Cari Berita

Urgensi Tinjauan Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam Perkara Pidana Pada Putusan Pengadilan

Raenes Wadi-Hakim PN Sarolangun - Dandapala Contributor 2025-08-08 14:35:12
Dok. Penulis. Raenes Wadi-Hakim PN Sarolangun

Secara normatif merupakan suatu conditio sine qua non terciptanya putusan pemidanaan dengan terpenuhinya unsur-unsur delik pidana dalam suatu Pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum melalui proses pembuktian.

Penuntut Umum berdasarkan asas actori in cumbit onus probandi, diwajibkan untuk menghadirkan minimal dua alat bukti agar penjatuhan pidana telah memenuhi syarat pembuktian bagi penuntut umum dan atas dua alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan (vide Pasal 183 KUHAP) sebagai basis kenyamanan moral untuk menjatuhkan pemidanaan bahwa memang benar-benar Terdakwa berdasarkan ukuran akal manusia, telah melakukan tindak pidana.

Pemenuhan unsur delik pidana dapat dimaknai sebagai suatu perbuatan yang telah melawan hukum formil, artinya terpenuhinya unsur delik pidana dianggap secara formil bahwa seseorang melakukan tindak pidana.

Baca Juga: Menelisik Sejarah PMH (Onrechtmatige Daad) & Perkembangannya

Akan tetapi, terdapat tinjauan lain terhadap perbuatan Terdakwa yaitu berupa apakah setelah memenuhi unsur secara formil, perbuatan tersebut melawan hukum secara materiil.

Moeljatno menyebutkan, sifat melawan hukum materiil berarti suatu perbuatan pidana tidak hanya dianggap telah memenuhi unsur delik, akan tetapi menurut ukuran pergaulan masyarakat, perbuatan tersebut benar-benar dirasa sebagai hal yang tidak diperbolehkan atau tidak patut dilakukan, karena hukum tidak hanya mempunyai makna secara tekstual atau tertulis semata, akan tetapi terjelma dalam seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Sehingga, dapat dianggap adanya perbuatan pidana jika telah dipandang telah melawan hukum secara formil, wajib pula dianggap melawan hukum secara materiil (Moeljatno: 1983).

Tinjauan a quo masih belum mendapatkan tempatnya baik dalam berbagai putusan pengadilan maupun secara yuridis. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Wetbook van Strafrecht (KUHP WvS), sifat melawan hukum tidak termasuk dalam bagian yang dipertimbangkan karena tidak ada Pasal yang menyebutkan adanya ketentuan “sifat melawan hukum” secara expressis verbis. Kecuali delik Pasal yang menyebutkan bahwa harus dibuktikannya sifat melawan hukum.

Sifat melawan hukum pada unsur delik pada delik Pencurian misalnya (Pasal 362 KUHP WvS), senyatanya bukanlah suatu makna dari sifat melawan hukum materiil, melainkan sebagai unsur delik yang harus dibuktikan berupa sifat melawan hukum subjektif yaitu, apakah kepemilikan atas barang yang diambil oleh Terdakwa memang benar sebagai suatu kehendak jahat atau justru sebaliknya kehendak baik berupa menyimpan barang milik orang lain agar tidak dicuri.

Berdasarkan hal tersebut, artikel ini akan mencoba menguraikan pentingnya tinjauan sifat melawan hukum materiil dalam setiap perbuatan pidana oleh Terdakwa setelah dinyatakan terbukti telah memenuhi unsur-unsur delik suatu Pasal, agar Pengadilan senantiasa dapat mewujudkan penjatuhan putusan yang memiliki nilai-nilai keadilan dan sesuai dengan perkembangan masyarakat.

Urgensi dan Syarat Sifat Melawan Hukum Materiil dalam Perkara Pidana

Keharusan untuk menerapkan tinjauan sifat melawan hukum materiilnya suatu perbuatan pidana secara praktik menurut Roeslan Saleh adalah hukum maupun hukum pidana, tidak hanya dapat dimaknai dalam suatu teks tertulis dan menempatkan seorang Hakim bagaikan mesin subsumtie-automaat yang hanya menerapkan undang-undang semata.

Sebaliknya, oleh karena undang-undang selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat bagaikan ungkapan het recht hink achter de feiten aan, maka menjadi kewajiban hakim untuk senantiasa memahami hukum yang berkembang diluar aturan tertulis, termasuk memaknai suatu perbuatan kendati telah memenuhi unsur delik (melawan hukum secara formal), namun harus juga dimaknai secara materiil yaitu apakah menurut perasaan hukum masyarakat bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang tidak patut. (Roeslan Saleh: 1983).

Konsekuensinya, bilamana suatu perbuatan telah memenuhi unsur delik suatu Pasal namun menurut tinjauan melawan hukum secara materiil perbuatan tersebut tidak dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut, maka tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana dan Terdakwa wajib untuk dibebaskan (fungsi negatif).

Pentingnya penerapan tinjauan materiil secara historis juga tidak dapat dilepaskan dari sistem komunalistik masyarakat Indonesia yang mengilhami aturan-aturan tidak tertulis. Sehingga, penerapan tinjauan melawan hukum secara materiil, menjadi suatu keharusan dalam penentuan suatu perbuatan sebagai perbuatan pidana.

Oleh karena itu, menjadi anomali ketika menurut undang-undang perbuatan tersebut dikategorikan pidana, namun menurut perasaan hukum masyarakat hal tersebut bukan merupakan perbuatan yang tidak patut.

Mahkamah Agung melalui Yurisprudensi pernah mempertimbangkan eksistensi sifat melawan hukum materiil sebagai suatu yang meniadakan perbuatan pidana pada perkara tindak pidana korupsi. Melalui Putusan Nomor 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 yang menguatkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 146 Tahun 1964 tanggal 27 Januari 1975, Mahkamah Agung menyatakan, “…Bukanlah Pengadilan Tinggi dalam putusanya menganggap tiga faktor tersebut sebagai unsur-unsur, melainkan adanya tiga faktor tadi dianggap menghapuskan sifat melawan hukum dari tindakan terdakwa…. Mahkamah Agung pada asasnya membenarkan….bahwa sesuatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya melawan hukum bukan hanya berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis…

Dalam Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 146 Tahun 1964 tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi menyebutkan beberapa alasan tidak adanya sifat melawan hukum secara materiil atas perbuatan dari Terdakwa sebagai berikut, “…Akan tetapi perbuatan-perbuatan terdakwa tersebut jika ditinjau dari sudut kemasyarakatan… Menurut Pengadilan Tinggi merupakan perbuatan yang menguntungkan masyarakat daerah itu dan karenanya melayani kepentingan umum…Tidak terbukti bahwa terdakwa telah mengambil atau mendapat keuntungan. Tidak pula terbukti bahwa negara mendapat kerugian atas perbuatan Terdakwa tersebut”. Menurut Majelis Hakim, oleh karena perbuatan Terdakwa menguntungkan masyarakat daerah karena terpenuhinya kepentingan umum, tidak terbukti mengambil keuntungan dan negara tidak mengalami kerugian, hal tersebut yang meniadakan sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang negatif. Sehingga, Terdakwa dibebaskan karena menurut Majelis Hakim Kasasi perbuatan tersebut kendati telah memenuhi unsur, akan tetapi menurut sudut pandang masyarakat perbuatan tersebut bukanlah perbuatan yang tidak patut. (Muhammad Ainul Syamsu: 2018).

Berkaca dari yurisprudensi tersebut, pada dasarnya penulis berpendapat bahwa sifat melawan hukum materiil bisa pula diterapkan dalam menentukan tindak pidana umum yaitu apakah terdapat perbuatan pidana setelah ditentukannya unsur-unsur delik suatu Pasal, namun dengan batasan-batasan yang ketat. Pertama, bahwa perbuatan pidana tidak merugikan masyarakat atau individu tertentu. Kedua, perbuatan pidana tidak merugikan kepentingan negara dan ketiga Terdakwa tidak mengambil keuntungan atas tindak pidana yang dilakukannya.Penerapannya dalam KUHP Nasional

KUHP Nasional telah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 dan akan berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2026. Sejumlah perubahan dari KUHP WvS sebelumnya telah menunjukkan adanya kehendak perumus undang-undang untuk memasukkan tinjauan sifat melawan hukum materiil dalam KUHP Nasional.

Hal tersebut sebagaimana ternyata dalam Pasal 12 ayat (2) KUHP Nasional yang menyebutkan, bahwa untuk dinyatakan suatu tindak pidana, selain suatu perbuatan yang diancam sanksi oleh peraturan perundang-undangan, namun juga harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Redaksi Pasal a quo seraya memberikan seruan kepada para hakim di Indonesia, untuk senantiasa berijtihad dalam menangani suatu perkara pidana dengan sungguh-sungguh dan memperhatikan hukum-hukum yang hidup dimasyarakat sebagai bagian yang tidak terpisahkan serta wajib dipertimbangkan oleh hakim dalam putusannya. (ypy/ldr)

 

Daftar Bacaan:

Moeljatno, (1983). Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana: Pidato Upacara Peringatan Dies Natalis Ke-6 Universitas Gadjah Mada Tanggal 19 Desember 1955. Yogyakarta: Bina Aksara.

Baca Juga: Punitive Restitution, Paradigma Baru Pemidanaan dalam KUHP Nasional

Roeslan Saleh, (1983). Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Aksara Baru.

Muhammad Ainul Syamsu, (2018). Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana. Depok: Prenadamedia.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI