Cari Berita

Mampukah KUHAP Baru Memperkuat Konsep Ganti Kerugian?

Galih Erlangga-Hakim Pengadilan Negeri Metro - Dandapala Contributor 2025-11-10 16:05:20
Dok. Penulis.

Komisi III DPR RI saat ini tengah mempercepat pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai salah satu langkah untuk dapat mengakomodir kebutuhan-kebutuhan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada tahun 2026.

Mengutip dari berita hukumonline, sedikitnya ada 10 norma yang ingin diperkuat dalam RUU KUHAP. 

Pertama, penguatan hak tersangka, terdakwa dan terpidana. 

Baca Juga: Punitive Restitution, Paradigma Baru Pemidanaan dalam KUHP Nasional

Kedua, penguatan hak saksi, korban, perempuan, dan disabilitas. 

Ketiga, memperjelas pengaturan upaya paksa dengan menambah penetapan tersangka, pemblokiran, dan pengaturan mekanisme izin pada upaya paksa.

Keempat, penguatan mekanisme dan memperluas substansi pra peradilan dengan penetapan tersangka, dan pemblokiran.

Kelima, pengaturan mekanisme keadilan restoratif. 

Keenam, ganti kerugian, rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi.

Ketujuh, penguatan peran advokat.

Kedelapan, pengaturan saksi mahkota.

Kesembilan, pengaturan pidana korporasi.

Kesepuluhpengaturan sistem informasi pidana terpadu berbasis teknologi informasi. Berdasarkan poin-poin penguatan tersebut, ternyata konsep ganti kerugian, rehabilitasi, restitusi, serta kompensasi menjadi salah satu poin yang ingin disempurnakan dan dikuatkan oleh para pemangku kebijakan melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut.

Namun demikian, untuk dapat menyempurnakan dan menguatkan konsep ganti kerugian, rehabilitasi, restitusi, serta kompensasi, setidak-tidaknya para pemangku kebijakan juga harus mampu memahami terlebih dahulu bagaimana implementasi konsep tersebut dalam hukum acara pidana yang berjalan selama ini, serta permasalahan-permasalahan apa yang timbul dari pelaksanaannya selama ini, sehingga ke depannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut mampu menjadi “jembatan penyempurna” dalam mengimplementasikan ganti kerugian, rehabilitasi, restitusi, serta kompensasi. Setiap pemangku kebijakan dan aparat penegak hukum juga harus mampu menjelaskan perbedaan mendasar dari setiap konsep tersebut, baik itu ganti kerugian, rehabilitasi, restitusi, serta kompensasi.

Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Selama ini, konsep ganti kerugian hanya diatur dalam Pasal 95 dan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan Pasal 95 ayat (2) Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.

Bahwa dari Pasal 95 ayat (2) tersebut, kita dapat mengetahui jika “tuntutan ganti kerugian” yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, maka diputus dalam sidang praperadilan, sedangkan untuk “tuntutan ganti kerugian” yang perkaranya diajukan ke pengadilan negeri, Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana belum mengaturnya.

Ada beberapa pihak yang berpandangan jika “tuntutan ganti kerugian” yang perkaranya diajukan ke pengadilan negeri, maka dapat diajukan melalui mekanisme gugatan, karena Pasal 98 Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana secara implisit mengakui adanya “tuntutan ganti kerugian” melalui mekanisme gugatan, maka dari itu Pasal 98 tersebut mengakomodir jika “tuntutan ganti kerugian” tersebut ingin digabungkan dengan perkara pidananya.

Namun dalam praktiknya, masih banyak ketidaksepahaman di antara para praktisi hukum, yang akhirnya justru menimbulkan kerancuan dalam mengimplementasikan konsep ganti kerugian tersebut. Terlepas dari perbedaan pendapat yang terjadi saat ini, maka alangkah lebih baiknya jika Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) nantinya mampu menghadirkan konsep hukum acara tersendiri bagi permohonan ganti kerugian dalam hukum acara pidana, yang seharusnya berbeda dari hukum acara praperadilan ataupun mekanisme gugatan perdata itu sendiri, karena jika mengacu pada hukum acara praperadilan, maka nantinya Hakim hanya akan bersifat aktif terbatas, yaitu hakim hanya boleh memutuskan apa yang dituntut saja dan tidak boleh memutuskan lebih dari yang dituntut, meskipun hal yang tidak dituntut itu sifatnya sangat berguna bagi pihak yang berperkara (D.Y. Witanto, 2019).

Selain itu, Pasal 96 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan jika putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan, ternyata juga menimbulkan multitafsir karena tidak sejalan dengan Pasal 95 tersebut, apakah berbentuk penetapan sebagaimana Pasal 96 atau berbentuk Putusan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 95 ayat (2).

Permasalahan mendasar lainnya yang sering terjadi justru ketika para pemangku kebijakan malah menyamaratakan antara ganti kerugian, rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi.

Ganti kerugian dan restitusi jelas merupakan konsep yang sangat berbeda. Konsep restitusi lahir dari perkembangan sistem peradilan pidana yang tidak hanya berorientasi kepada kepentingan pelaku, tetapi juga berorientasi kepada perlindungan korban, sehingga setiap korban tindak pidana tertentu selain mendapatkan hak atas perlindungan, juga berhak atas restitusi atau kompensasi.

Hal tersebut menunjukan jika ganti kerugian atau rehabilitasi merupakan sarana untuk melindungi hak-hak tersangka, terdakwa, atau terpidana, sedangkan restitusi atau kompensasi merupakan sarana untuk memulihkan keadaan korban tindak pidana. Restitusi dan kompensasi diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana.

Meskipun saat ini, Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha mengakomodasi mengenai restitusi dan kompensasi dalam rangka menguatkan prinsip-prinsip keadilan restoratif, namun alangkah lebih jelasnya jika nantinya konsep restitusi dan kompensasi mampu diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dengan demikian, meskipun ganti kerugian, rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi memiliki konsep masing-masing yang berbeda, namun harapannya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru nantinya dapat mengatur secara baik dan terperinci mengenai konsep ganti kerugian, rehabilitasi, restitusi, serta kompensasi tersebut, sehingga terjadi kesepahaman diantara para praktisi hukum mengenai konsep ganti kerugian dalam hukum acara pidana serta mampu membedakan secara mendasar antara ganti kerugian, rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi, yang pada akhirnya akan berdampak pada implementasi sistem peradilan pidana di Indonesia. (ldr)


Baca Juga: Revisi KUHAP: Memperkuat Due Proces of Law

Tulisan ini pendapat pribadi penulis yang tidak mewakili pendapat lembaga. 


Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…