosial itu sendiri? Paradigma ini juga paradoks dengan kebutuhan hakim untuk membangun sistem deteksi dini terhadap ancaman keamanan yang justru mengharuskan dirinya untuk membangun jejaring sosial yang sehat.
Di era keterbukaan informasi dan media sosial, konsep silent corps perlu ditafsirkan ulang secara lebih kontekstual. Yang dibutuhkan bukanlah keheningan total, melainkan kearifan dalam berkomunikasi dan berinteraksi di kehidupan sosial. Hakim modern dituntut untuk mampu mengelola pergaulan sosial secara proporsional, bukan menghindarinya sama sekali. Mereka perlu mengembangkan kemampuan untuk membedakan antara keterbukaan yang konstruktif dan pergaulan yang berpotensi mengganggu independensi.
Berbicara tentang keamanan, fenomena ancaman terhadap hakim bukanlah hal baru di Indonesia. Beberapa kasus intimidasi, ancaman fisik, hingga teror terhadap hakim dan keluarganya telah menciptakan kekhawatiran yang valid. Kondisi ini tentu berpengaruh signifikan terhadap independensi dan objektivitas hakim dalam pengambilan putusan. Seorang hakim yang merasa terancam, secara sadar atau tidak, pasti akan terpengaruh dalam mengambil keputusan.
Menariknya, pergaulan dan keamanan hakim sesungguhnya memiliki hubungan yang bersifat paradoksal. Di satu sisi, pembatasan pergaulan yang terlalu ketat dan kaku bisa mengisolasi hakim dari manajemen risiko pekerjaannya melalui sistem peringatan dini yang berbasis pada komunitas masyarakat. Padahal, jaringan sosial yang sehat justru dapat menjadi salah satu instrumen untuk memitigasi ancaman-ancaman potensial terhadap pribadi maupun jabatannya. Di sisi lain, pergaulan yang terlalu longgar dapat membuka celah kebocoran informasi sensitif dan manipulasi yang mengancam keamanan hakim itu sendiri.
Lantas, bagaimana solusi yang dapat ditawarkan? Pertama, penulis merasa perlu ada reformulasi sebuah kebijakan yang mengakomodasi keseimbangan antara pembatasan pergaulan dan jaminan keamanan. Kode etik hakim perlu ditinjau ulang dengan mempertimbangkan konteks kekinian, terutama terkait pergaulan di era digital. Sistem perlindungan keamanan bagi hakim juga perlu segera direalisasikan dengan mengadopsi teknologi dan protokol keamanan terkini.
Kedua, penulis menilai perlu adanya penguatan kapasitas bagi para hakim itu sendiri melalui pelatihan manajemen risiko dan protokol keamanan bagi hakim secara berkala. Para hakim perlu dibekali kemampuan untuk mengenali potensi ancaman sejak dini, sekaligus memahami cara mengelola pergaulan yang aman, sehat tanpa mengorbankan fungsi etis jabatan maupun sosialnya.
Ketiga, penulis berpendapat perlu adanya pendekatan kolaboratif yang melibatkan berbagai stakeholder. Keamanan hakim bukanlah tanggung jawab institusi peradilan semata, melainkan membutuhkan dukungan dari aparat keamanan, pemerintah, hingga masyarakat sipil dalam hal ini adalah Forkopimda. Sistem pengamanan partisipatif yang melibatkan Forkopimda dapat digalakkan demi memberikan perlindungan keamanan bagi hakim, namun dengan tetap menjaga independensi peradilan.
Akhirnya, harus dipahami bahwa pergaulan hakim dalam tinjauan etis demi jaminan keamanan pribadi maupun jabatannya bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan. Keduanya, seperti dua sisi mata uang, yang justru harus dilihat sebagai elemen yang saling melengkapi dalam menciptakan sistem peradilan yang sehat. Pembatasan pergaulan seharusnya tidak mengorbankan aspek keamanan, dan sebaliknya, jaminan keamanan tidak boleh membatasi secara berlebihan hak hakim untuk bersosialisasi secara wajar.
Tantangan ke depan adalah menemukan titik keseimbangan yang tepat antara kedua aspek tersebut. Diperlukan komitmen bersama terutama para pimpinan Mahkamah Agung RI untuk menciptakan ekosistem yang mendukung hakim dalam menjalankan tugasnya secara independen, namun tetap terlindungi keamanan dan keselamatannya. Hanya dengan demikian, menurut penulis, marwah dan wibawa peradilan dapat terjaga, dan keadilan dapat ditegakkan tanpa adanya rasa takut terhadap apa pun. (FAC)
*John Malvino Seda Noa Wea (Wakil Ketua Pengadilan Negeri Putussibau)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum