Secara normatif merupakan suatu conditio sine qua non terciptanya
putusan pemidanaan dengan terpenuhinya unsur-unsur delik pidana dalam suatu
Pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum melalui proses pembuktian.
Penuntut Umum berdasarkan asas actori in cumbit onus probandi, diwajibkan
untuk menghadirkan minimal dua alat bukti agar penjatuhan pidana telah memenuhi
syarat pembuktian bagi penuntut umum dan atas dua alat bukti tersebut, hakim
memperoleh keyakinan (vide Pasal 183 KUHAP) sebagai basis kenyamanan
moral untuk menjatuhkan pemidanaan bahwa memang benar-benar Terdakwa
berdasarkan ukuran akal manusia, telah melakukan tindak pidana.
Pemenuhan unsur delik pidana dapat dimaknai sebagai suatu perbuatan yang
telah melawan hukum formil, artinya terpenuhinya unsur delik pidana dianggap
secara formil bahwa seseorang melakukan tindak pidana.
Baca Juga: Menelisik Sejarah PMH (Onrechtmatige Daad) & Perkembangannya
Akan tetapi, terdapat tinjauan lain terhadap perbuatan Terdakwa yaitu
berupa apakah setelah memenuhi unsur secara formil, perbuatan tersebut melawan
hukum secara materiil.
Moeljatno menyebutkan, sifat melawan hukum materiil berarti suatu perbuatan
pidana tidak hanya dianggap telah memenuhi unsur delik, akan tetapi menurut
ukuran pergaulan masyarakat, perbuatan tersebut benar-benar dirasa sebagai hal
yang tidak diperbolehkan atau tidak patut dilakukan, karena hukum tidak hanya
mempunyai makna secara tekstual atau tertulis semata, akan tetapi terjelma
dalam seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Sehingga, dapat dianggap adanya perbuatan
pidana jika telah dipandang telah melawan hukum secara formil, wajib pula
dianggap melawan hukum secara materiil (Moeljatno: 1983).
Tinjauan a quo masih belum mendapatkan tempatnya baik dalam berbagai
putusan pengadilan maupun secara yuridis. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Wetbook van Strafrecht (KUHP WvS), sifat melawan hukum tidak
termasuk dalam bagian yang dipertimbangkan karena tidak ada Pasal yang
menyebutkan adanya ketentuan “sifat melawan hukum” secara expressis verbis.
Kecuali delik Pasal yang menyebutkan bahwa harus dibuktikannya sifat melawan
hukum.
Sifat melawan hukum pada unsur delik
pada delik Pencurian misalnya (Pasal 362 KUHP WvS), senyatanya bukanlah suatu
makna dari sifat melawan hukum materiil, melainkan sebagai unsur delik yang
harus dibuktikan berupa sifat melawan hukum subjektif yaitu, apakah kepemilikan
atas barang yang diambil oleh Terdakwa memang benar sebagai suatu kehendak
jahat atau justru sebaliknya kehendak baik berupa menyimpan barang milik orang
lain agar tidak dicuri.
Berdasarkan hal tersebut, artikel ini akan mencoba menguraikan pentingnya
tinjauan sifat melawan hukum materiil dalam setiap perbuatan pidana oleh
Terdakwa setelah dinyatakan terbukti telah memenuhi unsur-unsur delik suatu
Pasal, agar Pengadilan senantiasa dapat mewujudkan penjatuhan putusan yang
memiliki nilai-nilai keadilan dan sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Urgensi dan Syarat Sifat Melawan Hukum Materiil
dalam Perkara Pidana
Keharusan untuk menerapkan tinjauan sifat melawan hukum materiilnya suatu
perbuatan pidana secara praktik menurut Roeslan Saleh adalah hukum maupun hukum
pidana, tidak hanya dapat dimaknai dalam suatu teks tertulis dan menempatkan
seorang Hakim bagaikan mesin subsumtie-automaat yang hanya menerapkan
undang-undang semata.
Sebaliknya, oleh karena undang-undang selalu tertinggal dari perkembangan
masyarakat bagaikan ungkapan het recht hink achter de feiten aan, maka
menjadi kewajiban hakim untuk senantiasa memahami hukum yang berkembang diluar
aturan tertulis, termasuk memaknai suatu perbuatan kendati telah memenuhi unsur
delik (melawan hukum secara formal), namun harus juga dimaknai secara materiil
yaitu apakah menurut perasaan hukum masyarakat bahwa perbuatan tersebut
merupakan perbuatan yang tidak patut. (Roeslan Saleh: 1983).
Konsekuensinya, bilamana suatu perbuatan telah memenuhi unsur delik suatu
Pasal namun menurut tinjauan melawan hukum secara materiil perbuatan tersebut tidak
dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut, maka tidak dapat
dikategorikan sebagai perbuatan pidana dan Terdakwa wajib untuk dibebaskan
(fungsi negatif).
Pentingnya penerapan tinjauan materiil secara historis juga tidak dapat
dilepaskan dari sistem komunalistik masyarakat Indonesia yang mengilhami
aturan-aturan tidak tertulis. Sehingga, penerapan tinjauan melawan hukum secara
materiil, menjadi suatu keharusan dalam penentuan suatu perbuatan sebagai
perbuatan pidana.
Oleh karena itu, menjadi anomali ketika menurut undang-undang perbuatan
tersebut dikategorikan pidana, namun menurut perasaan hukum masyarakat hal
tersebut bukan merupakan perbuatan yang tidak patut.
Mahkamah Agung melalui Yurisprudensi pernah mempertimbangkan eksistensi
sifat melawan hukum materiil sebagai suatu yang meniadakan perbuatan pidana
pada perkara tindak pidana korupsi. Melalui Putusan Nomor 42 K/Kr/1965 tanggal
8 Januari 1966 yang menguatkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 146
Tahun 1964 tanggal 27 Januari 1975, Mahkamah Agung menyatakan, “…Bukanlah
Pengadilan Tinggi dalam putusanya menganggap tiga faktor tersebut sebagai
unsur-unsur, melainkan adanya tiga faktor tadi dianggap menghapuskan sifat
melawan hukum dari tindakan terdakwa…. Mahkamah Agung pada asasnya
membenarkan….bahwa sesuatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya melawan
hukum bukan hanya berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak
tertulis…”
Dalam Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 146 Tahun 1964 tersebut, Majelis
Hakim Pengadilan Tinggi menyebutkan beberapa alasan tidak adanya sifat melawan
hukum secara materiil atas perbuatan dari Terdakwa sebagai berikut, “…Akan
tetapi perbuatan-perbuatan terdakwa tersebut jika ditinjau dari sudut
kemasyarakatan… Menurut Pengadilan Tinggi merupakan perbuatan yang
menguntungkan masyarakat daerah itu dan karenanya melayani kepentingan
umum…Tidak terbukti bahwa terdakwa telah mengambil atau mendapat keuntungan.
Tidak pula terbukti bahwa negara mendapat kerugian atas perbuatan Terdakwa
tersebut”. Menurut Majelis Hakim, oleh karena perbuatan Terdakwa
menguntungkan masyarakat daerah karena terpenuhinya kepentingan umum, tidak terbukti
mengambil keuntungan dan negara tidak mengalami kerugian, hal tersebut yang
meniadakan sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang negatif. Sehingga,
Terdakwa dibebaskan karena menurut Majelis Hakim Kasasi perbuatan tersebut
kendati telah memenuhi unsur, akan tetapi menurut sudut pandang masyarakat
perbuatan tersebut bukanlah perbuatan yang tidak patut. (Muhammad Ainul Syamsu:
2018).
Berkaca dari yurisprudensi tersebut, pada dasarnya penulis berpendapat
bahwa sifat melawan hukum materiil bisa pula diterapkan dalam menentukan tindak
pidana umum yaitu apakah terdapat perbuatan pidana setelah ditentukannya
unsur-unsur delik suatu Pasal, namun dengan batasan-batasan yang ketat.
Pertama, bahwa perbuatan pidana tidak merugikan masyarakat atau individu tertentu.
Kedua, perbuatan pidana tidak merugikan kepentingan negara dan ketiga Terdakwa
tidak mengambil keuntungan atas tindak pidana yang dilakukannya.Penerapannya dalam KUHP Nasional
KUHP Nasional telah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 dan
akan berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2026. Sejumlah perubahan
dari KUHP WvS sebelumnya telah menunjukkan adanya kehendak perumus
undang-undang untuk memasukkan tinjauan sifat melawan hukum materiil dalam KUHP
Nasional.
Hal tersebut sebagaimana ternyata dalam Pasal 12 ayat (2) KUHP Nasional
yang menyebutkan, bahwa untuk dinyatakan suatu tindak pidana, selain suatu
perbuatan yang diancam sanksi oleh peraturan perundang-undangan, namun juga
harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Redaksi Pasal a quo seraya memberikan seruan kepada para hakim di
Indonesia, untuk senantiasa berijtihad dalam menangani suatu perkara pidana
dengan sungguh-sungguh dan memperhatikan hukum-hukum yang hidup dimasyarakat
sebagai bagian yang tidak terpisahkan serta wajib dipertimbangkan oleh hakim
dalam putusannya. (ypy/ldr)
Daftar Bacaan:
Moeljatno, (1983). Perbuatan Pidana dan
Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana: Pidato Upacara Peringatan Dies Natalis
Ke-6 Universitas Gadjah Mada Tanggal 19 Desember 1955. Yogyakarta: Bina Aksara.
Baca Juga: Punitive Restitution, Paradigma Baru Pemidanaan dalam KUHP Nasional
Roeslan Saleh, (1983). Perbuatan Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Aksara Baru.
Muhammad Ainul Syamsu, (2018). Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana. Depok: Prenadamedia.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI