Cari Berita

Relevansi SEMA 5/2021 terkait Praperadilan dan Pasal 154 ayat (1) huruf d RKUHAP

article | Opini | 2025-10-17 08:00:13

Hukum acara pidana berperan sebagai instrumen pokok untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan negara dalam menegakkan hukum dan perlindungan hak-hak individu, terutama bagi tersangka maupun terdakwa. KUHAP 1981 menghadirkan praperadilan sebagai mekanisme pengawasan yudisial terhadap penggunaan tindakan paksa oleh aparat penegak hukum. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ketentuan yang mengatur mengenai praperadilan ditempatkan secara khusus dalam Bab X, yang memuat Pasal 77 sampai dengan Pasal 83. Praperadilan dipandang sebagai instrumen penting dalam kerangka perlindungan hak-hak individu terhadap tindakan paksa aparat penegak hukum.Pasal 77 KUHAP secara tegas menjelaskan ruang lingkup atau objek praperadilan, yang meliputi: sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, serta pemberian ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi pihak yang perkaranya dihentikan pada tahap tersebut. Ruang lingkup ini kemudian diperluas melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.Selain itu, KUHAP juga memuat ketentuan mengenai keadaan yang dapat mengakibatkan praperadilan menjadi gugur, yang lazim dikenal dengan istilah 'prapid gugur'. Berdasarkan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, apabila suatu perkara telah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sementara permohonan praperadilan terkait perkara tersebut belum selesai diperiksa, maka secara hukum permohonan praperadilan tersebut dinyatakan gugur.Dalam perkembangannya, ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menimbulkan berbagai penafsiran di kalangan praktisi maupun akademisi hukum, khususnya terkait dengan frasa “perkara sudah mulai diperiksa.” Perbedaan penafsiran tersebut melahirkan beragam pandangan mengenai kapan praperadilan dianggap gugur.Perbedaan pandangan tersebut menunjukkan bahwa Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP belum memberikan kejelasan normatif mengenai batas waktu atau titik pasti kapan praperadilan dinyatakan berakhir. Akibat dari ketidakjelasan ini, praktik di pengadilan menjadi tidak seragam dan menimbulkan inkonsistensi dalam penerapan hukum, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi para pihak yang berperkara.Sehubungan dengan dinamika tersebut, MK melalui Putusan No. 102/PUU-XIII/2015 telah memberikan penafsiran konstitusional terhadap ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP. Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa pasal tersebut bersifat inkonstitusional bersyarat, sepanjang frasa “suatu perkara sudah mulai diperiksa” tidak dimaknai sebagai “permohonan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan ke pengadilan dan sidang pertama atas nama terdakwa atau pemohon praperadilan telah dimulai.”Namun demikian, meskipun Putusan MK tersebut telah memberikan tafsir konstitusional yang dimaksudkan untuk menegaskan batas waktu berakhirnya praperadilan, pada praktiknya masih ditemukan perbedaan pandangan di kalangan praktisi dan akademisi mengenai penerapan ketentuan tersebut. Keragaman tafsir tersebut menunjukkan bahwa Putusan MK belum sepenuhnya mampu memberikan penafsiran yang menyeluruh dan komprehensif terhadap norma yang bersifat multitafsir tersebut. Akibatnya, ketidakpastian dalam penerapan hukum mengenai waktu gugurnya praperadilan masih tetap terjadi di tingkat praktik peradilan.Menanggapi perbedaan penafsiran terkait gugurnya praperadilan, Mahkamah Agung menerbitkan SEMA Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2021. Dalam Rumusan Kamar Pidana angka 3, ditegaskan bahwa sejak berkas perkara dilimpahkan dan diterima oleh pengadilan, pemeriksaan praperadilan otomatis gugur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, karena status Tersangka telah beralih menjadi Terdakwa dan kewenangan penahanannya berada di tangan hakim.Apabila hakim praperadilan tetap memeriksa dan mengabulkan permohonan, putusan tersebut tidak berpengaruh terhadap pemeriksaan pokok perkara. SEMA ini memberikan kejelasan dan kepastian hukum bahwa pelimpahan perkara menjadi batas akhir kewenangan praperadilan.Berkenaan dengan ketentuan mengenai gugurnya praperadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, ternyata dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) versi terbaru tanggal 20 Maret 2025 saat ini, melalui Pasal 154 ayat (1) huruf d, secara substansial telah mengubah bahkan meniadakan ketentuan tersebut. Dalam rumusannya, RKUHAP menegaskan bahwa selama proses pemeriksaan terhadap objek praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 151 hingga Pasal 153 RKUHAP masih berlangsung, maka pemeriksaan perkara pokok di pengadilan tidak dapat dimulai atau dilaksanakan.Dengan demikian, RKUHAP tidak lagi menganut prinsip bahwa pemeriksaan praperadilan otomatis gugur apabila perkara pokok telah diperiksa di pengadilan. Sebaliknya, RKUHAP memberikan perlindungan agar pemeriksaan praperadilan diselesaikan terlebih dahulu sebelum perkara pokok diperiksa, guna menjamin efektivitas dan kepastian hukum dalam pelaksanaan hak praperadilan bagi pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan aparat penegak hukum.Apabila RKUHAP nantinya resmi diberlakukan, muncul pertanyaan mengenai masih relevankah SEMA Nomor 5 Tahun 2021 untuk diterapkan. Hal ini mengingat bahwa SEMA tersebut menegaskan, sejak berkas perkara dilimpahkan dan diterima oleh pengadilan, maka pemeriksaan praperadilan otomatis gugur.Namun secara substansial, sejumlah kalangan berpendapat bahwa keberlakuan SEMA tersebut tidak lagi relevan, karena ketentuan yang menjadi dasar pedomannya telah mengalami perubahan mendasar melalui Pasal 154 ayat (1) huruf d RKUHAP. Pasal tersebut secara tegas mengatur bahwa selama pemeriksaan praperadilan masih berlangsung, pengadilan tidak boleh menyelenggarakan pemeriksaan pokok perkara.Dengan demikian, apabila Pasal 154 ayat (1) huruf d RKUHAP mulai berlaku, maka SEMA No. 5 Tahun 2021 akan kehilangan daya berlakunya, karena substansi pengaturannya sudah tidak sejalan dengan ketentuan baru dan dianggap tidak lagi relevan untuk diterapkan.Secara yuridis, ketentuan Pasal 154 ayat (1) huruf d RKUHAP membawa dampak yang signifikan terhadap eksistensi dan kedudukan praperadilan di masa mendatang. Praperadilan tidak lagi dipandang sekadar sebagai lembaga formalitas semata, melainkan sebagai instrumen penting dalam penegakan keadilan. Lebih dari itu, pasal tersebut memberikan kepastian dan jaminan legalitas yang lebih kuat bagi para pencari keadilan yang merasa hak asasinya telah dilanggar akibat tindakan aparat penegak hukum yang keliru atau lalai dalam menjalankan prosedur hukum secara benar. Dengan adanya ketentuan ini, praperadilan tidak lagi dapat dinyatakan gugur hanya karena pokok perkaranya telah dilimpahkan ke pengadilan. Tidak dapat disangkal bahwa praktik tersebut selama ini kerap dijadikan alasan untuk menutup kesempatan pihak yang dirugikan dalam memperjuangkan hak-haknya melalui mekanisme praperadilan.Ketentuan baru ini sejalan dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28A hingga Pasal 28J Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Oleh karena itu, kedudukan praperadilan patut memperoleh jaminan hukum yang lebih pasti dan komprehensif, termasuk dalam aspek hukum acaranya.Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat, tidak hanya bagi para pembaca, tetapi juga bagi penulis sendiri, serta menjadi kontribusi yang dapat memperkaya wawasan dan membuka ruang diskusi konstruktif bagi berbagai kalangan. Dengan demikian, diharapkan ke depan dapat terwujud sistem hukum acara peradilan yang lebih baik, yang mampu mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi seluruh pihak. (snr/ldr)ReferensiUndang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015.Surat Edaran Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2021. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) versi 20 Maret 2025. Institute for Criminal Justice Reform. https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2025/03/RUU-KUHAP-20-Maret-2025.pdf, diakses tanggal 09/10/2025, pukul 09.40 WIB.

Perkara Telah Dilimpah, PN Pasarwajo Gugurkan Prapid Kasus Kekerasan Seksual

article | Berita | 2025-09-25 12:30:25

Pulau Buton, Sulawesi Tenggara – Pengadilan Negeri (PN) Pasarwajo menggugurkan permohonan praperadilan nomor 1/Pid.Pra/2025/PN Psw. Hakim Praperadilan Ahmad Suhail membacakan putusan tersebut pada hari Selasa lalu (23/09/2025) di Ruang Sidang PN Pasarwajo, Sulawesi Tenggara. Sebelumnya, Pemohon Praperadilan Fahren telah mengajukan permohonan praperadilan yang terdaftar dengan No. 1/Pid.Pra/2025/PN Psw pada Rabu tanggal 10 September 2025. Dalam permohonannya, Ia meminta agar surat perintah penahanan yang diterbitkan Kejaksaan Negeri Buton dinyatakan tidak sah. Pemohon beralasan tidak adanya bukti permulaan yang cukup untuk menyeretnya sebagai pelaku dalam kasus dugaan tindak pidana kekerasan seksual.Hakim praperadilan mempertimbangkan dalam putusannya berdasarkan SEMA Nomor 5 Tahun 2021 pada bagian Rumusan Kamar Pidana disebutkan dalam perkara tindak pidana, sejak berkas perkara dilimpahkan dan diterima oleh pengadilan serta merta menggugurkan pemeriksaan praperadilan.Hakim Praperadilan juga menguraikan dalam putusannya saat pemeriksaan praperadilan masih berlangsung, berkas perkara pidana Pemohon telah dilimpahkan oleh Kejaksaan Negeri Buton ke PN Pasarwajo pada tanggal 15 September 2025. “Hakim Praperadilan berpendapat permohonan praperadilan Pemohon haruslah dinyatakan gugur,” ucap Hakim Ahmad Suhail.Saat diminta tanggapan, Juru Bicara PN Pasarwajo menegaskan SEMA Nomor 5 Tahun 2021 ini diterbitkan untuk menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan. Sehingga, tidak terjadi disparitas putusan, terwujud kepastian hukum dan keadilan hukum bagi masyarakat. (zm/ldr)

PN Ngabang Kalbar Tolak Praperadilan, Ganti Rugi & Rehabilitasi Gugur

article | Berita | 2025-09-18 17:15:49

Landak, Kalimantan Barat – Pengadilan Negeri (PN) Ngabang menolak permohonan praperadilan ganti kerugian dan rehabilitasi yang diajukan oleh Octapius Jujun, mantan Kepala UPTD Meteorologi Legal Kabupaten Landak pada Kamis (18/9/2025). Putusan dibacakan oleh Hakim Tunggal Rio Rinaldi Silalahi di ruang sidang PN Ngabang.“Menolak permohonan Praperadilan Pemohon untuk seluruhnya”, demikian bunyi amar putusan praperadilan tersebut.Permohonan ini merupakan kali kedua diajukan oleh Pemohon. Sebelumnya, Pemohon telah memenangkan permohonan praperadilan pertamanya terkait sah atau tidaknya penetapan tersangka yang telah diputus pada hari Senin (01/07/2025).“Mengabulkan permohonan Praperadilan Pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan tindakan Termohon yang menetapkan dan memutuskan Pemohon sebagai tersangka atas dugaan Tindak Pidana korupsi adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum. Menyatakan penahanan tersangka batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat”, bunyi amar putusan praperadilan pertama Pemohon.Setelah putusan praperadilan yang menyatakan penetapan tersangka dan penahanan Pemohon tidak sah, penyidik Kejaksaan Negeri Landak menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) yang baru pada Selasa tanggal 2 Juli 2025. Pemohon menganggap sprindik tersebut tidak sah, karena Penyidik Kejaksaan Negeri Landak seharusnya menjalankan seluruh amar putusan praperadilan yang pertama terlebih dahulu.“Permohonan kali ini bukan sekadar soal ganti rugi, melainkan juga menuntut agar sprindik baru dinyatakan tidak sah karena Termohon belum melaksanakan putusan praperadilan yang lalu”, ungkap Chaerul Huda selaku ahli dalam persidangan.Dalam pertimbangannya, Hakim Tunggal menilai besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp500 ribu dan paling banyak Rp100 juta sedangkan Pemohon tidak mengalami luka berat atau cacat sehingga tidak bisa  melakukan pekerjaan atau kematian, sehingga menurut Hakim, besaran kerugian yang Pemohon mintakan sebesar Rp200 juta tidak berdasarkan hukum.“Menimbang bahwa dalam hukum pidana, ganti rugi hanya untuk kerugiaan materil atau nyata serta biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut, sehingga Ganti Kerugian Pemohon terkait dengan kerugian Immateril tidak beralasan Hukum”, tegas Rio Rinaldi membacakan isi putusan.Hakim menegaskan Sprindik hanya bersifat administratif sebagai dasar penyidik melakukan penyidikan, sehingga belum menimbulkan akibat hukum terhadap penetapan tersangka. Dalam perkara ini, belum ada penetapan tersangka berdasarkan Sprindik terbaru Nomor PRINT-1/O.1.19/Fd.2/07/2025. Kondisi ini berbeda dengan Sprindik sebelumnya Nomor PRINT-3/O.1.19/Fd.2/08/2024 yang telah dibatalkan melalui Putusan Praperadilan Nomor 1/Pid.Prap/2025/PN Nba.“Bahwa pembatalan Surat Perintah Penyidikan yang baru hanya dapat dibatalkan apabila sudah ada penetapan Tersangka dimana penetapan tersebut dibatalkan, sehingga Objek Praperadilannya adalah Penetapan Tersangka, bukan Sprindik”, tegas Rio Rinaldi.Sidang berlangsung tertib dan dihadiri kedua belah pihak. Sesuai hukum acara yang berlaku, putusan praperadilan bersifat final dan tidak dapat diajukan upaya hukum lebih lanjut. Dengan putusan ini, Pemohon tidak berhak mendapat Ganti kerugian dan rehabilitasi, serta proses penyidikan terhadap Pemohon tetap berlanjut. (Bintoro Wisnu Prasojo/Gillang Pamungkas/Intan Hendrawati/al)

PN Luwuk Sulteng: Praperadilan Ditolak, Proses Hukum Lanjut!

article | Berita | 2025-09-18 14:25:20

Luwuk - Pengadilan Negeri (PN) Luwuk, Sulawesi Tengah, memutus perkara praperadilan dalam perkara nomor 2/Pid.Pra/2025/PN Lwk. Perkara ini berawal adanya laporan polisi terkait dengan adanya aksi penutupan jalan di lokasi pertambangan yang dikelola oleh perusahaan swasta, penutupan jalan yang dilakukan oleh pemohon praperadilan yaitu Hasrin Rahim yang dilakukan bersama dengan masyarakat Desa Siuna.“Menyatakan permohonan praperadilan Pemohon ditolak seluruhnya”, ucap Ade Kurniawan Putra,S.H., Hakim pada persidangan yang digelar pada hari Kamis (17/09/2025) di Ruang Sidang Utama PN Luwuk, Jalan Jend. Ahmad Yani, Luwuk. Dalam pertimbangannya Hakim berpendapat tahapan yang dilakukan oleh termohon sudah memenuhi prosedur yang ditentukan dimana dalam pertimbangannya berdasarkan ketentuan pasal 102 ayat (1) Kuhap wajib melakukan penyelidikan terhadap adanya laporan masyarakat terhadap dugaan terjadinya tindak pidana. “Dalam tahapan penyidikan yang dilakukan oleh termohon praperadilan, penyidikan telah berjalan sesuai dengan tahapan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, dimana termohon praperadilan telah melakukan penyidikan terhadap saksi-saksi, pengecekan titik kordinat lokasi penutupan jalan serta pemeriksaan saksi ahli serta telah melakukan gelar perkara sebelum menetapkan pemohon praperadilan sebagai tersangka”, ujar Hakim dalam putusannya.Dalam pertimbangannya, Hakim Ade Kurniawan Putra,S.H., sebagai Hakim yang menangani pra peradilan yang diajukan olehpPemohon pada perkara Nomor 25/Pra Pid/2025/PN Mks, mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, dan pasal Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengenai alat bukti yang sah.Fakta-fakta persidangan terungkap bahwa tindakan termohon dalam melakukan penetapan tersangka sudah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dengan adanya dua alat bukti yang sah berupa keterangan saksi, bukti surat yang berupa berita acara pengecekan titik koordinat dan didukung laporan hasil gelar perkara yang dikeluarkan oleh termohon, sehingga cukup beralasan bagi Hakim praperadilan untuk menolak praperadilan yang diajukan oleh pemohon. (al/ldr)

Pemerintah Tegaskan Batasan Praperadilan dan Peran Sentral Hakim dalam RKUHAP

article | Berita | 2025-09-18 13:40:21

Jakarta – Pemerintah kembali tekankan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan diberlakukan tahun 2026 akan berorientasi pada due process of law, khususnya terkait upaya praperadilan. Dalam hal ini, Eddy Hiariej, Wakil Menteri Hukum dalam paparannya pada peluncuran buku “Studi Pembaharuan KUHAP: Hal-Hal Mendasar”, Senin (15/09/2025), menyatakan bahwa filosofi dari hukum acara pidana adalah bukan untuk memproses pelaku kejahatan, melainkan untuk mengawasi dan mencegah kesewenang-wenangan negara terhadap individu.“Dalam rancangan KUHAP, pemerintah memastikan seluruh kewenangan (aparat penegak hukum) polisi, jaksa dan hakim harus diatur secara ketat sehingga tidak pelanggaran kewenangan dalam pelaksanaan tugas,” jelas Eddy Hiariej.Selain itu, Eddy menekankan bahwa terdapat penambahan bentuk upaya paksa yang akan diatur di dalam rancangan KUHAP mendatang.“Setiap tindakan aparat penegak hukum terkait pelaksanaan upaya paksa, di mana pada KUHAP yang lama terdapat 5 jenis upaya paksa, kini bertambah menjadi 9 jenis upaya paksa, antara lain: pencekalan, pemblokiran, penetapan tersangka dan penetapan,” tambahnya.Secara prinsip, pemerintah mengatur agar seluruh tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum harus mendapatkan izin dari ketua pengadilan negeri. Hal ini merupakan upaya preventif agar kewenangan yang dimiliki oleh aparat penegak hukum tidak disalahgunakan.Kemudian, kata Eddy, dalam hal-hal tertentu upaya paksa dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari ketua pengadilan negeri. Tetapi ada kewajiban bagi aparat penegak hukum agar dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari sejak upaya hukum tersebut dilakukan harus meminta persetujuan dari ketua pengadilan negeri.Selain itu, dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari sejak menerima surat permintaan persetujuan upaya paksa dari aparat penegak hukum, ketua pengadilan negeri harus mengeluarkan penetapan apakah upaya hukum tersebut sah atau tidak dilakukan.Dalam hal pengadilan negeri menetapkan bahwa upaya paksa yang dilakukan tersebut tidak sah, maka terhadap upaya paksa tersebut harus dihentikan seketika itu juga.Walaupun seluruh upaya paksa harus memperoleh persetujuan dari ketua pengadilan negeri, pemerintah tidak menutup pintu upaya praperadilan tetap terjadi.“Misalnya, terkait (upaya paksa) penyitaan di mana aparat penegak hukum mengajukan surat persetujuan penyitaan kepada ketua pengadilan negeri dan izin tersebut kemudian diberikan oleh ketua pengadilan negeri. Sangat mungkin, barang-barang yang disita tersebut tidak memiliki keterkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan. Hal ini memberikan kesempatan untuk diajukannya praperadilan ke pengadilan,” ungkap Eddy Hiariej.Dalam diskusi tersebut, Eddy juga menyampaikan keseimbangan peran penting aparat penegak hukum dan advokat dalam menjamin perlindungan hak asasi manusia melalui upaya praperadilan. (SNR/WI)

PN Sukadana Kedua Kalinya Putus Gugur Praperadilan M. Umar

article | Berita | 2025-06-04 18:00:59

Sukadana, Lampung Timur - Pengadilan Negeri (PN) Sukadana menetapkan gugur permohonan praperadilan Nomor 2/Pid.Pra/2025/PN Sdn atas nama Pemohon M. Umar.“Menyatakan permohonan praperadilan Pemohon gugur. Membebankan biaya perkara kepada Pemohon sebesar Nihil,” bunyi amar putusan yang dibacakan pada persidangan yang terbuka untuk umum, Rabu 4/6/2025.Berdasarkan rilis yang diterima Tim DANDAPALA Rabu 4/6, Permohonan praperadilan tersebut didaftarkan di Pengadilan Negeri Sukadana pada tanggal 28 April 2025. Adapun alasan Hakim menyatakan perkara tersebut gugut karena perkara pokok atas nama Pemohon telah dilimpahkan berdasarkan Surat Pelimpahan Perkara dari Penuntut Umum Nomor: B-63/L.8.16/Enz.2/02/2025 tanggal 28 Februari 2025 atas perkara Muhammad Umar Bin Abu Tholib dan diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sukadana pada hari Senin tanggal 3 Maret 2025 dan telah diregister dengan Nomor 54/Pid.Sus/2025/PN Sdn.“Pokok perkara tersebut telah mulai disidangkan sejak Senin, tanggal 10 Maret 2025. Saat ini perkara pokok praperadilan tersebut telah memasuki persidangan ke 11, dengan sidang terakhir pada Selasa 3 Juni 2025,” lanjut rilis tersebut.Adapun pertimbangan Hakim dalam perkara tersebut dilandaskan kepada ketentuan Pasal 82 ayat 1 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015.Lebih lanjut dalam rilis tersebut, dikutipnya Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menyebutkan dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedang pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur. Lalu dalam. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015, frasa “suatu perkara sudah mulai diperiksa“ dimaknai “permintaan praperadilan gugur, ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama Terdakwa/Pemohon praperadilan.Pemohon dalam perkara a quo sebelumnya juga telah mengajukan praperadilan di PN Sukadana pada tanggal 17 Februari 2025, dan diregister dalam Nomor 1/Pid.Pra/2025/PN Sdn atas nama Pemohon M. Umar.“Permohonan praperadilan Nomor 1/Pid.Pra/2025/PN Sdn tersebut juga telah ditetapkan gugur oleh PN Sukadana dengan pertimbangan perkara pokok praperadilan atas nama M. Umar telah dilimpahkan berdasarkan Surat Pelimpahan Perkara dari Penuntut Umum Nomor: B-63/L.8.16/Enz.2/02/2025 tanggal 28 Februari 2025 atas perkara Muhammad Umar Bin Abu Tholib dan diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sukadana pada hari Senin tanggal 3 Maret 2025 dan telah diberikan nomor register 54/Pid.Sus/2025/PN Sdn serta telah disidangkan pada hari Senin tanggal 10 Maret 2025 dalam sidang yang terbuka untuk umum dan telah dibacakan pula dakwaan Penuntut Umum, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, tutup rilis tersebut. fac/ldr