Cari Berita

Reorientasi Konseptual Anti-SLAPP Pasca Putusan MK: Terobosan dan Penegasan Perma 1/2023?

Daffa Ladro Kusworo-Staff Kepaniteraan Hukum PN Jakarta Selatan - Dandapala Contributor 2025-12-19 08:10:31
Dok. Ist.

Menandai babak baru perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan hidup, Majelis Hakim konstitusi dalam Putusan Nomor 119/PUU-XXIII/2025 mengabulkan sebagian permohonan pemohon dengan memperluas subjek yang memperoleh perlindungan hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 66 UU PPLH, bukan lagi terhadap “korban dan atau pelapor” dengan keadaan khusus “yang menempuh jalur pemidanaan atau gugatan perdata" saja, melainkan secara luas menggeneralisir bagi setiap orang, termasuk korban, pelapor, saksi, ahli, dan aktivis lingkungan dalam segala bentuk partisipasi upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta tak ayal terhadap tindakan pembalasan yang menempuh jalur hukum/ Anti-SLAPP.

Putusan MK berangkat dari isu krusial atas sempitnya subjek Anti-SLAPP yang terbatas pada “korban” dan/atau “pelapor” dalam penjelasan Pasal 66 UU PPLH turut dimaknai menyimpang dari maksud awal. Bagian konsideran huruf (f) UU PPLH menggunakan frasa “setiap orang” untuk “mendapatkan lingkungan hidup yang sehat”. Jelas terbatasnya subjek yang memperoleh perlindungan menimbulkan ketidakpastian siapa-siapa saja yang seharusnya mendapatkan jaminan hak atas perlindungan hidup untuk terhindar dari kriminalisasi.

Apalagi makna dari penggunaan korban dan/atau “pelapor menimbulkan preseden bahwa subjek harus benar-benar terseret dalam jalur hukum dulu, barulah status subjek berubah dan pasal yang ada dapat berlaku. Padahal, original intent sesungguhnya dari Pasal 66 UU PPLH benar-benar bermaksud mencegah seseorang atau suatu badan tersangkut pemidanaan atau gugatan perdata, yang seharusnya ditafsirkan sedari awal.

Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Anti SLAPP di Indonesia

Implikasi lanjutannya bagi yang bukan termasuk “korban” dan/atau “pelapor” dalam pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang “tidak menempuh cara hukum”, tetapi memperjuangkan berdasarkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana berdasarkan Pasal 65 UU PPLH dan peraturan perundang-undangan lainnya tidak terakomodir, seperti sivitas akademika yang dalam rangka melakukan penelitian atau berada dalam aktivitas advokasi terhadap hukum lingkungan. Hal tersebut seolah memunculkan potensi tidak adanya perlindungan hukum terhadap pihak diluar korban dan/atau pelapor akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menempuh cara hukum.

Menelusuri jejak pandangan ekosentris Aldo Leopold, Putusan MK ini mengawali langkah futuristik dengan mengedepankan pelestarian lingkungan yang bernuansa intrinsik, dilalahnya tidak mereduksi makna “upaya pencegahan” atas upaya pencemaran dan/ atau pengrusakan lingkungan hidup, yakni dengan cara memperluas wadah jalinan relasi manusia untuk tidak lagi diletakkan pada paradigma individualistik yang terbatas, melainkan lebih dari itu menekankannya pada partisipasi publik sebagai sesuatu yang fundamental.

Mahkamah Agung Curi Langkah Lebih Dulu lewat Perma 1/2023

Disadari ataupun tidak, jauh sebelum hadirnya Putusan MK, perluasan subjek ternyata sudah diinisiasi Mahkamah Agung lewat Perma 1/2023, yakni pada pembahasan SLAPP dan Anti-SLAPP Bagian Kelima Pasal 48 ayat (1) yang secara tegas menyatakan bahwa

“Perlindungan hukum diberikan kepada setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”

Penggunaan rumusan yang digunakan “setiap orang” sudah tentu menyiratkan bahwa perlindungan hukum tidak dibedakan atas unsur status subjek, atau dengan syarat aktivasi pada kondisi tertentu seperti sedang menempuh jalur hukum atau tidak, lebih dari itu menyasar untuk tindakan yang cenderung bersifat kepentingan umum, dilindungi mulai dari penyampaian usulan atau keberatan lisan ataupun tertulis terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, tindakan pembalasan dengan pelaporan dugaan tindak pidana atau gugatan dan proses hukum lain, hingga di agenda persidangan dan hal-hal lain di muka umum. Tentu hal ini berbanding terbalik dengan Penjelasan Pasal 66 UU PPLH selama ini terhadap unsur subjek dan kondisi untuk mengaktivasi Anti-SLAPP.

Dan lagi lagi, nampaknya, bukan hanya sekedar formalistik saja agar melengkapi aturan pranata peradilan, Mahkamah Agung ternyata mencoba mengilhami, dan merealisasikan kandungan Perma 1/2023 lewat penjatuhan putusan sela pada Perkara Nomor 212/Pdt.G/2025/PN Cbi pada Pengadilan Negeri Cibinong. Gugatan diajukan PT Kalimantan Lestari Mandiri (PT KLM) dengan menyeret dua akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M. Agr. dan Prof. Dr. Ir. Basuki Wasis, M. Si. yang kala itu pernah sebagai ahli memberikan keterangan terhadap fenomena kebakaran lahan gambut di areal perkebunan PT KLM di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Keterangan disampaikan pada Putusan Verstek Pengadilan Negeri Kuala Kapuas Nomor 51/Pdt.G-LH/2018/PN.Klk, Putusan Verzet Nomor 51/Pdt.Plw-LH/2018/PN.Klk, Putusan Pengadilan Tinggi Palangkaraya Nomor 10/PDT.G-LH/2020/PT PLK, serta Putusan Mahkamah Agung Nomor 1890K/Pdt/2021 jo Putusan PK Nomor 1248Pk/Pdt/2022 yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Pasalnya, keterangan keduanya dijadikan dasar majelis hakim untuk menghukum PT KLM membayar ganti rugi materiil sebesar Rp89,3 miliar dan biaya pemulihan sebesar Rp210,5 miliar.

Rasionalitas, dan progresif yang dikedepankan, menjadi jalan berpikir majelis hakim untuk mempertimbangkan bahwa keterangan ahli yang kala itu diutarakan Prof. Bambang Hero Saharjo dan Prof. Basuki Wasis tidak lain merupakan bentuk representasi dari perjuangan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagai tindakan SLAPP dan memutuskan gugatan tidak dapat dilanjutkan. Dari putusan ini tentu, penerapan Perma 1/2023 adalah sebuah keniscayaan, yang diyakini adalah proyeksi awal lahirnya putusan-putusan Anti-SLAPP serupa di masa mendatang.

Walau sayangnya, karena aturan hanya dalam level PERMA yang terbatas untuk hakim dalam pedoman mengadili perkara, aparat penegak hukum lain saat itu masih dalam paradigma yang berbeda, dan kriminalisasi tetap dan masih menjadi momok yang tidak terbendung. Data laporan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menjadi bukti konkrit bahwa selama 10 tahun terakhir (2014-2024) tercatat telah ada 1.131 orang mengalami tindakan kekerasan dan kriminalisasi, mirisnya dari data tersebut 544 diantaranya harus melewati tuntutan di pengadilan.

Harapannya, dalam merayakan hegemoni perluasan subjek Pasal 66 UU PPLH, sekaligus momentum penyamaan jalan pikir Perma 1/2023 yang sedari dulu, perjuangan atas lingkungan hidup yang sehat tidak terhambat atas tindakan pembalasan yang berakhir pemidanaan dan/atau gugatan perdata. Keselarasan paradigma Perma 1/2023 dengan Pasal 66 UU PPLH pasca Putusan MK merupakan momentum balik pemberian rasa aman, yang selayaknya diberikan kepada seluruh pihak pejuang lingkungan hidup tanpa terkecuali.

Membuntuti dinamika perluasan subjek Putusan MK Nomor 119/PUU-XXIII/2025, aturan lain juga perlu segera direvisi, misalnya terhadap Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 10 Tahun 2024 (Permen LHK 10/2024) yang masih menggunakan paradigma Penjelasan Pasal 66 UU PPLH lama, sehingga perlu diperbaharui bahwa penilaian terhadap tindakan pembalasan melalui standar dan syarat yang ditentukan tidak hanya menyasar pada korban dan pelapor saja, melainkan oleh seluruh pihak yang nyata-nyata diperluas dalam Putusan MK. (ypy)

 

Referensi

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 119/PUU-XXIII/2025

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup

Baca Juga: Kategori Anti-SLAPP, Gugatan Ke Akademisi IPB Tidak Dapat Diterima Oleh PN Cibinong

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 10 Tahun 2024 tentang Pelindungan Hukum terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat

Putusan sela pada Perkara Nomor 212/Pdt.G/2025/PN Cbi Pengadilan Negeri Cibinong

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…