Cari Berita

Melampaui Bedrog: Rekonstruksi Makna 'Penipuan' Dalam Pasal 126 Ayat (5) UU Kepailitan Untuk Proteksi Boedel Pailit

Bony Daniel (Hakim PN Serang) - Dandapala Contributor 2025-12-15 07:05:43
Dok. Penulis.

Arsitektur fundamental Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan & PKPU) dibangun di atas dua asas kardinal: paritas creditorum (kesetaraan kreditor konkuren) dan concursus creditorium (penyelesaian utang secara kolektif). Untuk menjamin tercapainya tujuan ini, undang-undang memberikan mandat sentral kepada Kurator.

Pasal 69 ayat (1) UU Kepailitan & PKPU secara imperatif menyatakan bahwa tugas Kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Mandat ini bersifat fidusiari, di mana Kurator wajib bertindak independen demi kepentingan terbaik seluruh kreditor secara kolektif.

Jantung dari proses kepailitan terletak pada tahap verifikasi atau pencocokan piutang. Di sinilah tugas fidusiari Kurator diuji. Namun, dalam pelaksanaan tugas vital ini, Kurator dihadapkan pada sebuah antinomi norma yang kritis, yakni Pasal 126 ayat (5) UU Kepailitan & PKPU. Norma ini berbunyi: "Pengakuan suatu piutang yang dicatat dalam berita acara rapat mempunyai kekuatan hukum yang tetap dalam kepailitan dan pembatalannya tidak dapat dituntut oleh Kurator, kecuali berdasarkan alasan adanya penipuan."

Baca Juga: Urgensi Prinsip Solvabilitas Bagi Hakim di Kasus Kepailitan

Jika ditafsirkan secara literal, ketentuan ini memberikan kekuatan absolut pada pengakuan yang diberikan oleh Debitor Pailit. Norma ini seolah mengasumsikan Debitor Pailit selalu bertindak jujur. Realitas yuridis seringkali menunjukkan risiko sebaliknya: adanya kolusi antara Debitor Pailit yang beriktikad buruk dengan kreditor terafiliasi.

Dengan sekadar "mengakui" piutang fiktif, Debitor Pailit dapat secara efektif memasukkan tagihan tidak sah ke dalam boedel pailit, yang secara langsung menggerus porsi yang seharusnya diterima oleh kreditor konkuren lainnya yang sah. Pasal 126 ayat (5) seolah melumpuhkan Kurator, dengan hanya memberikan satu dalil perlawanan yang sangat sempit: "penipuan".

Berdasarkan latar belakang antinomi yuridis tersebut, analisis dalam tulisan ini difokuskan untuk menjawab permasalahan fundamental. Pertama, apakah frasa "penipuan" dalam Pasal 126 ayat (5) UU Kepailitan & PKPU harus ditafsirkan secara limitatif (restriktif) semata-mata sebagai delik pidana bedrog (misalnya, Pasal 378 KUHP), ataukah dapat ditafsirkan secara ekstensif (teleologis) untuk mencakup pula perbuatan kolusif, perikatan mala fide, atau tagihan yang didasarkan pada perjanjian yang mengandung cacat yuridis materiil? Kedua, bagaimana kedudukan hukum dan kekuatan bantahan Kurator terhadap piutang yang telah diakui oleh Debitor Pailit, apabila bantahan tersebut didasarkan pada temuan cacat formil dan materiil dalam perikatan dasarnya, bukan atas dasar "penipuan" dalam terminologi pidana?   

Apabila frasa "penipuan" dalam Pasal 126 ayat (5) ditafsirkan secara restriktif, yakni sebagai delik pidana yang harus dibuktikan, maka Kurator akan mengalami kelumpuhan fungsional. Pembuktian delik penipuan dalam hukum pidana mensyaratkan pembuktian mens rea serta rangkaian kebohongan yang rumit, yang idealnya harus terbukti melalui putusan pengadilan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.   

Standar pembuktian ini mustahil dipenuhi dalam koridor proses kepailitan yang bersifat sumir dan cepat. Jika penafsiran ini dipertahankan, Kurator akan dipaksa untuk menerima dan mencatat piutang yang secara nyata mencurigakan, fiktif, atau didasarkan pada perjanjian yang cacat hukum, hanya karena Debitor Pailit telah "mengakuinya". Hal ini secara langsung mencederai tugas fidusiari Kurator berdasarkan Pasal 69 ayat (1) dan mengkhianati asas paritas creditorum. Oleh karena itu, penafsiran literal atas frasa "penipuan" adalah disfungsional dan bertentangan dengan tujuan hukum kepailitan itu sendiri.

Tugas Kurator dalam Pasal 69 ayat (1) bukanlah sekadar administratif. Kurator adalah penjaga boedel pailit. Kewenangannya dalam verifikasi piutang tidak hanya bersifat formil, melainkan bersifat materiil (menguji keabsahan dan kebenaran hakiki dari suatu tagihan). Kurator wajib melindungi harta pailit dari klaim-klaim yang tidak sah, terlepas dari sikap Debitor Pailit.   

Dalam praktik, Kurator dapat menemukan kejanggalan fundamental dalam tagihan yang, ironisnya, justru diakui oleh Debitor Pailit. Sebagai ilustrasi, bayangkan sebuah tagihan konkuren bernilai puluhan miliar rupiah diajukan kepada Kurator. Debitor Pailit, dalam rapat verifikasi, secara eksplisit mengakui seluruh tagihan tersebut. Namun, hasil verifikasi materiil Kurator menemukan fakta-fakta yuridis yang problematis.

Misalnya, perjanjian pinjaman yang menjadi dasar tagihan tersebut ternyata melanggar Anggaran Dasar perusahaan Kreditor itu sendiri, yang mengharuskan persetujuan "Dewan Komisaris" untuk meminjamkan uang, sementara bukti yang ada hanya persetujuan dari satu orang Komisaris Utama. Lebih jauh, dari sisi Debitor Pailit, perjanjian itu mungkin hanya ditandatangani oleh individu-individu yang mengklaim sebagai perwakilan joint operation, tanpa tanda tangan dari Direktur entitas korporasi yang sah yang membentuk joint operation tersebut.   

Kejanggalan bisa berlanjut pada arah transaksi. Aliran dana pinjaman sebesar puluhan miliar tersebut mungkin tidak dapat dibuktikan melalui mekanisme perbankan yang lazim, melainkan hanya didasarkan pada beberapa lembar kuitansi tunai. Dan ketika Kurator meminta bukti pembukuan, Debitor Pailit yang tadi "mengakui" utang tersebut, justru tidak dapat membuktikan bahwa dana tersebut benar-benar pernah masuk ke dalam kas perusahaan.   

Di hadapan fakta-fakta objektif mengenai cacat yuridis perikatan dan ketidakwajaran transaksi yang ekstrem, haruskah Kurator terbelenggu oleh pengakuan Debitor Pailit?

Di sinilah letak urgensi penafsiran ekstensif. Frasa "penipuan" dalam Pasal 126 ayat (5) tidak boleh direduksi maknanya menjadi bedrog pidana semata. Frasa ini harus ditafsirkan secara teleologis (sesuai tujuan hukumnya), yakni sebagai constructive fraud.   "Penipuan" dalam konteks ini adalah penipuan terhadap totalitas kreditor konkuren lainnya. Tindakan Debitor Pailit yang secara sadar mengakui piutang, yang ia ketahui dasar perjanjiannya cacat hukum, atau yang ia ketahui dananya tidak pernah benar-benar masuk ke pembukuan perusahaan, adalah perbuatan mala fide. Perbuatan kolusif inilah, yang bertujuan memasukkan tagihan tidak sah untuk menggerus boedel pailit, yang harus dimaknai sebagai "penipuan" dalam terminologi hukum kepailitan.

Dengan demikian, "penipuan" dalam Pasal 126 ayat (5) mencakup, namun tidak terbatas pada: transaksi kolusif, perikatan yang didasari iktikad buruk, dan upaya sadar memasukkan tagihan yang didasarkan pada perikatan yang terbukti batal demi hukum atau  dapat dibatalkan karena mengandung cacat yuridis materiil atau ketidakwajaran transaksi yang ekstrem.   

Tindakan Kurator yang membantah tagihan semacam itu, sejatinya adalah pelaksanaan dari pengecualian "penipuan" itu sendiri. Kewenangan verifikasi materiil Kurator untuk menguji keabsahan perikatan dasar harus diposisikan lebih tinggi daripada sekadar pengakuan Debitor Pailit yang mungkin kolusif. Praktik peradilan yang progresif pun cenderung mengafirmasi kewenangan materiil Kurator ini, dengan menerima bantahan Kurator yang didasarkan pada temuan cacat yuridis dan ketidakwajaran transaksi, sekalipun Debitor Pailit telah memberi pengakuan.   

Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan, yaitu:

Pertama, penafsiran literal dan restriktif terhadap frasa "penipuan" dalam Pasal 126 ayat (5) UU Kepailitan & PKPU adalah keliru secara sistematis. Penafsiran demikian akan melumpuhkan fungsi pengawasan Kurator (Pasal 69 ayat (1)), membuka ruang bagi kolusi Debitor Pailit mala fide, dan pada akhirnya mencederai asas fundamental paritas creditorum.   

Kedua, kewenangan Kurator dalam proses verifikasi tidak hanya bersifat formil, melainkan bersifat materiil.

Ketiga, praktik peradilan telah menunjukkan kecenderungan untuk menerima alasan "cacat yuridis" pada perjanjian dasar dan "ketidakwajaran transaksi" sebagai alasan yang sah bagi Kurator untuk memngecualikan kekuatan pengakuan Debitor Pailit. 

Baca Juga: Gandeng Hakim Niaga PN Makassar, UNHAS Gelar Seminar Nasional Kepailitan

Keempat, secara doktrinal, frasa "penipuan" dalam Pasal 126 ayat (5) harus ditafsirkan secara ekstensif sebagai constructive fraud, yakni setiap perbuatan yang beriktikad buruk dan bertujuan memasukkan tagihan yang tidak sah atau cacat hukum ke dalam boedel pailit, sehingga merugikan kreditor kolektif lainnya. (asn)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…