Cari Berita

Eksistensi Alat Bukti Bekas Hak Milik Adat Dalam Sengketa Hak Atas Tanah

Firman Sumantri Era Ramadhan - Dandapala Contributor 2025-03-14 08:10:12
Firman Sumantri Era Ramadhan

Pengantar

Sengketa hak milik atas tanah yang diajukan ke pengadilan seringkali mempermasalahkan antara Sertipikat Hak Milik (SHM) dengan alat bukti bekas hak milik adat berupa Petuk Pajak Bumi/Landrente, Girik, Pipil, Kekitir atau Verponding Indonesia namun tidak terbatas pada istilah itu saja. Masyarakat yang tidak memahami secara utuh tentang pengaturan hak atas tanah seringkali menjadi sasaran dari praktik-praktik mafia tanah, akibatnya sering timbulnya sebuah SHM tanpa sumber perolehan yang jelas di atas tanah bekas milik adat yang dikuasai secara nyata turun temurun oleh masyarakat. Pertentangan tersebut seringkali diajukan sebagai sengketa di pengadilan karena terdapat benturan hak atas tanah sehingga menimbulkan konflik horizontal di kalangan masyarakat. Sangat perlu dipahami dan disebarluaskan mengenai eksistensi alat bukti bekas hak milik adat terhadap bidang tanah agar praktik-praktik mafia tanah tidak semakin terorganisir dan menciderai nilai-nilai keadilan bagi pemegang hak atas tanah yang dilindungi oleh hukum.

Penyelesaian sengketa di pengadilan haruslah menyelesaikan seluruh pokok permasalahan sampai ke akar-akarnya, namun akhir-akhir ini pengadilan seringkali dihadapkan pada problematika maupun kompleksitas, terutama yang mengandung sebuah penyelundupan hukum yang terorganisir, khususnya mengenai sengketa keabsahan kepemilikan hak atas tanah. Dalam hal yang demikian, sangat diperlukan kecermatan dan kesungguhan seorang Hakim dalam mengadili sengketa hak atas tanah, agar terhindar dan tidak tergelincir dengan uraian-uraian manipulatif dalam persidangan. Oleh karena itu, perlu diketahui dan dipahami bersama dasar hukum maupun penerapan khususnya mengenai alat bukti bekas hak milik adat.

Dasar Hukum

Pada tanggal 02 Februari 2021, Jokowi Widodo selaku Presiden Republik Indonesia mengeluarkan sebuah peraturan yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah. Ketentuan Pasal 96 peraturan tersebut menyebutkan bahwa:

(1) Alat bukti tertulis tanah bekas milik adat yang dimiliki oleh perorangan wajib didaftarkan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini;

(2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir maka alat bukti tertulis tanah bekas milik adat dinyatakan tidak berlaku dan tidak dapat digunakan sebagai alat pembuktian Hak Atas Tanah dan hanya sebagai petunjuk dalam rangka Pendaftaran Tanah.

Masih dalam peraturan tersebut, Pasal 97 menyebutkan bahwa surat keterangan tanah, surat keterangan ganti rugi, surat keterangan desa dan lainnya yang sejenis yang dimaksudkan sebagai keterangan atas penguasaan dan pemilikan tanah yang dikeluarkan oleh kepala desa/lurah/camat hanya dapat digunakan sebagai petunjuk dalam rangka Pendaftaran Tanah.

Selanjutnya pada tanggal 23 Agustus 2021, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia menerbitkan sebuah peraturan yaitu Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemeritah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Ketentuan Pasal 76A peraturan tersebut menyebutkan bahwa:

(1)  Alat bukti tertulis tanah bekas milik adat yang dimiliki oleh perseorangan berupa Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, Verponding Indonesia dan alat bukti bekas hak milik adat lainnya dengan nama atau istilah lain dinyatakan tidak berlaku setelah 5 (lima) tahun sejak Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah berlaku;

(2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir maka:

a. alat bukti tertulis tanah bekas milik adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan sebagai alat pembuktian Hak Atas Tanah dan hanya sebagai petunjuk dalam rangka pendaftaran tanah; dan

b. status tanah tetap tanah bekas milik adat;

(3) Pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mekanisme pengakuan hak.

(4) Permohonan pengakuan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilengkapi dengan surat pernyataan penguasaan fisik dari pemohon dan bertanggung jawab secara perdata dan pidana yang menyatakan bahwa:

a.  Tanah tersebut adalah benar milik yang bersangkutan bukan milik orang lain dan statusnya merupakan tanah bekas milik adat bukan tanah Negara;

b.  Tanah tersebut dikuasai secara fisik selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut;

c.   Penguasaan tanah dilakukan dengan iktikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah;

d.  Tidak terdapat keberatan dari pihak lain atas tanah yang dimiliki dan/atau tidak dalam keadaan sengketa;

e.  Tidak terdapat keberatan dari pihak Kreditur dalam hal tanah dijadikan jaminan sesuatu utang; dan

f.    Bukan merupakan aset Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah dan tidak berada dalam kawasan hutan;

(5) Unsur itikad baik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c terdiri dari kenyataan secara fisik menguasai, menggunakan, memanfaatkan dan memelihara tanah secara terus menerus dalam waktu tertentu dan/atau memperoleh dengan cara tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan;

(6) Surat pernyataan penguasaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dengan ketentuan:

a.   Disaksikan paling sedikit oleh 2 (dua) orang saksi dari lingkungan setempat yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua, baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal, yang menyatakan bahwa yang bersangkutan merupakan benar sebagai pemilik dan yang menguasai bidang tanah tersebut; dan

b. Dibuat berdasarkan keterangan yang sebenar-benarnya dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara perdata maupun pidana apabila di kemudian hari terdapat ketidakbenaran dalam peranyataannya;

(7)  Surat Pernyatan Penguasaan fisik dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Disamping apa yang telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), kedua peraturan tersebut di atas harus menjadi rujukan dan pisau analisis dalam menangani sengketa hak atas tanah yang didalamnya menyoalkan mengenai alat bukti bekas hak milik adat demi mewujudkan kepastian hukum dan melindungi masyarakat dari praktik buruk yang dilakukan oleh mafia tanah. Oleh karena itu, pemaknaan alat bukti bekas hak milik adat dalam sengketa hak atas tanah yaitu dinyatakan berlaku dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak 02 Februari 2021 sampai dengan 02 Februari 2026 yang wajib didaftarkan dan dinyatakan tidak berlaku apabila melewati jangka waktu tersebut tidak didaftarkan yang akibat hukumnya tidak dapat digunakan sebagai pembuktian Hak Atas Tanah sehingga hanya sebagai petunjuk dalam rangka Pendaftaran Tanah.

Perlu diperhatikan dengan seksama bahwasanya terdapat perbedaan mengenai kualitas sebagai alat bukti antara Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, Verponding Indonesia dan alat bukti bekas hak milik adat lainnya dengan nama atau istilah lain dengan Surat Keterangan Tanah, surat keterangan ganti rugi, surat keterangan desa dan lainnya yang sejenis, yaitu yang diakui eksistensinya menurut hukum sebagai alat pembuktian adalah Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, Verponding Indonesia dan alat bukti bekas hak milik adat lainnya dengan nama atau istilah lain, sedangkan Surat Keterangan Tanah, surat keterangan ganti rugi, surat keterangan desa dan lainnya yang sejenis hanya diakui sebagai petunjuk dalam pendaftaran tanah, sebagaimana yang sudah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Best Practice Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah

Fenomena yang terjadi di pengadilan seringkali membentuk kesadaran maupun pemahaman masyarakat mengenai suatu sengketa yang diselesaikan melalui putusan pengadilan. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan minimnya literasi mengakibatkan suatu persengketaan diadili tidak membawa keadilan bagi para pencari keadilan. Dewasa ini yang menjadi persoalan bukan hanya soal menang dan kalah di pengadilan, melainkan bagaimana Hakim menerapkan hukum dalam suatu sengketa yang diajukan kepadanya. Ketidaksesuaian penerapan hukum seringkali membawa akibat yaitu turunnya trust public terhadap badan peradilan, hal ini sebuah tanda serius bahwa Hakim harus benar-benar mewujudkan asas ius curia novit pada setiap perkara yang ditanganinya.

Sudah tidak asing lagi di telinga bahwa masyarakat acapkali menganggap Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, Verponding Indonesia dan alat bukti bekas hak milik adat lainnya tidak dapat mengalahkan Sertipikat Hak Atas Tanah (SHM/SHGB/SHGU). Sebab utama dari paradigma yang demikian adalah maksud dan tujuan dari sertipikat hak atas tanah memang untuk memberikan kepastian hukum bagi siapapun yang menjadi pemegang haknya, selain itu sering kali terlewat untuk dipertimbangkan bagaimana cara perolehan dari sertipikat tersebut, apakah diperoleh secara patut menurut hukum ataukah justru dari praktik-praktik yang melawan hukum. Berbicara mengenai sumber perolehan hak atas tanah, disinilah letak isu utama dari sebuah sengketa hak atas tanah. Mengapa demikian? Bahwasanya perlu dipahami segala sesuatu yang dilindungi dan dijamin oleh hukum haruslah diperoleh dengan cara-cara yang ditentukan hukum serta tidak diperbolehkan dengan cara yang melawan hukum. Segala sesuatu yang diperoleh dengan cara melawan hukum maka membawa akibat menjadi batal demi hukum.

Hakim dalam melihat pokok persengketaan keabsahan kepemilikan atas adanya pertentangan antara Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, Verponding Indonesia dan alat bukti bekas hak milik adat lainnya dengan Sertipikat Hak Atas Tanah harus mampu merumuskan apa yang menjadi permasalahan utamanya, peraturan mana yang berlaku, merumuskan fakta-fakta yuridis, menganalisa dengan menerapkan hukum yang berlaku dan mengambil kesimpulan untuk menjatuhkan putusan sebagai wujud penyelesaian perkara.

Hakim dalam perkara perdata sebenarnya juga harus mewujudkan kebenaran materiil, namun apabila tidak dapat menemukan kebenaran materiil maka diperbolehkan untuk menjatuhkan putusan dengan dasar kebenaran formil. Sehingga maknanya bukan berarti Hakim dalam sengketa perdata tidak boleh menjatuhkan atas kebenaran materil, melainkan apabila tidak dapat tercapai maka diperbolehkan dengan basis legal formil. Hal ini sangat penting dengan kaitannya sengketa perdata yang mengandung unsur manipulatif, yakni mafia tanah seringkali sudah memiliki sertipikat hak atas tanah terhadap objek sengketa, namun secara materiil sumber perolehan haknya dilakukan dengan cara melawan hukum dengan tidak menghiraukan pemegang hak alat bukti bekas hak milik adat.

Praktik terbaik penyelesaian sengketa perdata mengenai hak atas tanah harus dengan pendeketan yang komprehensif agar tidak tergelincir dengan mengedepankan legal formil semata. Dapat dikatakan bahwa alat bukti bekas hak milik adat memiliki kualitas pembuktian di atas sertipikat hak atas tanah dalam hal terungkap fakta bahwa pemegang hak dari alat bukti bekas hak milik adat memang secara nyata turun temurun menguasai dengan itikad baik dan tercatat dalam buku tanah desa setempat dimana tidak pernah ada pengalihan dari pemegang hak selaku orang yang berwenang melakukan perbuatan hukum terhadap tanah tersebut, serta pula terhadap sertipikat dari mulanya perolehan sampai dengan penerbitannya mengandung unsur perbuatan melawan hukum.

Sebagai contoh konkret bahwa suatu pemerintah daerah mendaftarkan sebidang tanah dan Kantor Pertanahan setempat menerbitkan Sertipikat Hak Pakai atas nama pemegang hak pemerintah daerah tersebut, sedangkan tanah tersebut bukanlah tanah terlantar atau tanah yang dilepaskan haknya, melainkan tanah yang dikuasai secara langsung dengan itikad baik berdasarkan alat bukti bekas hak milik adat. Dalam kasus tersebut maka terungkap sebuah kebenaran materil bahwa pemerintah daerah sebenarnya tidak memiliki dasar untuk mengajukan pendaftaran hak pakai terhadap tanah tersebut dikarenakan terdapat hak dari orang yang memiliki alat bukti bekas hak milik adat. Namun berbeda halnya apabila hanya memandang dari aspek legal formil, maka cenderung menerapkan hukum dengan pendekatan kekuatan dari sertipikat sebagaimana diatur dalam Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

Disini terlihat betapa pentingnya kehatian-hatian (prudential principle) seorang Hakim dalam memutus perkara sengketa hak atas tanah. Sekalipun dalam pengadilan perdata, seorang Hakim dilarang untuk menjatuhkan putusan atas dasar keyakinannya, namun tidak ada larangan bagi Hakim untuk menggali kebenaran yang sebenar-benarnya dari sengketa yang didadilinya demi mewujudkan keadilan yang nyata bagi pencari keadilan. Justru dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa Hakim harus menggali nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat untuk mewujudkan keadilan. Pembangunan hukum nasional dalam bidang perdata hari ini sudah harus mampu menjangkau kebutuhan hukum dari seluruh lapisan masyarakat dan menutup celah bagi para mafia tanah untuk menyalahgunakan keadaan maupun kerentanan dari pemegang hak berdasarkan alat bukti bekas hak milik adat. Dengan demikian dapat diformulasikan bahwa sengketa hak atas tanah yang menyoalkan mengenai alat bukti bekas hak milik adat haruslah ditinjau secara yuridis tentang apakah masih berlaku dan berada dalam jangka waktu yang ditentukan, dikuasai secara nyata turun temurun, diperoleh dengan itikad baik dan tercatat dalam buku tanah desa/buku pajak setempat.

 

Kesimpulan

Hakim dalam menangani sengketa perdata mengenai keabsahan kepemilikan hak atas tanah wajib mempertimbangkan sumber perolehan hak atas tanah tersebut, terutama sekali yang di dalamnya terdapat alat bukti bekas hak milik adat. Prinsip kehati-hatian (prudential principle) harus dikedepankan untuk mencegah tergelincirnya ke dalam sesat pikir dengan alih-alih legal formil sebagaimana praktik mafia tanah yang seringkali dilakukan di pengadilan. Hakim yang memiliki kewajiban mengkonstatir, mengkualifisir, mengkonstituir fakta dan hukum untuk menjatuhkan putusan, tidak dapat berpaling dari ketentuan yang diatur Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemeritah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dengan demikian, maraknya penyelundupan hukum dalam bidang pertanahan khususnya sengketa hak atas tanah yang diajukan ke pengadilan dapat teratasi dan masyarakat mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana yang dijamin oleh undang-undang.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum