Menandai
babak baru perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan hidup, Majelis Hakim
konstitusi dalam Putusan Nomor 119/PUU-XXIII/2025 mengabulkan sebagian permohonan
pemohon dengan memperluas subjek yang memperoleh perlindungan hukum sebagaimana
tertuang dalam Pasal 66 UU PPLH, bukan lagi terhadap “korban dan atau pelapor”
dengan keadaan khusus “yang menempuh jalur pemidanaan atau gugatan perdata"
saja, melainkan secara luas menggeneralisir bagi setiap orang, termasuk korban,
pelapor, saksi, ahli, dan aktivis lingkungan dalam segala bentuk partisipasi
upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta tak ayal terhadap tindakan
pembalasan yang menempuh jalur hukum/ Anti-SLAPP.
Putusan MK berangkat dari isu krusial atas sempitnya subjek Anti-SLAPP yang terbatas pada “korban” dan/atau “pelapor” dalam penjelasan Pasal 66 UU PPLH turut dimaknai menyimpang dari maksud awal. Bagian konsideran huruf (f) UU PPLH menggunakan frasa “setiap orang” untuk “mendapatkan lingkungan hidup yang sehat”. Jelas terbatasnya subjek yang memperoleh perlindungan menimbulkan ketidakpastian siapa-siapa saja yang seharusnya mendapatkan jaminan hak atas perlindungan hidup untuk terhindar dari kriminalisasi.
Apalagi makna dari penggunaan korban dan/atau “pelapor
menimbulkan preseden bahwa subjek harus benar-benar terseret dalam jalur hukum
dulu, barulah status subjek berubah dan pasal yang ada dapat berlaku. Padahal, original intent sesungguhnya dari Pasal
66 UU PPLH benar-benar bermaksud mencegah seseorang atau suatu badan tersangkut
pemidanaan atau gugatan perdata, yang seharusnya ditafsirkan sedari awal.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Anti SLAPP di Indonesia
Implikasi lanjutannya bagi yang bukan
termasuk “korban” dan/atau “pelapor” dalam pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang “tidak menempuh cara hukum”, tetapi memperjuangkan
berdasarkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana
berdasarkan Pasal 65 UU PPLH dan peraturan perundang-undangan lainnya tidak
terakomodir, seperti sivitas akademika yang dalam rangka melakukan penelitian
atau berada dalam aktivitas advokasi terhadap hukum lingkungan. Hal tersebut
seolah memunculkan potensi tidak adanya perlindungan hukum terhadap pihak
diluar korban dan/atau pelapor akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup yang menempuh cara hukum.
Menelusuri
jejak pandangan ekosentris Aldo Leopold, Putusan MK ini mengawali langkah futuristik
dengan mengedepankan pelestarian lingkungan yang bernuansa intrinsik,
dilalahnya tidak mereduksi makna “upaya pencegahan” atas upaya pencemaran dan/
atau pengrusakan lingkungan hidup, yakni dengan cara memperluas wadah jalinan relasi
manusia untuk tidak lagi diletakkan pada paradigma individualistik yang
terbatas, melainkan lebih dari itu menekankannya pada partisipasi publik sebagai
sesuatu yang fundamental.
Mahkamah Agung Curi Langkah Lebih Dulu lewat Perma
1/2023
Disadari
ataupun tidak, jauh sebelum hadirnya Putusan MK, perluasan subjek ternyata
sudah diinisiasi Mahkamah Agung lewat Perma 1/2023, yakni pada pembahasan SLAPP
dan Anti-SLAPP Bagian Kelima Pasal 48 ayat (1) yang secara tegas menyatakan
bahwa
“Perlindungan hukum diberikan kepada setiap
orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”
Penggunaan
rumusan yang digunakan “setiap orang” sudah tentu menyiratkan bahwa
perlindungan hukum tidak dibedakan atas unsur status subjek, atau dengan syarat
aktivasi pada kondisi tertentu seperti sedang menempuh jalur hukum atau tidak, lebih
dari itu menyasar untuk tindakan yang cenderung bersifat kepentingan umum, dilindungi
mulai dari penyampaian usulan atau keberatan lisan ataupun tertulis terhadap
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, tindakan pembalasan dengan
pelaporan dugaan tindak pidana atau gugatan dan proses hukum lain, hingga di
agenda persidangan dan hal-hal lain di muka umum. Tentu hal ini berbanding
terbalik dengan Penjelasan Pasal 66 UU PPLH selama ini terhadap unsur subjek
dan kondisi untuk mengaktivasi Anti-SLAPP.
Dan
lagi lagi, nampaknya, bukan hanya sekedar formalistik saja agar melengkapi
aturan pranata peradilan, Mahkamah Agung ternyata mencoba mengilhami, dan merealisasikan
kandungan Perma 1/2023 lewat penjatuhan putusan sela pada Perkara Nomor
212/Pdt.G/2025/PN Cbi pada Pengadilan Negeri Cibinong. Gugatan diajukan PT
Kalimantan Lestari Mandiri (PT KLM) dengan menyeret dua akademisi Institut
Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M. Agr. dan Prof.
Dr. Ir. Basuki Wasis, M. Si. yang kala itu pernah sebagai ahli memberikan
keterangan terhadap fenomena kebakaran lahan gambut di areal perkebunan PT KLM
di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Keterangan disampaikan pada Putusan
Verstek Pengadilan Negeri Kuala Kapuas Nomor 51/Pdt.G-LH/2018/PN.Klk, Putusan
Verzet Nomor 51/Pdt.Plw-LH/2018/PN.Klk, Putusan Pengadilan Tinggi Palangkaraya
Nomor 10/PDT.G-LH/2020/PT PLK, serta Putusan Mahkamah Agung Nomor
1890K/Pdt/2021 jo Putusan PK Nomor 1248Pk/Pdt/2022 yang telah berkekuatan hukum
tetap (inkracht). Pasalnya, keterangan keduanya dijadikan dasar majelis hakim
untuk menghukum PT KLM membayar ganti rugi materiil sebesar Rp89,3 miliar dan
biaya pemulihan sebesar Rp210,5 miliar.
Rasionalitas,
dan progresif yang dikedepankan, menjadi jalan berpikir majelis hakim untuk
mempertimbangkan bahwa keterangan ahli yang kala itu diutarakan Prof. Bambang
Hero Saharjo dan Prof. Basuki Wasis tidak lain merupakan bentuk representasi
dari perjuangan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagai tindakan
SLAPP dan memutuskan gugatan tidak dapat dilanjutkan. Dari putusan ini tentu,
penerapan Perma 1/2023 adalah sebuah keniscayaan, yang diyakini adalah proyeksi
awal lahirnya putusan-putusan Anti-SLAPP serupa di masa mendatang.
Walau
sayangnya, karena aturan hanya dalam level PERMA yang terbatas untuk hakim dalam
pedoman mengadili perkara, aparat penegak hukum lain saat itu masih dalam
paradigma yang berbeda, dan kriminalisasi tetap dan masih menjadi momok yang
tidak terbendung. Data laporan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menjadi bukti
konkrit bahwa selama 10 tahun terakhir (2014-2024) tercatat telah ada 1.131
orang mengalami tindakan kekerasan dan kriminalisasi, mirisnya dari data
tersebut 544 diantaranya harus melewati tuntutan di pengadilan.
Harapannya,
dalam merayakan hegemoni perluasan subjek Pasal 66 UU PPLH, sekaligus momentum
penyamaan jalan pikir Perma 1/2023 yang sedari dulu, perjuangan atas lingkungan
hidup yang sehat tidak terhambat atas tindakan pembalasan yang berakhir
pemidanaan dan/atau gugatan perdata. Keselarasan paradigma Perma 1/2023 dengan
Pasal 66 UU PPLH pasca Putusan MK merupakan momentum balik pemberian rasa aman,
yang selayaknya diberikan kepada seluruh pihak pejuang lingkungan hidup tanpa
terkecuali.
Membuntuti dinamika perluasan subjek
Putusan MK Nomor 119/PUU-XXIII/2025, aturan lain juga perlu segera direvisi, misalnya
terhadap Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 10 Tahun 2024
(Permen LHK 10/2024) yang masih menggunakan paradigma Penjelasan Pasal 66 UU
PPLH lama, sehingga perlu diperbaharui bahwa penilaian terhadap tindakan pembalasan
melalui standar dan syarat yang ditentukan tidak hanya menyasar pada korban dan
pelapor saja, melainkan oleh seluruh pihak yang nyata-nyata diperluas dalam
Putusan MK. (ypy)
Referensi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
119/PUU-XXIII/2025
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup
Baca Juga: Kategori Anti-SLAPP, Gugatan Ke Akademisi IPB Tidak Dapat Diterima Oleh PN Cibinong
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan No. 10 Tahun 2024 tentang Pelindungan Hukum terhadap Orang yang
Memperjuangkan Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat
Putusan sela pada Perkara Nomor 212/Pdt.G/2025/PN Cbi Pengadilan Negeri Cibinong
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI