Di
ruang sidang Pengadilan Pajak yang hening, sebuah ritual rutin terjadi. Sebelum
adu argumen mengenai sengketa pajak bernilai miliaran rupiah dimulai, Kuasa
Hukum menyerahkan selembar dokumen kepada Majelis Hakim: Pakta Integritas. Di
atas meterai, tertera janji suci untuk tidak menyuap, tidak berkolusi, dan
menjunjung tinggi etika profesi. Hakim mengangguk, panitera mencatat, dan palu
sidang pun diketuk.
Pemandangan ini memantik pertanyaan mendasar bagi publik dan pencari keadilan: Apakah secarik kertas ini benar-benar menjadi benteng kokoh yang menghalangi godaan korupsi, atau ia telah tereduksi menjadi sekadar tiket masuk administratif—sebuah "ritual" tanpa roh?
Antara Niat Baik dan Jebakan Administratif
Secara
regulasi, upaya Pengadilan Pajak untuk membersihkan diri dari anasir korupsi
patut diapresiasi. Kewajiban ini bukanlah hal baru; ia telah dilembagakan
melalui Surat Edaran Ketua Pengadilan Pajak Nomor SE-005/PP/2016, yang
mewajibkan penyampaian Pakta Integritas pada sidang pemeriksaan pertama (Ketua
Pengadilan Pajak, 2016). Terbaru, kran regulasi diperketat
melalui Peraturan Ketua Pengadilan Pajak Nomor PER-01/PP/2024. Kini, seorang
konsultan pajak bahkan tidak akan mendapatkan lisensi Izin Kuasa Hukum (IKH)
jika tidak melampirkan Pakta Integritas dalam permohonan izin praktiknya (Ketua
Pengadilan Pajak, 2024).
Di atas
kertas, sistem ini terlihat sempurna. Anda ingin beracara? Anda harus berjanji
untuk jujur. Namun, realitas sosiologis hukum sering kali berbeda dengan logika
normatif. Dalam teori administrasi publik, fenomena ini dikenal sebagai administrative
ritualism. Onyango (2019) menjelaskan bahwa ritualisme administrasi terjadi
ketika kepatuhan terhadap prosedur formal (seperti menandatangani dokumen etik)
menjadi tujuan itu sendiri, yang justru mengaburkan esensi pencegahan korupsi
yang sebenarnya.
Baca Juga: Memahami Sengketa Pajak: Ketika Kepentingan Negara Bertemu Hak Wajib Pajak
Bahayanya adalah ketika Pakta Integritas dianggap "selesai" begitu tinta kering di atas kertas. Sejarah kelam mafia pajak, seperti kasus Gayus Tambunan satu dekade silam, mengajarkan kita bahwa transaksi gelap jarang terjadi di depan meja hijau. Transaksi haram tersebut terjadi di ruang-ruang privat yang jauh dari jangkauan lembar pakta yang diserahkan di ruang sidang (Indonesia Corruption Watch, 2010). Tanpa mekanisme pengawasan yang aktif, dokumen tersebut berisiko hanya menjadi "macan kertas" yang mengaum di atas meja namun ompong di lapangan.
Dilema "Dua Tuan" dan Angin Segar Perubahan
Selama
bertahun-tahun, efektivitas integritas di Pengadilan Pajak juga
dibayang-bayangi oleh masalah struktural yang unik, yaitu dualisme pembinaan.
Hakim Pengadilan Pajak berada di posisi sulit: secara teknis yudisial mereka
bertanggung jawab kepada Mahkamah Agung, namun secara organisasi, administrasi,
dan finansial, mereka berada di bawah Kementerian Keuangan (Undang-Undang No.
14, 2002).
Situasi
ini menciptakan persepsi konflik kepentingan yang tajam. Bagaimana mungkin
wasit (Hakim) bisa dipersepsikan 100% independen jika "status"-nya diurus oleh
institusi yang juga membawahi salah satu pihak yang berperkara? Keraguan
struktural ini sering kali membuat Pakta Integritas dipandang sebelah mata oleh
Wajib Pajak.
Namun, angin perubahan sedang bertiup kencang. Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 26/PUU-XXI/2023 telah memberikan mandat revolusioner. MK memerintahkan agar pembinaan Pengadilan Pajak sepenuhnya dialihkan ke Mahkamah Agung paling lambat 31 Desember 2026 (Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2023). Ini bukan sekadar perpindahan gedung atau administrasi gaji; ini adalah momentum pemurnian independensi yudisial.
Masa Depan: Dari Kertas ke Sistem Pengawasan
Transisi
ke "satu atap" di bawah Mahkamah Agung membawa harapan baru bagi
taring Pakta Integritas. Setidaknya ada dua pilar penguat yang akan mengubah
pakta ini dari sekadar dokumen menjadi sistem yang hidup.
Pertama,
masuknya peran Komisi Yudisial (KY) secara penuh. Pasca -transisi,
status hakim pajak akan menjadi jelas sebagai pejabat negara di bawah kekuasaan
kehakiman, sehingga tidak ada lagi perdebatan mengenai yurisdiksi pengawasan.
KY akan memiliki wewenang untuk mengawasi perilaku hakim pajak, menerima
laporan masyarakat, hingga merekomendasikan sanksi (Kadafi, 2023). Pakta
Integritas nantinya tidak lagi hanya diawasi oleh sesama kolega internal,
tetapi oleh lembaga pengawas eksternal yang independen.
Kedua, Digitalisasi Layanan. Pengembangan sistem peradilan elektronik (e-Tax Court) yang terintegrasi dengan sistem Mahkamah Agung adalah langkah krusial. Sistem digital menciptakan jejak audit (audit trail) yang abadi (Lembaga Kajian & Advokasi Independensi Peradilan [LeIP], 2025). Di era digital, integritas bukan lagi soal tanda tangan basah, melainkan sistem yang menutup celah pertemuan fisik yang tidak perlu antara pihak berperkara dan aparatur pengadilan.
Penutup
Pada
akhirnya, integritas bukanlah benda mati yang bisa dijamin hanya dengan meterai
Rp10.000. Ia adalah nilai yang hidup dalam batin setiap penegak hukum. Pakta
Integritas di Pengadilan Pajak tetaplah relevan sebagai pengingat moral, namun
ia tidak boleh berdiri sendirian.
Menjelang penyatuan atap ke Mahkamah Agung pada 2026, kita berharap Pakta Integritas bertransformasi. Dari sekadar ritual administratif di awal sidang, menjadi sebuah budaya hukum baru yang disokong oleh independensi mutlak dari eksekutif, pengawasan ketat Komisi Yudisial, dan transparansi teknologi. Hanya dengan cara itulah, janji di atas kertas itu akan benar-benar bermakna keadilan bagi para pembayar pajak. (snr)
Daftar Pustaka
Indonesia Corruption
Watch. (2010, 29 Maret). Gayus dan Kejahatan Pajak. https://antikorupsi.org/id/article/gayus-dan-kejahatan-pajak
Kadafi, B. (2023, 7 Juni).
Begini Kata Komisi Yudisial Soal Pengawasan Hakim Pajak. DDTCNews. https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1794906/begini-kata-komisi-yudisial-soal-pengawasan-hakim-pajak
Ketua Pengadilan Pajak.
(2016). Surat Edaran Ketua Pengadilan Pajak Nomor SE-005/PP/2016 tentang
Penyampaian Pakta Integritas. Sekretariat Pengadilan Pajak.
Ketua Pengadilan Pajak.
(2024). Peraturan Ketua Pengadilan Pajak Nomor PER-01/PP/2024 tentang Tata
Cara Permohonan Izin Kuasa Hukum pada Pengadilan Pajak. Sekretariat
Pengadilan Pajak.
Lembaga Kajian &
Advokasi Independensi Peradilan. (2025, April). Paparan Diskusi LeiP:
Transisi Pengadilan Pajak. LeIP.
Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia. (2023). Putusan Nomor 26/PUU-XXI/2023 perihal Pengujian
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Onyango, G. (2019).
Administrative rituals and reproduction of corruption in public administration
of a transitional economy. Public Administration and Policy. https://doi.org/10.1108/PAP-03-2019-0006
Baca Juga: Pengadilan Pajak Sebagai Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Kesembilan
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. (2002). Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI