Cari Berita

Dari Rasa Sakit Menuju Norma, Merekonstruksi Keadilan Subjektif dalam Filsafat Hukum

Giovani-Hakim PN Kotamobagu - Dandapala Contributor 2025-12-01 19:00:11
Giovani (Dok. Penulis).

Dalam ruang lingkup hukum, keadilan seringkali dipandang sebagai konstruksi yang objektif, rasional, dan harus bersifat universal, sebuah prinsip yang berdiri di atas emosi dan sentimen individu, seperti kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law).

Namun, bagi individu yang mengalami langsung dampak dari suatu peristiwa, ketidakadilan memiliki definisi yang jauh lebih personal dan mendalam, yang dapat dirangkai dalam satu pertanyaan dan jawaban “Kapan sesuatu dikatakan tidak adil? Ketika sesuatu itu terasa sangat menyakitkan”.

Pernyataan ini adalah resonansi kuat yang menyentuh inti terdalam dari penderitaan. Pernyataan ini ingin memberikan argumen bahwa rasa sakit dan penderitaan (bersifat subjektif) yang dialami oleh korban atau pihak yang dirugikan bukanlah sekedar dampak dari ketidakadilan, melainkan indikator substantif yang menuntut adanya intervensi filosofis dan hukum. Penulis menggunakan metafora “rasa sakit” untuk menjembatani jurang antara keadilan yang objektif dan pengalaman keadilan yang subjektif melalui lensa filsafat hukum.

Baca Juga: Pembantaran (Stuiting): Permasalahan dan Solusi Praktis

Filsafat Klasik: Keadilan sebagai Keseimbangan yang Terganggu

Dalam tradisi filsafat, keadilan selalu terkait dengan konsep keseimbangan dan kesejahteraan. Filsuf Hukum terkenal, Aristoteles membagi keadilan menjadi Keadilan Distributif dan Keadilan Korektif. “Rasa Sakit” sangat relevan dengan keadilan korektif. Keadilan Korektif berfokus pada pemulihan keseimbangan yang terganggu akibat adanya kerugian atau pelanggaran.

Sebagai contoh, jika A melakukan suatu perbuatan yang merugikan si B, maka keseimbangan alamiah si B terganggu. Rasa sakit adalah manifestasi dari defisit keseimbangan ini. Tugas hukum adalah mengembalikan status quo dengan memberikan kompensasi atau hukuman yang sepadan, dengan tujuan untuk menghilangkan defisit (rasa sakit) yang timbul dari kerugian tersebut.

Aliran Utilitarianisme

Berdasarkan sudut pandang Utilitarian, keadilan adalah Tindakan yang menghasilkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang (the greatest happiness for the greatest number). Ketika suatu Tindakan menyebabkan rasa sakit yang intens pada seseorang, hal itu mengurangi total kebahagiaan (atau meningkatkan total penderitaan) dalam masyarakat. “Rasa sakit” menjadi data empiris yang menunjukkan bahwa suatu Tindakan telah gagal memberikan manfaat berupa kebahagiaan.

Tataran Praktek: Antara Prosedur dan Substansi

Mazhab positivisme hukum cenderung fokus pada keadilan prosedural. Selama hukum dibuat dan diterapkan melalui prosedur yang sah, hasilnya dianggap sah, bahkan jika terasa tidak adil secara moral bagi individu. Namun, disinilah titik krusialnya.

Rasa sakit adalah salah satu bukti bahwa hukum, meskipun telah diterapkan secara benar secara prosedural, tetapi dapat gagal secara substantif. Rasa sakit menjadi kritik tajam terhadap formalisme yang kaku, menuntut agar hukum tidak hanya berjalan dengan benar, tetapi juga menghasilkan kebaikan. Rasa sakit (penderitaan) dapat berfungsi sebagai sinyal alarm moral yang memaksa sistem hukum untuk melihat melampaui aturan formal dan menerapkan prinsip keadilan substantif.

Baca Juga: Hukum Progresif dan Konstelasi Filsafat Timur: Menemukan Keadilan Substantif dalam Harmoni Kosmos

Dalam praktek hukum, rasa sakit ini diterjemahkan menjadi kategori yang dapat dinilai dan diakui secara hukum sebagai kerugian immaterial, yang dapat “dibayar” melalui 2 (dua) sarana, yaitu:

  1. Ganti Rugi Moral, seperti dalam kasus perdata, yang mana rasa sakit psikologis, emosional, dan penderitaan diakui sebagai kerugian yang harus diganti. Keadilan muncul ketika sistem hukum memvalidasi dan memberikan kompensasi atas penderitaan yang dialami;
  2. Keadilan Restoratif, yang berfokus pada kebutuhan korban, bukan hanya pada hukuman pelaku. tujuan utamanya adalah pemulihan dan perbaikan kerugian. Dalam konteks ini, rasa sakit korban menjadi titik fokus. keadilan dianggap tercapai ketika kebutuhan pemulihan korban terpenuhi dan penderitaannya diakui oleh pelaku, bahkan oleh masyarakat.

Akhir kata, meskipun hukum harus beroperasi secara prosedural dan rasional, ia tidak boleh kehilangan sensitivitasnya terhadap pengalaman manusia. Rasa sakit bukanlah emosi yang harus diabaikan, melainkan dapat menjadi standar minimal dari keadilan substantif. Jika suatu putusan atau Tindakan hukum, terlepas dari keabsahan proseduralnya, meninggalkan luka dan rasa sakit yang mendalam, Penulis melihat ia belum dapat mencapai misi tertingginya untuk menegakkan keadilan.

Keadilan sejati terjadi ketika norma hukum yang objektif tidak hanya menghukum yang salah, tetapi juga mampu mengobati dan memulihkan rasa sakit dari yang dirugikan. Inilah panggilan bagi filsafat hukum, untuk terus berjuang agar hukum tidak hanya adil di atas kertas, tetapi juga adil dalam hati dan pengalaman manusia. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…