article | Opini
| 2025-06-25 15:30:08
Lembaga Peradilan secara global
didominasi oleh laki-laki, khususnya dalam posisi-posisi strategis seperti Hakim. Berdasarkan
data statistik dari Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2024, secara
kuantitas Hakim Perempuan berjumlah 2.230 orang dari total 7.689 orang Hakim di
seluruh Indonesia, dimana kondisi ini tidak terlepas dari budaya hukum yang
hierarkis dan kompetitif, sifat-sifat yang dianggap maskulin, seperti
agresivitas, ketegasan, dan daya saing dijadikan standar profesionalisme
sedangkan atribut feminin seperti empati, kolaborasi, atau kepekaan terhadap
kerentanan. Hal ini justru sering dianggap sebagai penghambat karier, oleh karenanya mengakibatkan
perempuan yang berkarier di bidang hukum kerap menghadapi dilema karena harus
menyesuaikan diri dengan norma maskulin untuk dianggap kompeten atau
mempertahankan identitas gender mereka dengan risiko termarginalisasi.
Fenomena terhadap paradoks “maskulinitas” di mana
laki-laki dihargai karena menunjukkan sifat kepemimpinan, sementara perempuan
yang melakukan hal serupa dianggap melanggar kodrat gender sehingga dalam hal
ini bagaimana hukum pidana khususnya dalam kasus kekerasan seksual sering kali
dibingkai melalui lensa maskulin, seperti penekanan pada "bukti
fisik" dan "resistensi aktif" korban, alih-alih memahami trauma
dan ketidaksetaraan struktural yang melatarbelakangi kekerasan gender.
Dalam hukum modern sebagai produk sejarah patriarki
cenderung mengabaikan pengalaman hidup perempuan dengan mengabsahkan standar
objektivitas yang sebenarnya bias gender sehingga masih saja ditemukan dalam
proses persidangan bahwa Hakim kerap menggunakan narasi yang meragukan kredibilitas
korban, seperti pertanyaan tentang pakaian atau riwayat hubungan dengan pelaku,
yang secara tidak langsung mengukuhkan stigma bahwa perempuan harus bertanggung
jawab atas kekerasan yang mereka alami.
Maskulinitas dalam Lembaga Peradilan merupakan
sebuah fenomena yang telah lama menjadi subjek kajian dalam studi gender dan
hukum. Lembaga Peradilan sebagai salah satu pilar utama dalam sistem hukum
sering kali mencerminkan dan memperkuat norma-norma gender yang dominan dalam masyarakat,
termasuk konsep maskulinitas yang tradisional.
Maskulinitas dalam konteks ini tidak hanya mengacu
pada dominasi numerik laki-laki dalam profesi sebagai Hakim tetapi juga pada
bagaimana nilai-nilai dan karakteristik yang dianggap maskulin, seperti
rasionalitas, objektivitas, dan ketegasan dihargai dan diutamakan dalam praktik
Peradilan. Dengan tujuan terciptanya lingkungan yang tidak hanya menguntungkan
laki-laki, tetapi juga dapat merugikan perempuan dan individu yang tidak
memenuhi standar maskulin yang dominan.
Konsep
maskulinitas dalam Lembaga Peradilan juga mempengaruhi dinamika kekuasaan dan
hierarki dalam sistem hukum. Laki-laki yang sering kali mendominasi
posisi-posisi kunci seperti Hakim yang cenderung mempertahankan dan
mereproduksi struktur kekuasaan yang ada dapat menghambat kemajuan perempuan
dan kelompok minoritas gender lainnya dalam profesi sebagai Hakim.
Maskulinitas dalam Lembaga Peradilan dapat mempengaruhi
cara hukum ditafsirkan dan diterapkan dikarenakan nilai maskulin yang dominan,
seperti kompetisi dan individualisme sehingga meremehkan nilai-nilai yang
dianggap lebih feminin, seperti kolaborasi dan empati, yang juga penting dalam
mencapai keadilan yang sebenarnya.
Oleh karena, itu penting untuk mengkaji dan
menantang norma-norma maskulin yang dominan dalam Lembaga Peradilan namun untuk
mempromosikan pendekatan yang lebih inklusif dan seimbang yang mengakui serta
menghargai keragaman sehingga upaya untuk mengatasi dampak negatif dari
maskulinitas dalam Lembaga Peradilan memerlukan pendekatan yang komprehensif
dan multidimensi dengan meningkatkan representasi perempuan dan kelompok
minoritas gender dalam posisi-posisi kunci, serta mengembangkan program
pendidikan dan pelatihan yang mengintegrasikan perspektif gender dalam praktik
hukum.
Persepsi publik terhadap Hakim Perempuan sangat
dipengaruhi oleh stereotip gender yang melekat dalam budaya patriarki Indonesia
yang cenderung menempatkan Perempuan dalam peran domestik dan meragukan
kemampuan mereka untuk menjalankan tugas-tugas berat dan penuh tekanan di dunia
hukum. Stereotip ini tidak hanya membatasi peluang Perempuan dalam meniti
karier di Lembaga Peradilan, tetapi juga menimbulkan bias dalam penilaian
masyarakat terhadap putusan yang dihasilkan oleh Hakim Perempuan yang terkadang
dianggap kurang tegas atau terlalu emosional, padahal berbagai penelitian menunjukkan
masih ditemukan minimnya dukungan yang tidak memadai dari Lembaga Peradilan
dalam hal pengembangan karir dan mentoring bagi Hakim Perempuan sehingga masih banyak
Hakim Perempuan yang menghadapi kesulitan dalam mengakses Program Pelatihan dan
Pengembangan ketrampilan yang diperlukan untuk meningkatkan kompetensi dan kemampuan
mereka yang cenderung lebih sensitif terhadap isu-isu yang berkaitan dengan
gender dan Hak Asasi Manusia.
Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kasus
kekerasan terhadap Perempuan masih sangat tinggi dan budaya yang menormalisasi
kekerasan serta menyalahkan korban menjadi penghalang utama bagi Perempuan
untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan, selain itu juga minimnya
keterlibatan Hakim Perempuan dalam proses pengambilan keputusan strategis di
Lembaga Peradilan berdampak pada kurangnya perspektif gender dalam kebijakan
dan Putusan Pengadilan, sehingga keadilan substansif bagi Perempuan sering kali
terabaikan, padahal Hakim Perempuan justru memiliki kepekaan yang lebih tinggi terhadap
konteks sosial dan keadilan substantif, khususnya dalam perkara yang melibatkan
isu-isu gender dan perlindungan hukum terhadap korban.
Kontribusi Hakim Perempuan terhadap perubahan paradigma Peradilan
merupakan fenomena transformatif untuk memperkaya keragaman perspektif dalam
sistem hukum dan mendorong pergeseran mendasar dari pendekatan Peradilan yang
tradisional, formalistik, dan sering kali berorientasi pada preseden hukum yang
kaku menuju paradigma yang lebih inklusif, kontekstual, dan responsif terhadap
dinamika sosial, khususnya dalam hal isu-isu keadilan yang berkaitan dengan
gender, ketimpangan sosial, dan perlindungan hak-hak kelompok rentan seperti Perempuan,
anak, kelompok minoritas etnis, masyarakat adat, atau individu dengan identitas
gender non-biner yang secara historis terpinggirkan dalam struktur kekuasaan
yang didominasi norma-norma patriarki dan perspektif maskulin.
Layaknya kehadiran Hakim Perempuan dalam institusi Peradilan,
baik di Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Tingkat Banding, maupun Mahkamah
Agung telah membawa perubahan signifikan dalam cara hukum ditafsirkan, diterapkan,
dan diartikulasikan terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan kekerasan
berbasis gender, diskriminasi di tempat kerja, hak asuh anak, pembagian harta
dalam perceraian, atau perlindungan terhadap eksploitasi anak, di mana
pengalaman hidup dan sensitivitas gender mereka memungkinkan pendekatan yang
lebih empati dan interseksional, yang mempertimbangkan perpaduan kompleks
antara faktor gender, ras, kelas sosial, usia, orientasi seksual, dan konteks
budaya yang membentuk pengalaman individu dalam sistem hukum di Indonesia.
Pentingnya program mentorship dan solidaritas Perempuan
tidak hanya bermanfaat bagi individu yang terlibat, tetapi juga bagi masyarakat
secara keseluruhan sehingga ketika Perempuan dalam dunia hukum mendapatkan
dukungan yang mereka butuhkan untuk berhasil maka mereka dapat berkontribusi
pada terciptanya sistem hukum yang lebih inklusif dan responsif terhadap
kebutuhan semua anggota masyarakat.
Dengan demikian, investasi dalam program
mentorship dan penguatan solidaritas Perempuan dalam dunia hukum bukan hanya
merupakan langkah strategis untuk meningkatkan representasi untuk mencapai
tujuan ini, penting bagi Lembaga-Lembaga hukum, organisasi profesi, dan
masyarakat secara keseluruhan untuk berkomitmen dalam menciptakan lingkungan
yang mendukung bagi Perempuan dalam dunia hukum termasuk menyediakan sumber
daya yang diperlukan sehingga dengan program mentorship dapat menciptakan
kebijakan yang mendukung kesetaraan gender, dan mempromosikan budaya yang
menghargai kontribusi Perempuan dalam profesi sebagai Hakim dan diharapkan Perempuan
dapat berkontribusi secara maksimal dalam menciptakan keadilan yang hidup dan
berkelanjutan, serta memastikan bahwa generasi mendatang memiliki akses yang
lebih baik dan kesempatan yang lebih luas untuk berkarir di bidang hukum dan melalui
kolaborasi dan dukungan yang saling menguntungkan, Perempuan dalam dunia hukum
tidak hanya dapat mengatasi tantangan yang ada, tetapi juga dapat berperan
aktif dalam membentuk masa depan sistem hukum yang lebih baik sehingga keadilan
menjadi kenyataan yang dapat dirasakan oleh semua orang, tanpa memandang
gender, latar belakang, atau status sosial. (YPY/LDR)