Pendahuluan
Dalam sistem peradilan, Hakim adalah simbol dari keadilan dan penjaga konstitusi. Ia duduk di kursi kehormatan dengan beban tanggung jawab yang sangat besar, yaitu menegakkan hukum dengan adil, tanpa memihak, dan tanpa gentar. Dalam mengemban tugas luhur ini, Hakim sejatinya memiliki satu senjata dan alat pertahanan utama yang tak tergantikan, yaitu integritas. Bagi seorang Hakim, integritas dapat digunakan sebagai tameng untuk melindungi diri dari godaan, sekaligus digunakan sebagai pedang yang dapat menebas segala bentuk ketidakadilan. Di tengah derasnya arus tantangan moral dan tekanan sosial-politik, integritas bukan lagi sekadar nilai abstrak, karena bagi seorang Hakim Integritas adalah jantung dari seluruh praktik penegakan hukum.
Integritas sebagai tameng Hakim
Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Prof. Dr. H. Sunarto., dalam berbagai arahannya secara konsisten menekankan agar Hakim di seluruh Indonesia menghindari pelayanan yang bersifat transaksional atau pelayanan yang mencemari proses hukum dengan “imbalan” atau kepentingan tertentu di luar hukum. Pelayanan yang bersifat transaksional sangat berpotensi besar mengakibatkan Hakim menyimpang dari kebenaran dan meyelewengkan nilai-nilai keadilan. Putusan yang semestinya hadir untuk menegakkan keadilan, justru dapat berubah menjadi alat legitimasi ketidakbenaran, menodai makna hukum, sebagai penjaga keseimbangan di dalam kehidupan, hingga pada akhirnya mengakibatkan marwah institusi akan semakin runtuh di mata publik.
Dalam konteks ini, guna menghindari pelayanan yang bersifat transaksional, seorang Hakim harus benar-benar berpegang teguh pada integritas yang juga merupakan salah satu perilaku yang wajib diimplementasikan Hakim sebagaimana diatur dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Integritas adalah tameng utama yang melindungi Hakim dari jebakan korupsi yang kerap kali menyusup dalam bentuk relasi tidak sah antara aparat peradilan dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap suatu perkara. Di tengah sorotan publik, integritas menjadi perisai kokoh bagi Hakim, karena tanpanya seorang Hakim akan mudah tergelincir dalam pusaran konflik kepentingan dan intervensi yang jelas akan mencederai indepedensi Hakim dalam memutus suatu perkara.
Integritas bukan sekadar benteng pribadi seorang Hakim, namun juga sebagai pelindung kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan itu sendiri. Ketika Hakim bersikap adil, jujur, dan tidak berpihak, maka niscaya masyarakat percaya bahwa hukum benar-benar ditegakkan. Sebaliknya, ada satu saja noda terdapat dalam diri seorang Hakim, maka hal tersebut dapat meruntuhkan legitimasi keseluruhan sistem peradilan.
Integritas sebagai pedang Hakim
Tidak hanya menjadi sebuah tameng, Integritas juga dapat menjadi pedang bagi Hakim untuk menebas ketidakadilan. Ia adalah pedang tajam yang digunakan oleh Hakim untuk memotong ketidakbenaran dan melawan ketidakadilan. Dalam ruang sidang, integritas memandu Hakim untuk memutuskan perkara berdasarkan fakta dan hukum, bukan berdasarkan tekanan dan bukan juga karena suatu hal yang bertentangan dengan hukum. Ia memberi keberanian untuk menjatuhkan vonis terhadap pelanggar hukum tanpa pandang bulu, siapa pun mereka bahkan sesama penegak hukum sekalipun. Sedangkan, di luar ruang sidang, integritas digunakan untuk melawan budaya permisif dan penyalahgunaan wewenang.
Kebijakan Mahkamah Agung dalam Memperkuat Benteng Integritas Hakim
Menjadi seorang Hakim tidak hanya berarti menegakkan hukum dan keadilan, tetapi juga memikul tanggung jawab moral yang sangat besar, termasuk menjaga integritas dan nama baik, baik itu dalam kapasitas pribadi maupun sebagai simbol lembaga peradilan. Namun, dalam praktiknya, menjaga nama baik bagi seorang Hakim bukanlah perkara mudah. Meskipun telah berpegang teguh pada kode etik, prinsip-prinsip integritas, profesionalisme, dan netralitas, tantangan dari luar kerap kali datang tanpa diduga.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Hakim adalah adanya pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang mencoba mencatut atau mengatasnamakan dirinya demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dalam berbagai situasi, nama seorang Hakim bisa saja disalahgunakan untuk memberikan kesan seolah-olah suatu tindakan atau keputusan telah mendapat restu atau perlindungan hukum, padahal kenyataannya tidak demikian. Hal ini tidak hanya merusak nama baik Hakim, tetapi juga dapat mencoreng kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan secara keseluruhan.
Guna menghindari pencatutan nama Hakim oleh seseorang yang tidak bertanggung jawab yang berpotensi mencoreng nama baik Hakim dan lembaga, Hakim dapat mengimplementasikan kebijakan Mahkamah Agung untuk memperkuat banteng integritas. Salah satunya adalah menyatakan penolakan korupsi dan gratifikasi secara tegas pada setiap persidangan akan dimulai sebagaimana Surat Edaran Sekretaris Mahkamah Agung Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Himbauan Pembuatan Audio Peringatan Perilaku Anti Gratifikasi. Di mana dalam lampiran I surat edaran tersebut terdapat format teks seruan anti suap dan gratifikasi bagi warga pengadilan yang di dalamnya memuat beberapa nomor pengaduan yang dapat Hakim bacakan di meja persidangan saat sidang akan dimulai.
Dengan adanya seruan anti suap dan gratifikasi oleh Hakim di setiap awal sidang akan dimulai, maka setidaknya para pihak dapat mengetahui bilamana kemudian ada yang mengatasnamakan Hakim untuk menjanjikan sesuatu atau meminta imbalan, hal tersebut bukan berasal dari Hakim. Sebab, Hakim secara tegas dan terbuka telah menyatakan sikap anti suap dan anti gratifikasi di depan persidangan. Dengan cara ini, Hakim tidak hanya memperkuat citra integritas pribadi dan lembaga, tetapi juga melindungi diri dari kemungkinan fitnah serta memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya peradilan yang bersih.
Penutup
Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif
Integritas adalah fondasi utama yang melindungi dan membimbing Hakim dalam menegakkan hukum secara adil tanpa pandang bulu. Sebagai tameng, integritas dapat mencegah penyimpangan dan menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Sedangkan sebagai pedang, Integritas dapat memberi keberanian bagi seorang Hakim untuk melawan ketidakadilan. Melalui beberapa kebijakan Mahkamah Agung, Integritas diperkuat demi menciptakan peradilan yang bersih, terpercaya, dan bebas dari pengaruh negatif maupun praktik transaksional.
Membangun kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan bukanlah perkara yang mudah karena menuntut konsistensi, keteladanan, dan keberanian moral. Namun, kepercayaan yang dibangun lama dan penuh perjuangan itu dapat runtuh sekejap hanya karena satu tindakan tercela dari seorang Hakim. Kepercayaan publik ibarat bangunan yang disusun dengan susah payah, namun bisa roboh hanya oleh “sentilan jari” yakni oleh satu bentuk pelanggaran etika atau integritas.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI