Cari Berita

Menelisik Daluarsa Gugatan dalam Perkara Tanah

Fitrah Akbar Citrawan, SH. MH. (Hakim PN Sibolga-Redaktur Pelaksana Dandapala) - Dandapala Contributor 2025-05-09 10:15:48
Dok. PODIUM Ditjen Badilum

Membuka hasil kajian Bappenas tahun 2016, salah satu akar permasalahan kasus pertanahan disebabkan oleh sistem pendaftaran tanah yang digunakan di Indonesia berupa sistem publikasi negatif (stelsel negatif) yang bertendensi positif yang artinya pemerintah tidak memberikan jaminan atas kepastian hukum terhadap pemegang bukti sah (sertifikat). Pemerintah juga tidak bertanggung jawab atas data dan informasi yang ada di dalam sertifikat hak atas tanah. Data dan informasi dianggap benar sepanjang tidak ada pihak lain yang menggugat. Kondisi demikian menyebabkan timbulnya berbagai masalah, seperti timbulnya kasus pertanahan antar berbagai pihak di beberapa wilayah di Indonesia.

Penjelasan Pasal 32 ayat 2 PP 24/1997 secara gamblang menyatakan kelemahan sistem publikasi negatif ini, maka pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Umumnya kelemahan tersebut diatasi dengan menggunakan lembaga acquisitive verjaring atau adverse possession. Hukum tanah kita yang memakai dasar hukum adat tidak dapat menggunakan lembaga tersebut, karena hukum adat tidak mengenalnya. Tetapi dalam hukum adat terdapat lembaga yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah, yaitu lembaga rechtsverwerking.

Rechtsverwerking diterjemahkan dengan kata Merelakan Hak, yang oleh beberapa sarjana termasuk J. Satrio, Sang Begawan Hukum Perdata diartikan sebagai suatu pelepasan hak, sebagai suatu sikap mengabaikan hak, yang nampak dari perilakunya, yang sedemikian rupa, sehingga akan bertentangan dengan itikad baik, kalau sesudahnya yang bersangkutan masih menuntut pelaksanaan haknya. Merelakan hak berkaitan dengan pelepasan hak yang biasanya dilakukan secara diam-diam, ditafsirkan dari perkataan, sikap, atau perbuatan pemilik hak.

Baca Juga: Eksistensi Alat Bukti Bekas Hak Milik Adat Dalam Sengketa Hak Atas Tanah

Secara umum untuk bisa melepas hak yang bersangkutan harus sudah memiliki hak yang akan dilepas, dapat dilakukan sepihak. Melepaskan hak kebendaan atas benda tetap dimungkinkan, asal kehendak untuk itu dinyatakan baik secara tegas ataupun diam-diam dan sikapnya mendukung hal itu. Kepatutan merupakan salah satu faktor pembenar untuk adanya pelepasan hak. Faktor lainnya seperti sikap tinggal diam (misal tidak protes) maupun melakukan tindakan tertentu. Disini tampak peran dari putusan hakim atas sengketa yang berkaitan dengan peristiwa pelepasan hak yang terjadi diam-diam, utamanya dalam memberikan kepastian hukum. Hal tersebut erat kaitannya dengan daluarsa, dalam konteks rechtsverwerking daluarsa ini bersifat extinctief yang dapat mempunyai pengaruh atas hilang/hapusnya hak tersebut.

Secara hukum perdata pada umumnya berdasarkan KUHPerdata, dasar pengaturan daluarsa agar suatu hak tidak harus berlaku untuk waktu yang tidak terbatas. Apabila pemilik hak, untuk jangka waktu yang diatur peraturan perundang-undangan, tetap saja tidak menggunakan haknya, maka haknya bisa hapus karena daluarsa. Hilangnya hak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur daluarsa didasarkan atas lampaunya waktu tertentu sebagai yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Untuk daluarsa yang bersifat membebaskan (extinctief) disyaratkan lampaunya waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan secara umum 30 tahun (Pasal 1967 KUHPerdata).

Namun, apakah ketentuan KUHPerdata tersebut tetap berlaku dalam gugatan benda tetap seperti tanah di Indonesia saat ini? Penulis dalam karya ini akan membahasnya dalam 2 kategori sebagai berikut:

1.      Daluarsa gugatan sengketa tanah yang telah bersertifikat

Menelaah ketentuan Pasal 32 ayat 2 PP 24/1997 jo. PP No. 18 Tahun 2021 memberikan jawaban, dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.

Dalam peristiwa demikian, maka orang yang merasa mempunyai hak atas tanah yang bersangkutan, sudah tidak bisa lagi menuntut pelaksanaan haknya, atau  dengan perkataan lain, dianggap telah merelakan (verwerken) haknya. Lembaga Rechtsverwerking sebagai dasar ketentuan pasal tersebut.

Mengenai kriteria pihak beritikad baik yang dilindungi dapat merujuk pada Rumusan Hukum Kamar Perdata Tahun 2016 diantaranya a) melakukan jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundangan-undangan, b) melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek tanah. Selain itu, dalam ketentuan PP tersebut yang bersangkutan harus juga secara nyata menguasai tanah tersebut. Hakim harus beralasan hukum, arif dan bijaksana dalam memaknai dan menentukan apakah pihak memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, agar perkara tersebut diputus berkeadilan sekaligus berkepastian hukum.

2.      Daluarsa gugatan sengketa tanah belum bersertifikat

Pasal 5 UUPA memuat ketentuan hukum agraria Indonesia berdasarkan hukum adat. Ketentuan tersebut juga dipertegas dengan Penjelasan Pasal 32 ayat 2 PP 24/1997, dalam hukum adat jika seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut. Ketentuan di dalam UUPA yang menyatakan hapusnya hak atas tanah karena ditelantarkan (Pasal 27, 34 dan 40 UUPA) adalah sesuai dengan lembaga ini.

Dengan pengertian demikian, maka apa yang ditentukan ini bukanlah menciptakan ketentuan hukum baru, melainkan merupakan penerapan ketentuan hukum yang sudah ada dalam hukum adat, yang dalam tata hukum sekarang ini merupakan bagian dari Hukum Tanah Nasional Indonesia dan sekaligus memberikan wujud konkret dalam penerapan ketentuan dalam UUPA mengenai penelantaran tanah.

Mengingat hukum adat tidak mengenal kadaluarsa sebagai yang dimaksud dalam KUHPerdata. Sesudah tahun 1960 (berlakunya UUPA) sepanjang mengenai tanah, yang dimaksud dengan istilah kadaluarsa adalah daluarsa menurut hukum adat, bukan terjemahan dari verjaring dalam KUHPerdata.

Jadi tidak didasarkan atas lampaunya sekian waktu tertentu. Kalaupun ada disebutkan suatu angka tahun, angka itu hanya sekedar menunjukan bahwa hal itu sudah berlangsung lama. Dari sikap tinggal diam selama sekian tahun, membiarkan tanahnya dikuasai oleh orang lain, membawa akibat, bahwa menurut pembuat peraturan perundangan-undangan adalah lebih tepat untuk mengesahkan fakta yang ada, daripada membenarkan kedudukan hukum yang diabaikan oleh si empunya hak.

Berbagai putusan pengadilan yang berkaitan dengan tanah berlaku asas hukum adat yang memakai Rechtsverwerking sebagai pertimbangan, diantaranya Putusan No. 14/Pdt.G/1990/PN.Tsm sebagaimana disinggung dalam Putusan MA No. 2370K/pdt/1992, Putusan No. 9/Pdt/G/2007/PN.Wtp sebagaimana disinggung dalam Putusan MA No. 2943K/Pdt/2009, Putusan No. 25/pdt/2008/PT.Mks sebagaimana dalam Putusan No. 2943K/Pdt/2009, Putusan No. 287/Pdt/2010/PT Sby sebagaimana dalam Putusan 1496K/Pdt/2011, Putusan No. 1496K/Pdt/2011, Putusan No. 268 PK/Pdt/2011, Putusan MA No. 695 K/Sip/1973, dan lainnya.

Baca Juga: Kasus Sudah Kedaluwarsa, 3 Terdakwa Korupsi Dilepaskan PN Pekanbaru

*Penulis sebagai Hakim Pengadilan Negeri Sibolga Kelas IB sekaligus Redaktur Pelaksana Dandapala Ditjen Badilum tahun 2025 sampai saat ini. Sebelumnya ditahun 2024 Penulis mengemban amanah menjadi Sekretaris Redaksi sekaligus Redaktur Majalah Dandapala.

Referensi:

  1. J. Satrio, Pelepasan HakPembebasan Hutang dan Merelakan Hak (Rechtsverwerking), RajaGrafindo Persada:2016.
  2. Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960. tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor: 24 Tahun 1997 tetang Pendaftaran Tanah dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
  4. Yurisprudensi maupun putusan pengadilan lainnya.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum