Cari Berita

Kotak Pandora Persidangan Pidana: Saat Fakta Berbicara Lebih Keras dari Dakwaan

Dipa Rivaldi-Hakim Pengadilan PN Kuala Tungkal - Dandapala Contributor 2025-12-05 15:05:22
Dok. Penulis.

Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, hakim menghadapi dilema yang kompleks antara menghormati kewenangan penuntut umum sebagai dominus litis dan kewajiban mencari kebenaran materiil secara objektif. Hal ini menciptakan ketegangan antara prinsip kepastian hukum dan keadilan substantif.

KUHAP mengatur ketentuan bahwa putusan hakim harus didasarkan pada surat dakwaan dan fakta yang terbukti, namun dalam praktik, fakta kerap menunjukkan adanya tindak pidana di luar dakwaan penuntut umum, sehingga menimbulkan dilema apakah hakim harus menerapkan judicial restraint atau judicial activism dalam mengadili dan menjatuhkan putusan.

Judicial restraint adalah pendekatan yudisial yang menekankan pembatasan peran hakim dalam menginterpretasi hukum. Hakim yang menganut prinsip ini berpegang pada interpretasi tekstual hukum, taat pada stare decisis, dan menghormati pemisahan kekuasaan terhadap proses legislatif dan eksekutif yang mengeluarkan produk peraturan perundangundangan.

Baca Juga: PN Sungai Penuh Vonis Penjara 13 Orang Perusak Kotak Suara

Sebaliknya, judicial activism mengadopsi interpretasi hukum yang dinamis dan kontekstual, memungkinkan hakim untuk berperan aktif memperbaiki ketidakadilan substantif dan melindungi hak asasi manusia. Hakim yang ber-judicial activism memiliki keberanian untuk mengubah preseden apabila diperlukan dan mencari kebenaran materiil secara menyeluruh selama persidangan, walau dihadapkan pada risiko ketidakpastian hukum.​

KUHAP Pasal 182 ayat (4) menegaskan putusan hakim harus didasarkan pada surat dakwaan dan fakta yang terbukti, yang menjadi "kerangka normatif" utama untuk judicial restraint. Namun, Pasal 183 KUHAP yang mengatur pembuktian dengan minimal dua alat bukti memberi ruang bagi hakim untuk secara aktif menilai akurasi bukti.

Pasal 191 KUHAP, yang mengatur bebasnya terdakwa jika dakwaan tidak terbukti, mempertegas perlindungan terdakwa. Sementara Pasal 197 ayat (2) KUHAP menyatakan putusan di luar dakwaan adalah batal demi hukum, membatasi ruang bagi hakim untuk aktif mengubah putusan yang tidak berdasar pada dakwaan penuntut umum. Namun, Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 memberi keleluasaan terkendali bagi hakim untuk menjatuhkan putusan dengan pasal berbeda khususnya dalam perkara narkotika, menggambarkan adanya pembukaan untuk judicial activism secara terbatas karena memiliki payung hukum.​

Permasalahan kemudian muncul terhadap perkara-perkara yang dilimpahkan ke pengadilan oleh kejaksaan, ternyata ketika diperiksa di persidangan ditemukan fakta-fakta yang tidak dimuat dalam dakwaan penuntut umum. Penuntut Umum pasti memiliki konsistensi untuk mempertahankan surat dakwaan beserta dengan substansinya, akan tetapi keadaan berbanding terbalik, misalnya saksi-saksi atau terdakwa yang membantah keterangannya sebagaimana yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan di tingkat penyidikan.

Meskipun penulis tidak akan membahas lebih dalam mengenai mekanisme ketika ada hal demikian terjadi dari sudut pandang saksi dan terdakwa. Namun yang menjadi fokus penulis adalah bahwa situasi tersebut nyata terjadi dan bukan skenario atau delusional penulis semata.

Praktik pengadilan menunjukkan beberapa dilema yang signifikan. Pertama, ketika dakwaan penuntut umum tidak terbukti baik sebagian atau seluruhnya, namun fakta persidangan menunjukkan perbuatan-perbuatan, keadaan-keadaan atau tindak pidana lain yang tidak didakwakan, hakim menghadapi pilihan antara membebaskan terdakwa demi kepastian hukum (restraint) atau memutus berdasarkan fakta baru demi keadilan substantif (activism).

Kedua, adanya ketidaksesuaian antara kualifikasi tindak pidana yang didakwakan dan yang terbukti, menantang hakim untuk mengambil keputusan yang adil namun juga “legal”.

 Ketiga, tekanan pada hakim agar menghormati penuntut umum sekaligus mempertahankan independensinya.

Keempat, dalam kasus terdakwa tanpa pendampingan hukum yang optimal, hakim perlu menentukan sampai sejauh mana perannya aktif memberikan akses keadilan yang efektif tanpa melampaui batas secara normatif.​

Konfrontasi sering terjadi antara penuntut umum dengan penasihat hukum/Terdakwa atau saksi-saksi yang keterangannya tidak sesuai dengan ekspektasi dari penuntut umum. Kita mengetahui betul bahwa tugas dan tanggung jawab penuntut umum tentunya adalah membuktikan suatu peristiwa pidana terjadi dan dilakukan oleh orang yang sedang duduk sebagai terdakwa di persidangan.

Situasi seperti ini tentu membuat hakim yang memeriksa perkara bertanya-tanya, apakah terdakwa atau saksi-saksi yang tidak jujur, atau penuntut umum yang tidak mau mengakui kelalaiannya dalam proses penuntutan dan perumusan surat dakwaan.

Bahkan penulis ingin bertanya kepada para pembaca sekalian, sebagai hakim sudah berapa kali dalam persidangan meminta penuntut umum untuk renvoi surat dakwaan? Baik meliputi kesalahan penulisan (clerical error) atau sampai kesalahan yang fatal berkaitan dengan syarat sahnya surat dakwaan.

Mengapa hakim cenderung memaafkan kelalaian penuntut umum terkait surat dakwaan? Bukankan itu mendegradasi hak-hak terdakwa, mengingat KUHAP dilahirkan dengan berasaskan pada perlindungan hak-hak terdakwa karena belum terbukti melakukan tindak pidana, sebagaimana asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).

Pada akhirnya, keadaan yang tidak ideal demikian menuntut hakim untuk bekerja lebih keras dalam menggali dan mencari kebenaran. Mengesampingkan kelalaian dan kekurangan pada dakwaan yang disusun penuntut umum tidak boleh sama sekali mengurangi hak-hak yang dimiliki oleh Terdakwa maupun korban atau pihak lain yang berkepentingan. Namun hal ini dapat menjadi diskursus lebih lanjut, sampai kapan hakim harus selalu bersikap demikian? Hakim tetap harus menghormati pemisahan kekuasaan, sehingga dalam melakukan judicial restraint atau judicial activism tetap dilakukan secara terbatas dan bertanggung jawab, transparan, dan profesional. (ldr)

 

Referensi:

Richard A Posner, The Rise and Fall of Judicial Self-Restraint, California Law Review 100.3, 2012.

Jerold Waltman, Principled Judicial Restraint: A Case against Activism. New York: St. Martin’s Press, 2015.

Subhash Kumar, Judicial Activism vs. Judicial Restraint: Balancing the Role of the Courts in a Democratic Society, Indian Journal of Law, Vol. 2, Issue 2, Mar-Apr 2024.

Dominico Sony Nugraha dan Itok Dwi Kurniawan, Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Tindak Pidana Narkotika Pada Dakwaan Alternatif Penuntut Umum, Jurnal Verstek, Volume 12, Issue 2, 2024.

Raudah Muliana, Zulfan Zulfan, dan Herinawati Herinawati, Tinjauan Yuridis Putusan Hakim Di Bawah Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Nomor: 247/Pid.Sus/2022/PN Tbt), Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM-FH), Volume VII, Nomor 2, April 2024.

Jihan Sukmawati Daratu dan Abdul Ficar Hadjar, Putusan Tindak Pidana Narkotika Yang Diputus Diluar Dari Dakwaan Penuntut Umum, Jurnal Reformasi Hukum Trisakti, Vol. 6, No. 1, 2024.

Yunita Savira Budiarti, Analisis Pertimbangan Hakim Menjatuhkan Putusan

Diluar  Dakwaan       Penuntut       Umum (Studi Putusan        MA          784     K /Pid.Sus/2018), Jurnal Verstek, Vol. 9, No. 3, September-Desember 2021.

Ulfiyah Hasan dan Alfitra Alfitra, Penerapan Hukum Oleh Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Di Luar Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Dilema Antara Keadilan Dan Kepastian Hukum; Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1940 K/Pid.Sus/2015, Vol. 1, No. 3, 2019.

Baca Juga: 13 Terdakwa terkait Perusakan dan Pembakaran Kotak Suara di Sungai Penuh Jalani Sidang Perdana

Wienda Kresnantyo, Kewenangan Hakim Mengoreksi Dominus Litis Penuntut Umum, https://dandapala.com/opini/detail/kewenangan-hakimmengoreksi-dominus-litis-penuntut-umum, tanggal 29 Maret 2025, diakses tanggal 26 November 2025.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…