Dua tahun yang lalu, Indonesia diramaikan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional). KUHP Nasional akan mulai berlaku pada Januari 2026. Melihat situasi tersebut, banyak pihak menilai keberadaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru jadi mendesak, karena tanpa adanya KUHAP baru tidak mungkin KUHP Nasional dapat digunakan secara maksimal.
Dokumen Rancangan Undang-Undang KUHAP versi DPR RI bulan Maret 2025 (RUU KUHAP) beredar di tengah masyarakat. Beberapa topik mengenai konten daripada rancangan tersebut diperbincangkan para akademisi dan praktisi hukum, namun salah satu yang kurang disoroti adalah mengenai pendapat yang berbeda di antara Majelis Hakim.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Dengan Praperadilan Dalam RUU KUHAP
Berdasarkan rancangan tersebut, sebagaimana Pasal 220 ayat (1) RUU KUHAP mengatur bahwa “Putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika permufakatan tersebut setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka putusan diambil dengan suara terbanyak.” Penjelasan pasal tersebut menyebutkan “Apabila tidak terdapat mufakat bulat, pendapat lain dari salah seorang hakim majelis dicatat dalam berita acara sidang majelis yang sifatnya rahasia.” Sesungguhnya pengaturan yang demikian sama persis dari apa yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saat ini di mana pada penjelasan Pasal 182 ayat (6) KUHAP.
Muncul pertanyaan jika memang RUU KUHAP adalah masa depan dari hukum pidana formil Indonesia, mengapa ia abai untuk mengatur atau setidaknya memberi rambu-rambu lebih jelas mengenai praktik pengambilan pendapat berbeda (baik itu dissenting ataupun concurring opinion) di tengah Majelis Hakim saat memutus sebuah perkara pidana?
Pertanyaan di atas memiliki 2 (dua) latar belakang. Pertama, berita acara sidang majelis sebagaimana dimaksud belum memiliki kiblat yang jelas mengenai bentuknya, pertanggungjawabannya, dan kegunaannya. Kedua, pendapat berbeda diakui dan diatur oleh Surat Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 359/KMA/SK/XII/2022 tentang Template dan Pedoman Penulisan Putusan/Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada Empat Lingkungan Peradilan di bawah Mahkamah Agung (SK KMA 359). Pada SK KMA 359 bagian template peradilan umum, bisa dilihat bahwa posisi pendapat berbeda selalu diakomodir–baik di tingkat pertama maupun banding, serta baik pada tindak pidana biasa, khusus, perikanan, HAM, korupsi dan anak. Pun pada template Mahkamah Syariah untuk bagian jinayah, pendapat berbeda ini juga diatur.
Dalam hal mengikuti logika KUHAP dan RUU KUHAP ini, justru template pada bagian peradilan militerlah yang paling sesuai. Di dalam SK KMA 359, peradilan militer tidak memberikan template putusan untuk meletakkan pendapat berbeda melainkan template berita acara sidang majelis yang bersifat rahasia sebagaimana disebutkan pada Penjelasan Pasal 182 ayat (6) KUHAP dan Penjelasan Pasal 220 ayat (1) RKUHAP (edisi 3 Maret 2025).
Tentu kita bisa berargumen bahwa apa yang diatur pada Penjelasan Pasal 182 ayat (6) KUHAP tidaklah melarang praktik hari ini, yang juga diamini SK KMA 359, mengenai akomodasi pendapat berbeda di dalam putusan. Namun demikian, tidak bisa juga dikatakan bahwa hal yang demikian selaras dengan Penjelasan Pasal 182 ayat (6) KUHAP yang sudah cukup jelas memberi kerangka kerja bahwa pendapat berbeda bersifat rahasia.
Meski seakan tidak terasa esensial, regulasi dan implementasi yang bervariasi dalam akomodasi pendapat berbeda dalam putusan patut menjadi tantangan tersendiri bagi mandat lembaga dalam menjaga kesatuan hukum di republik ini. Hal ini juga cukup terlihat pada SK KMA 359 – di mana template perkara perdata tidak menyebutkan secara spesifik mengenai pendapat berbeda (meski, lagi-lagi, tidak dilarang), peradilan pajak menyebutkannya, peradilan tata usaha negara menyebutkannya, dan perbedaan-perbedaan lainnya.
Indonesia tentu tidak sendiri dalam keriuhan pendapat mengenai persoalan ini. Negara-negara seperti Belgia, Prancis, Austria, Italia, dan Belanda memiliki posisi bahwa pendapat berbeda di dalam putusan tidak dimungkinkan. Namun, sistem di Belanda masih memperbolehkan pendapat berbeda dalam putusan direfleksikan atau ditunjukkan secara tidak langsung. Pendapat berbeda dipandang bertentangan dengan konsep “Het Geheim van de Raadkamer” karena seakan memperlihatkan musyawarah hakim ke hadapan masyarakat. Pendapat berbeda juga dipandang mengurangi kewibawaan peradilan karena menunjukkan adanya perbedaan di antara hakim, ketidakpastian hukum, menimbulkan perpecahan atau polarisasi di antara hakim, dan sulit munculnya preseden hukum karena putusan yang tidak bulat.
Di lain pihak, negara-negara seperti Denmark, Jerman, Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat memperbolehkan adanya pendapat berbeda dalam putusan. Argumen-argumen yang melandasi posisi ini antara lain adalah pendapat berbeda memperkaya analisis hukum, mendorong perkembangan hukum, memberi landasan berpikir berbeda dalam putusan (dalam konteks concurring opinion), memberikan ruang ekspresi bagi kritik konstruktif, menunjukkan independensi hakim, bentuk tanggung jawab moral seorang hakim, serta bentuk transparansi bagi masyarakat.
Hakim-hakim di seluruh dunia pun punya pendapat berbeda mengenai hal ini. Susan Kiefel (Chief Justice Australia periode 2017-2023) menyatakan kekhawatirannya akan meningkatnya frekuensi pendapat berbeda oleh para hakim, serta perhatian yang diberikan terhadap pendapat berbeda tersebut oleh mahasiswa dan masyarakat hukum. Kiefel berpandangan bahwa pendapat berbeda hanyalah layak diberikan pada kasus-kasus penting. Menurut Kiefel, hakim-hakim yang kerap berpendapat berbeda dalam putusan punya kecenderungan mengedepankan diri sendiri dan dimuatnya pendapat berbeda dalam sebuah putusan dapat memberikan popularitas kepada seorang hakim namun di sisi lain melukai pandangan publik terhadap pengadilan dan hakim-hakimnya.
Di lain pihak, Sabino Cassese (Hakim Konstitusi Italia periode 2005-2014) berpendapat bahwa ketiadaan pendapat berbeda menghukum potensi kajian terhadap hukum yang merangsang debat serta kepedulian (akan suatu isu) di suatu negara.
Oleh karena hal-hal di atas, RUU KUHAP adalah sebuah kesempatan yang baik untuk mengakhiri (setidaknya secara perundang-undangan) perdebatan mengenai bagaimana menyampaikan pendapat berbeda dalam sebuah putusan.
RUU KUHAP dapat bertahan dengan konsep pendapat berbeda hanya dimuat dalam berita acara sidang Majelis Hakim yang bersifat rahasia namun harus lebih jelas menyatakan larangan dimuatnya pendapat berbeda dalam sebuah putusan. Jika ini sikap yang diambil, tentu lembaga patut bersikap dengan menyiapkan format berita acara yang dimaksud serta memastikan dokumen tersebut dapat dimanfaatkan, baik sebagai pertimbangan bagi Majelis Hakim pada upaya hukum atau dalam persoalan kode etik bila dibutuhkan.
RUU KUHAP juga dapat mengadopsi apa yang sudah diatur di dalam SK KMA 359, dalam template perkara pidana, dan menyatakan pendapat berbeda boleh dimuat dalam putusan dengan sejumlah ketentuan misalnya: 1) apakah pendapat berbeda itu bisa dinyatakan secara terbuka keberadaannya atau hanya memperlihatkan argumentasi yang terjadi di dalam majelis, 2) apakah dengan atau tanpa identitas hakim yang berbeda pendapat, 3) apakah butuh batasan secara halaman atau jumlah kata, 4) perkara-perkara seperti apa di mana pendapat berbeda diperbolehkan, dan lain-lain.
Jika harus mengambil posisi, Penulis memilih agar pendapat berbeda tetap dapat dimunculkan di dalam putusan– dan Penulis terbuka pada kemungkinan regulasi-regulasi tambahan sebagaimana disampaikan pada paragraf sebelumnya. Hukum adalah sebuah hal yang kompleks dan setiap orang memiliki perspektif yang berbeda terhadapnya. Wajar kemudian dalam memutus sebuah perkara, hakim-hakim dalam suatu majelis memiliki gaya atau cara pikir yang berbeda. Tentu, kondisi paling ideal adalah suatu perkara dapat diputus dengan suara bulat dan utuh tanpa adanya perbedaan pendapat.
Namun, tidak dapat menutup mata bahwa dalam beberapa situasi perkara, penerapan hukum dapat dilakukan dengan lebih dari satu sudut pandang dan sangat mungkin terdapat perbedaan pendapat yang tajam di antara hakim yang sulit diselesaikan dalam musyawarah. Oleh karena itu, bila dirasa amat perlu dan signifikan, perbedaan pendapat tersebut patut dituangkan dalam putusan agar pikiran tersebut dapat ditelaah lebih jauh, baik oleh pihak berperkara maupun masyarakat hukum.
Perbedaan pendapat hakim tidak perlu dipandang sebagai sesuatu yang tabu. Mestinya perbedaan pendapat hakim dapat dilihat sebagai sebuah bentuk tanggung jawab moral dan kesungguhan hakim dalam mengadili suatu perkara.
Negara memberi amanah pada profesi hakim untuk menyelesaikan suatu perkara dengan tanggung jawab sebagaimana dalam irah-irah putusan. Tanggung jawab moral seorang hakim dalam perkara pidana tidaklah ringan karena putusan pidana amatlah berdampak pada kehidupan seseorang, baik sebagai korban maupun terdakwa. Maka ketika seorang hakim menganggap perlu untuk menunjukkan pendapat berbedanya dan mampu menuangkannya dalam badan putusan dengan baik, itu adalah indikasi bahwa ia memperhatikan perkara tersebut dengan seksama serta berusaha untuk memberikan sumbangsih pemikiran pada perkara tersebut–tentu dengan tidak menegasikan kontribusi serupa pada perkara-perkara yang diputus secara bulat.
Dengan status quo saat ini, di mana perbedaan pendapat dalam putusan pidana diakomodir oleh SK KMA 359, hakim memiliki kewenangan dan kesempatan untuk menuangkan pendapat berbeda di dalam putusan, baik itu dissenting opinion maupun concurring opinion. Namun demikian, kewenangan dan kesempatan tersebut harus diimplementasi dengan hati-hati, selektif, dan bijaksana.
Di Indonesia, di mana regulasi mengenai perbedaan pendapat hakim mendahului tradisinya, sangat krusial bagi seorang hakim untuk menjamin ia telah melaksanakan musyawarah hakim dengan sungguh-sungguh dan ekstensif untuk mencapai mufakat sebelum ia berpaling pada upaya untuk memuat pendapat berbedanya di dalam putusan. Penting untuk memastikan perbedaan pendapat hakim yang dituangkan dalam putusan bukanlah untuk kepentingan individu–melainkan demi melayani kepentingan masyarakat, atau setidaknya bagi para pihak, dalam memaknai perkara tersebut atau persoalan hukum tertentu di kemudian hari.
Apapun langkah yang diambil perancang RUU KUHAP nantinya, semoga hal tersebut dapat memberikan landasan yang lebih jelas bagi para hakim dalam membuat putusan dan mengurangi perdebatan mengenai hal ini–yang mana penting untuk menjaga nyala api semangat kolegial di antara hakim. (LDR, YPP)
Penulis: Yohan David Misero, Calon Hakim PN Balikpapan dan Christopher Surya Salim, Calon Hakim PN Cianjur.
Referensi:
Van Manen, N. (2001). “The Secret of the Court in the Netherlands”. Seattle University Law Review, 24(2), 569–576. https://digitalcommons.law.seattleu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1679&context=sulr
Franken, S. "Urgenda Decision – Supreme Court of the Netherlands." Insights, Februari 2020. https://www.clydeco.com/en/insights/2020/02/urgenda-decision-supreme-court-netherlands
Gans, J. “The Great Assenters.” Inside Story, Mei 2018, https://insidestory.org.au/the-great-assenters/
Cassese, S. “Dentro la Corte. Diario di un giudice costituzionale”, 2015. https://www.nomos-leattualitaneldiritto.it/wp-content/uploads/2015/08/Ferrarese_Anticipazioni-Nomos-2_2015.pdf
Baca Juga: Revisi KUHAP: Memperkuat Due Proces of Law
Raffaeli, R. “Dissenting opinions in the Supreme Courts of the Member States”, Policy Department C: Citizens' Rights and Constitutional Affairs - European Parliament, https://www.europarl.europa.eu/document/activities/cont/201304/20130423ATT64963/20130423ATT64963EN.pdf
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI