Komisi
III DPR RI saat ini tengah mempercepat pembahasan
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai salah satu
langkah untuk dapat mengakomodir kebutuhan-kebutuhan setelah berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada tahun
2026.
Mengutip dari berita hukumonline, sedikitnya
ada 10 norma yang ingin diperkuat dalam RUU KUHAP.
Pertama,
penguatan hak tersangka, terdakwa dan terpidana.
Baca Juga: Punitive Restitution, Paradigma Baru Pemidanaan dalam KUHP Nasional
Kedua,
penguatan hak saksi, korban, perempuan, dan disabilitas.
Ketiga,
memperjelas pengaturan upaya paksa dengan menambah penetapan tersangka,
pemblokiran, dan pengaturan mekanisme izin pada upaya paksa.
Keempat, penguatan
mekanisme dan memperluas substansi pra peradilan dengan penetapan tersangka,
dan pemblokiran.
Kelima,
pengaturan mekanisme keadilan restoratif.
Keenam, ganti
kerugian, rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi.
Ketujuh,
penguatan peran advokat.
Kedelapan,
pengaturan saksi mahkota.
Kesembilan,
pengaturan pidana korporasi.
Kesepuluh, pengaturan
sistem informasi pidana terpadu berbasis teknologi informasi. Berdasarkan
poin-poin penguatan tersebut, ternyata konsep ganti kerugian, rehabilitasi,
restitusi, serta kompensasi menjadi salah satu poin yang ingin disempurnakan dan
dikuatkan oleh para pemangku kebijakan melalui Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut.
Namun demikian, untuk dapat menyempurnakan
dan menguatkan konsep ganti kerugian, rehabilitasi, restitusi, serta
kompensasi, setidak-tidaknya para pemangku kebijakan juga harus mampu memahami
terlebih dahulu bagaimana implementasi konsep tersebut dalam hukum acara pidana
yang berjalan selama ini, serta permasalahan-permasalahan apa yang timbul dari
pelaksanaannya selama ini, sehingga ke depannya Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut mampu menjadi “jembatan penyempurna” dalam
mengimplementasikan ganti kerugian, rehabilitasi, restitusi, serta kompensasi. Setiap
pemangku kebijakan dan aparat penegak hukum juga harus mampu menjelaskan
perbedaan mendasar dari setiap konsep tersebut, baik itu ganti kerugian,
rehabilitasi, restitusi, serta kompensasi.
Ganti kerugian adalah
hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan
sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Selama ini, konsep
ganti kerugian hanya diatur dalam Pasal 95 dan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan Pasal 95 ayat (2) Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, tuntutan ganti kerugian oleh
tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan
lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang
praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
Bahwa dari Pasal 95
ayat (2) tersebut, kita dapat mengetahui jika “tuntutan ganti kerugian” yang
perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, maka diputus dalam sidang
praperadilan, sedangkan untuk “tuntutan ganti kerugian” yang perkaranya
diajukan ke pengadilan negeri, Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana belum mengaturnya.
Ada beberapa pihak yang
berpandangan jika “tuntutan ganti kerugian” yang perkaranya diajukan ke
pengadilan negeri, maka dapat diajukan melalui mekanisme gugatan, karena Pasal
98 Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana secara implisit mengakui
adanya “tuntutan ganti kerugian” melalui mekanisme gugatan, maka dari itu Pasal
98 tersebut mengakomodir jika “tuntutan ganti kerugian” tersebut ingin
digabungkan dengan perkara pidananya.
Namun dalam praktiknya,
masih banyak ketidaksepahaman di antara para praktisi hukum, yang akhirnya justru
menimbulkan kerancuan dalam mengimplementasikan konsep ganti kerugian tersebut.
Terlepas dari perbedaan pendapat yang terjadi saat ini, maka alangkah lebih
baiknya jika Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) nantinya mampu
menghadirkan konsep hukum acara tersendiri bagi permohonan ganti kerugian dalam
hukum acara pidana, yang seharusnya berbeda dari hukum acara praperadilan
ataupun mekanisme gugatan perdata itu sendiri, karena jika mengacu pada hukum
acara praperadilan, maka nantinya Hakim hanya akan bersifat aktif terbatas, yaitu
hakim hanya boleh memutuskan apa yang dituntut saja dan tidak boleh memutuskan
lebih dari yang dituntut, meskipun hal yang tidak dituntut itu sifatnya sangat
berguna bagi pihak yang berperkara (D.Y. Witanto, 2019).
Selain itu, Pasal 96
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan
jika putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan, ternyata juga
menimbulkan multitafsir karena tidak sejalan dengan Pasal 95 tersebut, apakah
berbentuk penetapan sebagaimana Pasal 96 atau berbentuk Putusan sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 95 ayat (2).
Permasalahan mendasar
lainnya yang sering terjadi justru ketika para pemangku kebijakan malah menyamaratakan
antara ganti kerugian, rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi.
Ganti kerugian dan
restitusi jelas merupakan konsep yang sangat berbeda. Konsep restitusi lahir
dari perkembangan sistem peradilan pidana yang tidak hanya berorientasi kepada
kepentingan pelaku, tetapi juga berorientasi kepada perlindungan korban,
sehingga setiap korban tindak pidana tertentu selain mendapatkan hak atas
perlindungan, juga berhak atas restitusi atau kompensasi.
Hal tersebut menunjukan
jika ganti kerugian atau rehabilitasi merupakan sarana untuk melindungi hak-hak
tersangka, terdakwa, atau terpidana, sedangkan restitusi atau kompensasi
merupakan sarana untuk memulihkan keadaan korban tindak pidana. Restitusi dan
kompensasi diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi
dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana.
Meskipun saat ini, Mahkamah
Agung Republik Indonesia berusaha mengakomodasi mengenai restitusi dan
kompensasi dalam rangka menguatkan prinsip-prinsip keadilan restoratif, namun
alangkah lebih jelasnya jika nantinya konsep restitusi dan kompensasi mampu
diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dengan demikian, meskipun ganti kerugian, rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi memiliki konsep masing-masing yang berbeda, namun harapannya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru nantinya dapat mengatur secara baik dan terperinci mengenai konsep ganti kerugian, rehabilitasi, restitusi, serta kompensasi tersebut, sehingga terjadi kesepahaman diantara para praktisi hukum mengenai konsep ganti kerugian dalam hukum acara pidana serta mampu membedakan secara mendasar antara ganti kerugian, rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi, yang pada akhirnya akan berdampak pada implementasi sistem peradilan pidana di Indonesia. (ldr)
Baca Juga: Revisi KUHAP: Memperkuat Due Proces of Law
Tulisan ini pendapat pribadi penulis yang tidak mewakili pendapat lembaga.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI