Cari Berita

Karyawati PN Makassar Gelar Rapat Khusus, Bahas Apa?

article | Berita | 2025-07-04 10:15:07

Makassar- Pertama kalinya PN Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) mengadakan rapat yang dikhususkan kepada wanita peradilan. Rapat ini bertujuan untuk mengoptimalisasi peran serta Hakim Karir, Hakim Ad Hoc wanita serta seluruh karyawati dalam kegiatan pemberdayaan Perempuan di lingkungan Pengadilan Negeri Makassar. Rapat itu digelar pada hari Kamis tanggal 3 Juli 2025.  Rapat itu merupakan tindak lanjut dari Surat Edaran Pengurus Pusat Dharmayukti Karini Nomor : 05/SE/PP.Dyk/2025. Ketua PN Makassar Dr. I Wayan Gede Rumega, S.H., M.H. menghimbau dan mengingatkan para Hakim Karir dan Hakim Adhoc wanita serta Karyawati untuk Kembali berperan aktif dalam segala kegiatan Dharmayukti Karini untuk tetap menjaga kebersamaan dan kekompokan dalam lingkup Peradilan. Para Karyawati sangat antusias dengan adanya rapat ini karena sebagai bentuk perhatian pimpinan bagi wanita karir di PN Makassar. Kegiatan ini dihadiri pula Wakil Ketua PN Makassar, Panitera, dan Sekretaris.Sekitar 55 yang terdiri 13 Hakim wanita dan 42 karyawati PN Makassar yang hadir dalam rapat tersebut dihimbau juga untuk tetap menjaga integritas dan keseimbangan antara pekerjaan dengan ruang lingkup pribadi serta keluarganya.

Perempuan di Balik Palu: Perjuangan Hakim Perempuan dalam Dunia Patriarki

article | Opini | 2025-06-25 15:30:08

Lembaga Peradilan secara global didominasi oleh laki-laki, khususnya dalam posisi-posisi strategis seperti Hakim. Berdasarkan data statistik dari Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2024, secara kuantitas Hakim Perempuan berjumlah 2.230 orang dari total 7.689 orang Hakim di seluruh Indonesia, dimana kondisi ini tidak terlepas dari budaya hukum yang hierarkis dan kompetitif, sifat-sifat yang dianggap maskulin, seperti agresivitas, ketegasan, dan daya saing dijadikan standar profesionalisme sedangkan atribut feminin seperti empati, kolaborasi, atau kepekaan terhadap kerentanan. Hal ini justru sering dianggap sebagai penghambat karier, oleh karenanya mengakibatkan perempuan yang berkarier di bidang hukum kerap menghadapi dilema karena harus menyesuaikan diri dengan norma maskulin untuk dianggap kompeten atau mempertahankan identitas gender mereka dengan risiko termarginalisasi. Fenomena terhadap paradoks “maskulinitas” di mana laki-laki dihargai karena menunjukkan sifat kepemimpinan, sementara perempuan yang melakukan hal serupa dianggap melanggar kodrat gender sehingga dalam hal ini bagaimana hukum pidana khususnya dalam kasus kekerasan seksual sering kali dibingkai melalui lensa maskulin, seperti penekanan pada "bukti fisik" dan "resistensi aktif" korban, alih-alih memahami trauma dan ketidaksetaraan struktural yang melatarbelakangi kekerasan gender. Dalam hukum modern sebagai produk sejarah patriarki cenderung mengabaikan pengalaman hidup perempuan dengan mengabsahkan standar objektivitas yang sebenarnya bias gender sehingga masih saja ditemukan dalam proses persidangan bahwa Hakim kerap menggunakan narasi yang meragukan kredibilitas korban, seperti pertanyaan tentang pakaian atau riwayat hubungan dengan pelaku, yang secara tidak langsung mengukuhkan stigma bahwa perempuan harus bertanggung jawab atas kekerasan yang mereka alami. Maskulinitas dalam Lembaga Peradilan merupakan sebuah fenomena yang telah lama menjadi subjek kajian dalam studi gender dan hukum. Lembaga Peradilan sebagai salah satu pilar utama dalam sistem hukum sering kali mencerminkan dan memperkuat norma-norma gender yang dominan dalam masyarakat, termasuk konsep maskulinitas yang tradisional. Maskulinitas dalam konteks ini tidak hanya mengacu pada dominasi numerik laki-laki dalam profesi sebagai Hakim tetapi juga pada bagaimana nilai-nilai dan karakteristik yang dianggap maskulin, seperti rasionalitas, objektivitas, dan ketegasan dihargai dan diutamakan dalam praktik Peradilan. Dengan tujuan terciptanya lingkungan yang tidak hanya menguntungkan laki-laki, tetapi juga dapat merugikan perempuan dan individu yang tidak memenuhi standar maskulin yang dominan.  Konsep maskulinitas dalam Lembaga Peradilan juga mempengaruhi dinamika kekuasaan dan hierarki dalam sistem hukum. Laki-laki yang sering kali mendominasi posisi-posisi kunci seperti Hakim yang cenderung mempertahankan dan mereproduksi struktur kekuasaan yang ada dapat menghambat kemajuan perempuan dan kelompok minoritas gender lainnya dalam profesi sebagai Hakim. Maskulinitas dalam Lembaga Peradilan dapat mempengaruhi cara hukum ditafsirkan dan diterapkan dikarenakan nilai maskulin yang dominan, seperti kompetisi dan individualisme sehingga meremehkan nilai-nilai yang dianggap lebih feminin, seperti kolaborasi dan empati, yang juga penting dalam mencapai keadilan yang sebenarnya. Oleh karena, itu penting untuk mengkaji dan menantang norma-norma maskulin yang dominan dalam Lembaga Peradilan namun untuk mempromosikan pendekatan yang lebih inklusif dan seimbang yang mengakui serta menghargai keragaman sehingga upaya untuk mengatasi dampak negatif dari maskulinitas dalam Lembaga Peradilan memerlukan pendekatan yang komprehensif dan multidimensi dengan meningkatkan representasi perempuan dan kelompok minoritas gender dalam posisi-posisi kunci, serta mengembangkan program pendidikan dan pelatihan yang mengintegrasikan perspektif gender dalam praktik hukum. Persepsi publik terhadap Hakim Perempuan sangat dipengaruhi oleh stereotip gender yang melekat dalam budaya patriarki Indonesia yang cenderung menempatkan Perempuan dalam peran domestik dan meragukan kemampuan mereka untuk menjalankan tugas-tugas berat dan penuh tekanan di dunia hukum. Stereotip ini tidak hanya membatasi peluang Perempuan dalam meniti karier di Lembaga Peradilan, tetapi juga menimbulkan bias dalam penilaian masyarakat terhadap putusan yang dihasilkan oleh Hakim Perempuan yang terkadang dianggap kurang tegas atau terlalu emosional, padahal berbagai penelitian menunjukkan masih ditemukan minimnya dukungan yang tidak memadai dari Lembaga Peradilan dalam hal pengembangan karir dan mentoring bagi Hakim Perempuan sehingga masih banyak Hakim Perempuan yang menghadapi kesulitan dalam mengakses Program Pelatihan dan Pengembangan ketrampilan yang diperlukan untuk meningkatkan kompetensi dan kemampuan mereka yang cenderung lebih sensitif terhadap isu-isu yang berkaitan dengan gender dan Hak Asasi Manusia. Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap Perempuan masih sangat tinggi dan budaya yang menormalisasi kekerasan serta menyalahkan korban menjadi penghalang utama bagi Perempuan untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan, selain itu juga minimnya keterlibatan Hakim Perempuan dalam proses pengambilan keputusan strategis di Lembaga Peradilan berdampak pada kurangnya perspektif gender dalam kebijakan dan Putusan Pengadilan, sehingga keadilan substansif bagi Perempuan sering kali terabaikan, padahal Hakim Perempuan justru memiliki kepekaan yang lebih tinggi terhadap konteks sosial dan keadilan substantif, khususnya dalam perkara yang melibatkan isu-isu gender dan perlindungan hukum terhadap korban. Kontribusi Hakim Perempuan terhadap perubahan paradigma Peradilan merupakan fenomena transformatif untuk memperkaya keragaman perspektif dalam sistem hukum dan mendorong pergeseran mendasar dari pendekatan Peradilan yang tradisional, formalistik, dan sering kali berorientasi pada preseden hukum yang kaku menuju paradigma yang lebih inklusif, kontekstual, dan responsif terhadap dinamika sosial, khususnya dalam hal isu-isu keadilan yang berkaitan dengan gender, ketimpangan sosial, dan perlindungan hak-hak kelompok rentan seperti Perempuan, anak, kelompok minoritas etnis, masyarakat adat, atau individu dengan identitas gender non-biner yang secara historis terpinggirkan dalam struktur kekuasaan yang didominasi norma-norma patriarki dan perspektif maskulin. Layaknya kehadiran Hakim Perempuan dalam institusi Peradilan, baik di Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Tingkat Banding, maupun Mahkamah Agung telah membawa perubahan signifikan dalam cara hukum ditafsirkan, diterapkan, dan diartikulasikan terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan kekerasan berbasis gender, diskriminasi di tempat kerja, hak asuh anak, pembagian harta dalam perceraian, atau perlindungan terhadap eksploitasi anak, di mana pengalaman hidup dan sensitivitas gender mereka memungkinkan pendekatan yang lebih empati dan interseksional, yang mempertimbangkan perpaduan kompleks antara faktor gender, ras, kelas sosial, usia, orientasi seksual, dan konteks budaya yang membentuk pengalaman individu dalam sistem hukum di Indonesia. Pentingnya program mentorship dan solidaritas Perempuan tidak hanya bermanfaat bagi individu yang terlibat, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan sehingga ketika Perempuan dalam dunia hukum mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan untuk berhasil maka mereka dapat berkontribusi pada terciptanya sistem hukum yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan semua anggota masyarakat. Dengan demikian, investasi dalam program mentorship dan penguatan solidaritas Perempuan dalam dunia hukum bukan hanya merupakan langkah strategis untuk meningkatkan representasi untuk mencapai tujuan ini, penting bagi Lembaga-Lembaga hukum, organisasi profesi, dan masyarakat secara keseluruhan untuk berkomitmen dalam menciptakan lingkungan yang mendukung bagi Perempuan dalam dunia hukum termasuk menyediakan sumber daya yang diperlukan sehingga dengan program mentorship dapat menciptakan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender, dan mempromosikan budaya yang menghargai kontribusi Perempuan dalam profesi sebagai Hakim dan diharapkan Perempuan dapat berkontribusi secara maksimal dalam menciptakan keadilan yang hidup dan berkelanjutan, serta memastikan bahwa generasi mendatang memiliki akses yang lebih baik dan kesempatan yang lebih luas untuk berkarir di bidang hukum dan melalui kolaborasi dan dukungan yang saling menguntungkan, Perempuan dalam dunia hukum tidak hanya dapat mengatasi tantangan yang ada, tetapi juga dapat berperan aktif dalam membentuk masa depan sistem hukum yang lebih baik sehingga keadilan menjadi kenyataan yang dapat dirasakan oleh semua orang, tanpa memandang gender, latar belakang, atau status sosial. (YPY/LDR)

Antara Sarinah, Hakim Perempuan dan Istri Hakim

article | Opini | 2025-03-27 09:05:19

Bung Karno dalam bukunya Sarinah menegaskan bahwa perempuan memiliki peran fundamental dalam membangun bangsa. Pemikiran ini tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dari pengalaman pribadinya bersama sosok Sarinah, seorang perempuan sederhana yang menjadi pengasuhnya di masa kecil. Sarinah bukan hanya merawat Bung Karno, tetapi juga menanamkan kesadaran sosial dalam dirinya. Dari Sarinah, Bung Karno belajar tentang penderitaan rakyat kecil, ketidakadilan sosial, dan betapa beratnya perjuangan perempuan dalam menghadapi kemiskinan dan diskriminasi.  Pelajaran dari Sarinah inilah yang kemudian mengilhami Bung Karno untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Dalam Sarinah, ia menegaskan bahwa perempuan harus diberikan kesempatan yang sama dalam berbagai bidang, termasuk dalam sistem hukum. Perempuan bukan hanya pelengkap laki-laki, tetapi memiliki kapasitas dan ketangguhan untuk menjadi pemimpin, termasuk dalam bidang peradilan. Prinsip ini sejalan dengan amanat Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.Ratifikasi CEDAW mewajibkan negara untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, termasuk dalam sistem peradilan. Ini berarti bahwa negara harus memastikan hakim perempuan memiliki akses yang sama dalam promosi jabatan, perlindungan dari diskriminasi, serta dukungan dalam menjalankan tugasnya. Sayangnya, dalam praktiknya, hakim perempuan masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk stereotip gender yang membatasi peran mereka. Padahal, kehadiran hakim perempuan berperan penting dalam mewujudkan keadilan yang lebih inklusif, terutama dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan perempuan dan anak. Oleh karena itu, implementasi prinsip kesetaraan perlu terus diperkuat agar perempuan dalam peradilan benar-benar mendapatkan hak yang dijamin oleh hukum.Di luar aspek formal profesi hukum, ada peran lain yang sering luput dari perhatian, yaitu istri hakim yang mendampingi suami bertugas di daerah terpencil. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa suami istri memiliki hak dan kedudukan yang seimbang dalam rumah tangga dan masyarakat. Namun, dalam kenyataannya, banyak istri hakim harus mengorbankan karier dan kehidupan sosial mereka ketika mengikuti suami bertugas di pelosok negeri. Mereka sering kali meninggalkan pekerjaan, pendidikan, dan lingkungan sosial yang telah mereka bangun, tanpa ada perlindungan atau kompensasi dari negara.  Istri hakim di daerah terpencil menghadapi tantangan besar, mulai dari keterbatasan akses terhadap pendidikan dan pekerjaan hingga keterpencilan dari jaringan sosial yang dapat mendukung perkembangan diri mereka. Sama seperti Sarinah yang dengan penuh ketulusan mendampingi Bung Karno dan menanamkan nilai-nilai perjuangan dalam dirinya, istri hakim juga berjuang dalam diam untuk memastikan suaminya dapat menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum dengan baik.  Namun, kontribusi ini tidak mendapatkan perhatian yang layak dalam sistem hukum kita. Negara belum memiliki kebijakan yang secara khusus memberikan dukungan bagi istri hakim di daerah terpencil. Padahal, jika merujuk pada prinsip keadilan sosial dalam Pancasila dan amanat CEDAW, negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa tidak ada diskriminasi terhadap perempuan, baik sebagai hakim maupun sebagai pendamping yang ikut berkorban dalam sistem peradilan.  Bentuk konkret perlindungan, dukungan, dan pengakuan bagi perempuan dalam sistem peradilan dapat diwujudkan melalui berbagai kebijakan. Untuk hakim perempuan, negara harus memastikan kesempatan yang sama dalam jenjang karier dan promosi jabatan, serta perlindungan dari diskriminasi berbasis gender. Regulasi harus diperkuat agar sistem peradilan lebih inklusif, termasuk dengan menyediakan fasilitas kerja yang ramah perempuan, seperti dipermudah dalam mendapatkan cuti melahirkan dan penitipan anak di lingkungan pengadilan, terutama bagi mereka yang bertugas di daerah terpencil.  Bagi istri hakim, negara harus memperhatikan kesejahteraan mereka dengan menyediakan akses pekerjaan di daerah penugasan suami, memberikan program pemberdayaan ekonomi, serta menjamin pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka. Salah satu organisasi istri hakim yang diikuti adalah Dharmayukti Karini juga perlu diperkuat dengan dukungan kebijakan agar lebih berperan dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga hakim di daerah terpencil. Selain itu, pemberian insentif tambahan bagi hakim yang bertugas di pelosok negeri juga perlu dipertimbangkan untuk memastikan kesejahteraan keluarga mereka.  Hari Perempuan Internasional menjadi momen yang tepat untuk menegaskan kembali pentingnya peran perempuan dalam hukum dan peradilan. Pemikiran Bung Karno dalam Sarinah harus menjadi inspirasi bagi negara untuk tidak hanya berbicara soal emansipasi dalam konteks formal, tetapi juga memberikan pengakuan nyata terhadap perjuangan perempuan dalam dunia hukum dan peradilan. Kesetaraan gender dalam hukum bukan hanya tentang membuka akses bagi perempuan untuk berkarier sebagai hakim, tetapi juga tentang memastikan bahwa setiap perempuan yang berkontribusi dalam sistem peradilan, termasuk istri hakim di pelosok negeri, mendapatkan perlindungan, dukungan, dan pengakuan yang layak. Implementasi kebijakan ini tidak hanya akan meningkatkan kesejahteraan perempuan dalam sistem peradilan, tetapi juga memperkuat profesionalisme dan integritas lembaga peradilan secara keseluruhan. Selamat Hari Perempuan Internasional! Jadilah pilar keadilan dan sumber inspirasi bagi dunia.Iqbal LazuardiHakim Pengadilan Negeri Pulau Punjung