Cari Berita

Memahami Etnosentrisme dan Deep Ecology dalam Hukum Lingkungan

article | Opini | 2025-10-20 12:10:34

“……the parable of the "boiled frog." If you place a frog in a pot of boiling water, it will immediately try to scramble out. But if you place the frog in room temperature water, and don't scare him, he'll stay put. Now, if the pot sits on a heat source, and if you gradually turn up the temperature, something very interesting happens. As the temperature rises from 70 to 80 degrees F., the frog will do nothing. In fact, he will show every sign of enjoying himself. As the temperature gradually increases, the frog will become groggier and groggier, until he is unable to climb out of the pot. Though there is nothing restraining him, the frog will sit there and boil. Why? Because the frog's internal apparatus for sensing threats to survival is geared to sudden changes in his environment, not to slow, gradual changes”.Pendapat Peter M. Senge tersebut apabila diterjemahkan secara bebas kira-kira menjadi sebagai berikut, perumpamaan tentang “katak rebus”, seekor katak secara refleks akan melompat menyelamatkan diri jika si katak secara tiba-tiba dimasukkan ke dalam kuali yang berisi air mendidih.Namun, jika dari awal katak itu dimasukkan ke dalam kuali yang airnya bersuhu normal, ia akan diam karena berada dalam zona nyaman. Sekalipun air itu dipanaskan secara perlahan-lahan, si katak tetap akan diam. Bahkan, si katak terlelap tidur!, Dia tidak berusaha menyelamatkan diri karena menikmati hangatnya perpindahan suhu air. Ini berarti si katak sudah beradaptasi dengan panasnya air karena dari awal dia sudah beradaptasi dengan ”ancaman lambat”. Akibatnya, si katak tidak pernah menyadari adanya ancaman lambat hingga ia mati dalam air mendidih dan lebih celaka menikmatinya.Begitu juga dengan eksplorasi besar-besaran terhadap kekayaan sumberdaya alamnya melalui pembukaan areal pertambangan mineral bumi yang tak terbarukan dengan hilirisasi dan sejenisnya yang masif akhir-akhir ini pasca pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dan produk hukum turunannya berupa Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional, yang mengebiri Undang-Undang Nomr 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Eksplorasi Pertambangan mineral  bumi ini dilakukan dengan tujuan untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi daerah dimana eksplorasi pertambangan  itu didirikan dan juga pertumbuhan ekonomi nasional. Sebuah tujuan yang menggiurkan dan sekaligus melenakan ini apakah akan mengalami keadaan seperti balada ”katak rebus” sebagaimana alinea awal tulusan ini?, yakni sebuah proses yang dialami segenap warga negara yang kurang memiliki kepekaan terhadap ”ancaman lambat” dari degradasi kualitas lingkungan  menuju kerusakan ekosistem yang tidak bisa dipulihkan setelah habis (tidak terbarukan) nanti, sebagai akibat eksplorasi besar-besaran terhadap kekayaan sumberdaya alam yang mengatasnamakan pertumbuhan dan kemakmuran ekonomi semata.Dengan demikian dalam perspektif Socio-Legal Studies pemehaman terhadap Deep Ecology menjadi penting terhadap Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja Yang Mengebiri Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.Etnosentrisme dan deep ecology pada perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sebagaimana diketahui Undang-Undang tentang Cipta Kerja telah menghapus ketentuan penting terkait izin lingkungan dan sanksi pidana pengelolaan limbah B3 (Bahan, Berbahaya, Beracun) dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, yang menjadikan menjadikan perizinan sebagai fokus pengawasan dan memindahkan penanganan pelanggaran lingkungan dari sanksi pidana menjadi sanksi administratif. Penghapusan ini mengurangi hak partisipasi masyarakat dan akses gugatan terhadap izin lingkungan, serta memberikan ruang lebih besar bagi eksploitasi lingkungan. Beberapa hal krusial yang diubah atau dihilangkan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 terdiri dari Pencabutan Izin Lingkungan,  Sanksi Pidana Terhadap Pengelolaan Limbah B3, Pengurangan Partisipasi Masyarakat, Sentralisasi Kewenangan Lingkungan, Pengabaian Kepatuhan terhadap Lingkungan,Potensi Eksploitasi dan Kerusakan Lingkungan;Dari pengebirian UUPPLH oleh UU Cipta Kerja tersebut, tampak bahwa orientasi hidup manusia modern yang cenderung materialistik dan hedonistik juga sangat berpengaruh. Kesalahan cara pandang atau pemahaman manusia tentang sistem  lingkungannya, mempunyai andil yang sangat besar terhadap terjadinya kerusakan lingkungan yang terjadi dunia saat ini.Cara pandang  dikhotomis yang yang dipengaruhi oleh paham antropoentrisme yang memandang bahwa alam merupakan bagian terpisah dari manusia dan  bahwa manusia adalah pusat dari sistem alam mempunyai peran besar terhadap terjadinya kerusakan lingkungan. Cara pandang demikian telah melahirkan perilaku yang eksploitatif dan tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya. Antroposentrisme  atau ada yang menyebut egosentrisme merupakan buah dari alam pikiran modern tersarikan dari esensialisme kesadaran akan kenyataan otonomi manusia di hadapan alam semesta, yang mulai muncul di bawah semboyan terkenal: Sapere Aude! (berpikirlah sendiri!) dan Cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada)-nya Rene Descartes. Dengan semboyan kokoh ini, alam pikiran modern benar-benar menjadi masa di mana rasionalitas manusia muncul dan menggeser segala otoritas non-rasio, termasuk agama. Dari kesadaran essensialisme inilah embrio nalar antroposentrisme mulai nampak. Keyakinan akan rasionalitas manusia pada momen berikutnya mengejawantah dalam aktifitas kreatif, penciptaan, dan inovasi sains dan teknologi hingga munculnya masyarakat ekonomi global yang pada akhirnya membawa bencana yang maha dahsyat, yakni krisis lingkungan yang justru mewarnai optimisme modernitas ini. Mula-mula secara embrional, masyarakat ekonomi global lahir dari rahim revolusi industri dan revolusi hijau, yang telah menggeser masyarakat feodal yang mapan. Masyarakat ekonomi baru ini senantiasa didominasi oleh keinginan untuk memanfaatkan sebesar-besarnya potensi alam untuk kemakmuran dan kesejahteraan manusia. Karena motif ekonominya yang begitu dominan, pada akhirnya tidak ramah terhadap lingkungan. Menurut Hossein Nasr, Manusia modern telah mendesakralisasi alam, meskipun proses ini sendiri hanya di bawa ke  kesimpulam logisnya oleh sekelompok minoritas. Apalagi alam telah dipandang sebagai sesuatu yang harus digunakan dan dinikmati semaksimal mungkinPergeseran filsafati terhadap pelestarian lingkungan ini bermuara pada diskursus deep ecology yang dikemukakan oleh Arne Naess seorang filsuf dari Negara Norwegia yang didasari oleh pengalaman spiritualnya yang sangat mendalam pada lingkungan hidup, sekitar tahun 1970 an.  Diskursus ini di landasi dengan apa yang di sebut dengan A platform of the deep ecology movement.Intisari dari deep ecology adalah untuk mengajak bertanya lebih dalam. Kata sifat ’dalam’ menekankan bahwa kita bertanya mengapa, di mana dan bagaimana jika yang lain tidak. Hal ini memerlukan perluasan pemikiran yang sangat luar biasa tentang ekologi dengan apa yang disebut ecosophy, dengan demikian ’deep’ identik dengan ’sophia’, atau ’dalam’ identik dengan ’kebijaksanaan’.Sebagai contoh : kita harus mempertanyakan, mengapa berbicara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat konsumerisme menjadi sangat penting?, dan jawaban konvensionalnya adalah bahwa hal ini dikarenakan konsekuensi ekonomi itu sendiri. Tetapi apabila berbicaranya dengan mengunakan terminologi deep ecology maka pertanyaan yang mengemuka menjadi : apakah masyarakat saat ini memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti keamanan, cinta dan akses ke alam bersama dengan mahluk hidup yang lain.PenutupTerkait dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable Development) maka pola pikir etnosentrisme harus segera di tinggalkan dan beralih kepada sikap hidup yang mengedepankan semangat deep ecology. Dengan demikian  desentralisasi sistem pemerintahan sebagai konsekuensi otonomi daerah seharusnya tidak menjadi hambatan tetapi menjadi tantangan untuk munculnya kearifan lokal (local wisdom) dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Roh yang meliputi deep ecology inilah yang akan menentukan efektifitas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. (aar/ldr)Penulis: R Moh Yakob Widodo-Hakim Adhoc Tipikor PN Ternate. RefrensiPeter M Senge, “The Fifth Discipline” Doubleday Publishing New York,1990;Ben A. Minteer, “Anthropocentrism”, dalam J. Baird Callicott and Robert Frodeman, Editors in Chief, Encyclopedia Of Environmental Ethics And Philosophy, Gale Cengage Learning, Macmillan, 2009;Agus Rachmat W., “Etika Lingkungan Hidup dan Pertentangan Politik”, dalam Bambang Sugiharto dan Agus rachmat W. (ed), Wajah Baru Etika dan Agama,Kanisius, Jogjakarta,2000;Sayyed Hossen Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam: Jembatan Filosofis dan Religius Menuju Puncak Spiritual, (terj), Ali Noer Zaman, Ircisod, 2005, hal.28;Arne Naess, “Ecology, community and lifestyle: Outline of Ecosophy”, Cambridge University Press 1989; Lihat juga Fritjof Capra ”Kearifan Tak Biasa (Uncommon wisdom)” Bentang Budaya Jogjakarta 2002;R Moh Yakob Widodo-Hakim Adhoc Tipikor PN Ternate.

Ketika Laut Menuntut Haknya, Dari Antroposentris ke Ekosentris

article | Opini | 2025-10-13 08:05:06

GELOMBANG di pesisir Indonesia kini membawa pesan yang getir, di mana hutan mangrove hilang, pantai terkikis reklamasi, dan laut perlahan kehilangan napasnya. Di balik statistik pembangunan ekonomi biru (blue economy) dan jargon ekonomi kelautan dan perikanan, laut kita sedang menuntut haknya, yaitu hak untuk hidup, hak untuk bernapas, dan hak untuk diperlakukan bukan sebagai komoditas, tetapi sebagai rumah kehidupan bagi seluruh entitas yang terkandung di dalamnya.Laut yang Tak Lagi DiamDari Teluk Jakarta hingga Karimunjawa, dari Batam hingga Balikpapan, dari laut Halmahera hingga perairan perawan Raja Ampat, laut Indonesia menjadi saksi bisu dari komoditi daratan. Proyek reklamasi, penambangan pasir laut, dan ekspansi industri pesisir berjalan atas nama “izin,” padahal izin itu sering kali lebih berpihak pada investasi daripada keberlanjutan.Kita seolah lupa bahwa laut bukan ruang kosong; ia adalah ekosistem hidup dengan jaringan sosialnya sendiri. Ketika lamun tercabut, ikan mati, penyu kehilangan tempat untuk bertelur dan air berubah keruh, yang hancur bukan hanya alam, tetapi juga kebudayaan pesisir, ekonomi nelayan, dan keseimbangan batin kita sebagai bangsa Archipelago.Dari Pohon ke Laut: Hak Hukum bagi AlamPada tahun 1972, profesor hukum lingkungan Amerika, Christopher D. Stone, menulis esai legendaris Should Trees Have Standing? Ia menggugat pandangan hukum yang antroposentris dimana hukum yang hanya mengenal manusia sebagai subjek hukum dan menjadikan alam sebagai benda mati tanpa hak. Stone bertanya: “Jika anak, perempuan, dan korporasi kini diakui memiliki hak hukum, mengapa sungai dan hutan tidak?”Pertanyaan Stone tersebut adalah seruan moral bagi hukum untuk keluar dari dogma antroposentris. Ia mengingatkan bahwa: Keadilan ekologis tidak akan pernah tercapai jika hanya manusia yang diakui sebagai subjek hukum. Melalui prinsip-prinsip hukum lingkungan di mana nilai intrinsik alam, keadilan antargenerasi, dan prinsip kehati-hatian, maka hukum harus berevolusi menuju paradigma di mana: “Alam tidak hanya dilindungi karena berguna, tetapi dihormati karena ia ada.”Gagasannya sederhana tapi radikal: alam harus diberi hak untuk membela diri di pengadilan.Hutan yang ditebang, sungai yang tercemar, atau laut yang dirusak harus bisa diwakili oleh wali hukum (guardian of nature), seperti organisasi lingkungan, lembaga publik, atau bahkan warga yang peduli. Kini, lebih dari setengah abad kemudian, ide itu tidak lagi utopis. Sungai Whanganui di Selandia Baru, Sungai Atrato di Kolombia, dan Gunung Taranaki di Aotearoa telah diakui sebagai “entitas hukum yang hidup.” Laut pun seharusnya memiliki kedudukan serupa di Indonesia, bukan karena romantisme hijau, tapi karena tanpa laut, kita kehilangan jati diri dan masa depan sebagai bangsa Archipelago.Etika Lingkungan: Dari Antroposentris ke EkosentrisSelama ini hukum lingkungan kita berakar pada etika lama yaitu “antroposentrisme” di mana keberadaan alam hanya untuk melayani manusia. Laut dinilai “berharga” hanya jika menghasilkan ikan, minyak, atau pariwisata. Padahal, nilai laut tidak terletak pada manfaatnya bagi manusia, tetapi pada keberadaannya sendiri. Etika lingkungan (environmental ethics) menawarkan jalan lain yaitu “ekosentrisme” sebuah pandangan bahwa seluruh makhluk hidup dan sistem ekologis memiliki nilai intrinsik (intrinsic value).Laut memiliki hak untuk tetap eksis, tetap terpelihara keseimbangan ekologisnya dan memulihkan diri dari luka-luka manusia. Nilai ini sejalan dengan falsafah hidup bangsa Indonesia. Dalam kearifan Melayu disebut, “laut bukan milik siapa-siapa, ia milik semua yang menghuni.” Dalam kosmologi Bugis, laut dipandang sebagai “wija to rilangi”, yaitu benih kehidupan yang disemai para leluhur.PKKPRL: Instrumen Hukum yang Menentukan Arah LautDalam kerangka hukum nasional, instrumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) seharusnya menjadi benteng utama perlindungan laut. Instrumen ini diatur dalam UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), serta diperjelas dalam PP No. 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut. Secara ideal, PKKPRL adalah alat penyaring ekologis yang dimaksudkan untuk memastikan setiap kegiatan di laut sesuai dengan daya dukung, daya tampung, dan fungsi ekologisnya.Namun dalam praktik, ia sering tereduksi menjadi “stempel legalisasi kegiatan ekonomi.” Kajian lingkungan hanya menjadi formalitas; partisipasi masyarakat pesisir sering diabaikan. Akibatnya, laut yang seharusnya dilindungi justru dijadikan alas kaki investasi. Padahal, secara filosofis, PKKPRL seharusnya menjadi manifestasi dari etika lingkungan itu sendiri yang menempatkan laut sebagai subjek yang memiliki kepentingan, bukan sekadar objek kebijakan.Laut sebagai Subjek Hukum: Bukan ImajinasiMengakui laut sebagai subjek hukum bukanlah hal mustahil. Prinsipnya sudah tertanam dalam sistem hukum Indonesia melalui Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kata “dikuasai” dalam konteks itu bukan berarti dimiliki, melainkan dijaga dan diamanahkan. Negara bertindak sebagai “wali ekologis” (ecological trustee) dan bertindak sebagai pemegang tanggung jawab untuk melindungi hak-hak lingkungan demi generasi mendatang. Maka, setiap pelanggaran PKKPRL, baik reklamasi tanpa izin, tambang pasir laut, atau pencemaran industri, bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi pengingkaran terhadap amanah konstitusi ekologis bangsa.Ultimum Remedium yang BerkeadilanHukum pidana lingkungan sering disebut sebagai ultimum remedium atau dengan kata lain sebagai jalan terakhir. Namun “terakhir” tidak berarti “tidak pernah digunakan.” Ketika kerusakan laut telah mengancam ekosistem, mata pencaharian nelayan, dan keseimbangan ekologis, maka pidana bukanlah bentuk balas dendam, melainkan bentuk pemulihan moral. Hakim peradilan perikanan atau hakim lingkungan tidak lagi sekedar menimbang kerugian materiil, tetapi harus menakar nilai kehidupan ekologis yang hilang. Putusan hakim yang adil bagi laut bukan yang menghukum pelaku semata, tetapi yang memulihkan laut hingga ia dapat bernapas kembali.Dari Etika ke Kebijakan: Membangun “Keadilan Laut”Sudah saatnya kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan di Indonesia diukur bukan hanya dengan indikator ekonomi, tetapi juga indeks keadilan ekologis. Keadilan ekologis yang dimaksud ini mencakup; partisipasi masyarakat pesisir dalam setiap perencanaan ruang laut, transparansi izin PKKPRL, dan pengakuan terhadap hak-hak ekosistem laut untuk tetap lestari. Sebagaimana pengakuan hak asasi manusia pernah menjadi tonggak moral abad ke-20, maka abad ke-21 harus menjadi abad hak-hak ekologis bumi.Penutup: Mendengarkan Suara LautLaut tidak berbicara dengan bahasa manusia, tapi dengan tanda-tandanya: ombak yang makin tinggi, ikan yang makin sepi, dan pantai yang makin jauh dari bibir daratan. Ia tengah menegakkan gugatannya, meskipun bukan di pengadilan manusia, tapi di ruang nurani bangsa Indonesia yang dua pertiganya adalah entitas dia.  Seperti kata Stone, “Hukum berkembang sejauh manusia memperluas lingkaran simpatinya.” Kini saatnya kita memperluas lingkaran itu, hingga mencakup laut dan segala isinya. Karena ketika laut kehilangan haknya, kita kehilangan masa depan kita sendiri dan masa depan generasi mendatang. (ldr)

Arsip 2004: Saat Hakim Mintai Pertanggungjawaban Strict Liability di Kasus Lingkungan Hidup

article | History Law | 2025-05-15 08:10:01

Tahun 2004, Dedi dkk mengajukan gugatan perwakilan (Class Action) terhadap pemerintah buntut longsor di kawasan Hutan Gunung Mandalawangi, Garut. Hasilnya, hakim melakukan inovasi dengan memintai pertanggungjawaban perdata lingkungan hidup strict libility. Peta hukum Indonesia berubah total. Bagaimana ceritanya? Sebagaimana dikutip DANDAPALA berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1794 K/Pdt/2004 pada Direktori Putusan Mahkamah Agung (MA), yang dikutip pada hari Minggu (22/5/2025), kejadian bermula pada tanggal 28 Januari 2003 sekitar pukul 21.30 Wib terjadi longsor di kawasan Hutan Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut yang menyebabkan tertimpanya kawasan pemukiman rumah penduduk tersebut dan menimbulkan korban jiwa dan harta benda sebagai berikut: Korban jiwa meninggal : 20 orang (11 orang laki-laki dan 9 orang perempuan)Yang belum diketemukan : 1 (satu) orangRumah Permanen/non permanen hancur : 165 buah Rumah rusak berat : 67 buah Rumah rusak ringan : 44 buah Rumah terancam longsor susulan : 104 buah Madrasah: 2 buah Mesjid : 3 buah Kebun : 25 Hektar Sawah : 70 Hektar Kolam : 1 Hektar Ternak Domba : 150 Ekor Ternak Ayam dan Itik : 5000 Ekor Ikan : 3000 Kg Selain akibat di atas juga membuat penduduk yang terkena longsoran Gunung Mandalawangi terpaksa mengungsi dan hanya mengharapkan bantuan/sumbangan dan ditampung di dalam posko-posko yaitu: 1) pos I Rumah H. Atri S Kampung Cilageni, 217 KK = 1.069 Jiwa 2) pos II Balai Desa Mandalasari, 45 KK = 261 Jiwa 3) pos Ill Madrasah AI-Hikmah Kp. Sindangmulya, 78 KK = 240 Jiwa 4) pos IV Madrasah Baitul Muklis : 22 KK = 98 Jiwa 5) pos V RW. 10 Kp. Pintu (Baetul Mutaqin), 14.KK = 128 Jiwa  Jumlah: 376KK = 1.769 Jiwa Selain itu, total kerugian materil dan imateril para penggugat ditaksir mencapai Rp 50.417.200.000. Atas dasar kerugian tersebut membuat sejumlah masyarakat korban longsor mengajukan gugatan perwakilan ke Pengadilan Negeri (PN) Bandung. Gugatan ini dilayangkan dengan dasar pertanggungjawaban perdata yaitu pertanggungjawaban mutlak (strict libility).  Di mana Penggugat tidak perlu membuktikan kesalahan dari Tergugat I atas terjadinya longsor tersebut karena hal tersebut merupakan konsekuensi dari Tergugat I selaku pengelola hutan di Kawasan Hutan Mandalawangi. Selanjutnya gugatan perwakilan tersebut diadili PN Bandung. Lalu pada tanggal 4 September 2003 Tergugat I (Direksi Perum Perhutani) cq Kepala Unit III Perum Perhutani Jawa Barat, Tergugat III (Menteri Kehutanan), Tergugat IV (Pemerintah Daerah TK.I Jawa Barat) dan Tergugat V Pemerintah Daerah Tk. II Garut) dinyatakan bertanggung jawab secara mutlak (Strict Liability) atas dampak yang ditimbulkan oleh adanya longsor kawasan Hutan Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut. Putusan PN Bandung tersebut selanjutnya diajukan upaya hukum banding dan dikuatkan dengan perbaikan di tingkat banding pada tanggal 08 Februari 2004. Lalu kasus ini pun berlanjut sampai ke tingkat kasasi. Bagaimana kata MA? “Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi : 1. Direksi Perum. Perhutani Cq. Kepala Unit Perum Perhutani Unit Iii Jawa Barat, 2. Pemerintah Daerah Tk. I Propinsi Jawa Barat Cq. Gubernur Propinsi Jawa Barat, 3. Pemerintah Republik Indonesia Cq. Presiden Republik Indonesia Cq. Menterl Kehutanan Republik Indonesia, 4. Dedi, 5. Hayati, 6. Entin, 7. Oded Sutisna, 8. Ujang Ohom, 9. Dindin Holidin, 10. Aceng Elim Dan 11. Mahmud Tersebut”, demikian bunyi putusan kasasi yang diketok oleh ketua Majelis Harifin A Tumpa dengan anggota Atja Sondjaja dan I Made Tara. Putusan itu diputus dalam rapat pemusyawaratan hakim pada hari senin, tanggal 22 Januari 2007 dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga.  Dalam memori kasasinya. Para Tergugat pada pokoknya beralasan : Judex Facti telah salah menerapkan prinsip strict liability karena seharusnya menerapan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata dan 283 RBg dengan tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault) karena seseorang tidak dapat dihukum untuk membayar ganti kerugian tanpa adanya hubungan kausalitas dengan unsur kesalahan atau perbuatan melawan hukum.  Selain itu prinsip strict liability hanya dapat diterapkan secara selektif yaitu hanya terhadap kegiatan usaha yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.Kegiatan Para Tergugat tidak termasuk kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, serta tidak menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, Peristiwa longsornya Gunung Mandalawangi merupakan bencana alam dalam bentuk banjir bandang yang disebabkan curah hujan di atas normal dan oleh karena itu pula merupakan keadaan memaksa (overmacht) di luar kemampuan manusia yang telah ditetapkan sebagai bencana nasional Kegiatan Tergugat I bersumber pada Peraturan Pemerintah R.I. No. 2 Tahun 1978 jo. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1986, dan Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 1999 tidak menimbulkan kerusakan sama sekali terhadap kawasan hutan MandalawangiPenerapan precautionary principle, prinsip ke 15 yang terkandung dalam asas Pembangunan Berkelanjutan pada Konferensi Rio tanggal 12 Juni 1992 (United Nation Conference on Environment and Development) yang belum merupakan hukum positif yang berlaku di Republik Indonesia. Semua tindakan-tindakan Pemohon Kasasi semula Pembanding/Tergugat I di Gunung Mandalawangi sarat dengan kepentingan negara Republik Indonesia dan bukan merupakan kegiatan yang sewenang-wenang, melainkan kegiatan yang telah terprogram dalam program-program Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang Undang dan segala hasil-hasil yang diperolehnya merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang penting dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang pada akhirnya bertujuan untuk memberikan kesejahteraan serta kemakmuran bagi segenap rakyat Indonesia;Keputusan Judex Facti yang menghukum Pemohon Kasasi semula Pembanding/ Tergugat I dengan hukuman ganti kerugian merupakan putusan yang bertentangan dengan prinsip keadilan itu sendiri (ex aequo et bono), karena secara tidak langsung akan membebani keuangan negara yang pada akhirnya membebani seluruh rakyat Indonesia; Namun MA menolak argumen itu dengan alasan: Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, Judex Facti tidak salah menerapkan hukum, oleh karena berdasarkan fakta-fakta hukum Perum. Perhutani adalah pengelola kawasan hutan di Jawa Barat termasuk gunung Mandalawangi dimana telah terjadi bencana tanah longsor yang mengakibatkan korban jiwa dan harta benda penduduk. Dari hasil penelitian kejadian longsor tersebut adalah disebabkan antara lain kerusakan/ pencemaran lingkungan karena pemanfaatan tanah tidak sesuai fungsi dan peruntukannya, sebagai kawasan hutan lindung. Fakta ini mempunyai hubungan kausal dengan terjadinya tanah longsor yang mengakibatkan korban jiwa dan harta benda. Fakta-fakta tersebut menimbulkan pertanggungjawaban (Strict Liability) bagi Tergugat, dan Tergugat tidak dapat membuktikan sebaliknya.Bahwa Hakim tidak salah menerapkan hukum apabila ia mengadopsi ketentuan hukum Internasional. Penerapan precautionary principle didalam hukum lingkungan hidup adalah untuk mengisi kekosongan hukum (Rechts vinding), pendapat para Pemohon Kasasi yang berpendapat bahwa Pasal 1365 BW dapat diterapkan dalam kasus ini tidak dapat dibenarkan, karena penegakkan hukum lingkungan hidup dilakukan dengan standar hukum Internasional. Bahwa suatu ketentuan hukum Internasional dapat digunakan oleh hakim nasional, apabila telah dipandang sebagai “ius cogen” ;Judex Facti tidak salah menerapkan hukum pembuktian, justru Negara berkewajiban melindungi dan memelihara lingkungan dalam kehidupan masyarakat. Negara i.c Pemohon Kasasi berkewajiban untuk memberi ganti rugi kepada masyarakat termasuk rakyat yang mengalami kerugian akibat perbuatannya. Pemohon Kasasi tidak dapat bersandar pada kebijaksanaan, karena akibat dari kebijakan hukum yang merugikan masyarakat, tidak dapat ditolerir. (ASP/LDR)

Perubahan Iklim, Yurisprudensi dan Hukum Lingkungan Pakistan

article | Opini | 2025-04-15 12:05:05

SHAZIB Saeed, adalah seorang Hakim Distrik dan Sidang Pakistan, yang saat ini bertugas di Bahawalnagar. Beliau memiliki pengalaman akademis dan profesional yang luas. Di antaranya sebagai Staf pengajar tamu di Akademi Yudisial Punjab, Kolese Hukum Kinnaird, dan Kolese Hukum Quaid-e-Azam, Instruktur Senior, Direktur Riset, dan Direktur Administrasi di Akademi Yudisial Punjab. Selain itu, Shazib Saeed merupakan Ketua Pengadilan Lingkungan Punjab, dan menjadi Anggota Komite Penasihat Pengadilan Tinggi Yang Terhormat untuk Kehakiman Distrik. Beliau juga berkontribusi dalam membuat Kompilasi penilaian yang dilaporkan dan tidak dilaporkan dari Pengadilan Lingkungan Punjab yang kemudian diterbitkan sebagai "Keputusan Pengadilan Lingkungan Punjab". Shazib Saeed adalah penulis berbagai penilaian yang dilaporkan di bidang hukum lingkungan sehingga banyak berkontribusi pada pengembangan yurisprudensi lingkungan di Pakistan. Keahlian dan komitmen Shazib Saeed terhadap hukum lingkungan telah memberikan dampak yang signifikan terhadap lanskap peradilan Pakistan. Pada artikel ini, Shazib Saeed akan memaparkan isu krusial tentang Perubahan Iklim dan Hukum, Perkembangan Yurisprudensi dalam Kerangka Lingkungan Pakistan (Climate Change and the Law, Jurisprudential Developments in Pakistan's Environmental Framework). Berikut artikel lengkapnya:Shazib Saeed (Hakim Distrik Bahawalnagar, Pakistan)It is said Environment is no one’s property but everyone’s responsibility Pakistan is a country which is “more sinned against than sinning” on environmental issue. Since it contributes less than 01 percent in global carbon emission but stands amongst the vulnerable countries. Climate change has become a unique human rights issue of epic proportion for Pakistan. Recent floods are harbinger of Goliath lurking to strike. It is no exaggeration to say that right to life is blatantly threatened by menace of climate emergency which is catastrophic. It is ensnaring death trap for human civilization.The environmental hazards posed to the region due to rapid industrialization, urbanization, and agricultural development has led to common problems such as pollution of rivers; a rise in industrial waste and vehicle emissions; handling, storage, and transportation of dangerous goods; contamination of water, land, and coastal resources; air pollution; waterlogging; increase in the use of agrochemicals; and deforestation. All these threats to the environment call for an integrated approach.Word environment is not mentioned in our constitution however article 9 of the Constitution dealing with a fundamental rights provides that no person shall be deprived of life or liberty save in accordance with law. The word `life' has been interpreted in the case reported as Ms. Shehla Zia v. WAPDA (PLD 1994 SC 693) as under: "The word `life' in the Constitution has not been used in a limited manner. A wide meaning should be given to enable a man not only to sustain life but to enjoy it."However, it is now an internationally recognized principle that if there is conflict between a personal right and environment, the personal right must yield in favour of environment (1993 SCMR 1451).Judicial Activism in Developing Environmental JurisprudenceThe most significant feature in the environmental landscape of Pakistan is the judicial activism that has responded to public interest environmental litigation. The superior courts have been liberally responsive to environmental issues and complaints, including on the jurisdictional issue of locus standi, the main body of environmental jurisprudence in Pakistan has been laid down by the Supreme Court and the High Courts.Landmark Green PrecedentsIn the landmark decision in Shehla Zia vs. WAPDA,[PLD 1994 Supreme Court 693] the Supreme Court of Pakistan held that the right to a clean and healthy environment was part of the Fundamental Right to life guaranteed by Article 9 of the Constitution and the Fundamental Right to dignity provided in Article 14.  In this case, the Supreme Court also introduced the precautionary principle of environmental law, with specific reference to its inclusion in the Rio Declaration on Environment and Development, into Pakistani jurisprudence.In the Khewra Mines Case [1994 SCMR 2061] petitioners sought enforcement of the right of the residents to have clean and unpolluted water against coal mining activities in an upstream area. The Supreme Court affirmed its expansive approach to Article 184(3) and stated that 'the right to have unpolluted water is the right of every person wherever he lives.In dealing with noise pollution, the Supreme Court in Islamudin Case, [PLD 2004 SC 633) restrained the defendants from creating public nuisance in their workshops, stating that even noise made in carrying on a lawful trade, if injurious to the comfort of the community, is a public nuisance.The Supreme Court took suo moto action [Suo Motu case No. 13 of 2005, Report 2005-2006, SC of Pakistan, Golden Jubilee Edition, 106] in Islamabad Chalets and Pir Sohawa Valley Villas, restraining the construction of chalets and villas situated at a distance of two kilometers of the Margalla Hills, where the housing scheme was launched. The housing scheme in question would have had a direct bearing on the eco-system of the Margalla Hills.The Supreme Court also took suo moto action in the New Murree Project case [2010 SCMR 361] which posed grave environmental hazard as its initiation would have destroyed 5,000 acres of forest. The project was ultimately disbanded and the court reiterated the global environmental law principles of intergenerational equity as well as sustainable development in order to achieve goal of healthy environment, not only for present population but also for future generations.In the IMAX Cinema Case [2006 SCMR 1202] the Supreme Court opined that conversion of a public park into a shopping mall and setting up of the IMAX cinema without observing the codal formalities of the legal framework in particular non filing of the initial environmental examination was grossly illegal and was an offence under the Act.In the Canal Road Expansion Case [2011 SCMR 1743] the question before the Supreme Court was the environmental impact of widening the 14 km road along the banks of the canal that runs through Lahore. It was contended that not merely would the scheme devastate the green belt along both sides of the canal, but would even fail to achieve its stated objective of improving traffic flow in order to reduce traffic congestion in the city. The Court while holding that green belt around both sides of the canal was a public trust resource and hence could not be converted into private or any other use also observed that widening of the road was in fact a public purpose and as minimum area was being affected and project conformed with the Act thus the Doctrine of Public Trust, in circumstances, could not be said to have been compromised. Courts have recognized that there can be multiple stresses on the environment and there is sometimes a dynamic tension involved, which may mean that it may not be possible to redress one without to a certain extent leaving others unaddressed.The aim is not necessarily a perfect environment but a balanced one and the above referred judgment show that in such cases, the judicial approach has been appropriately nuanced. Later on in [2015 SCMR 1520], Supreme Court again examined the case to ensure that no direction of the court were being violated.In Land mark judgement Imrana Tiwana Case [P L D 2015 Lahore 522] full bench of the High Court raised concern about the legality of the environmental process adopted to review the EIA filed by the LDA in the light of Article 140A of the Constitution. It was observed that it the time to move on Environment and its protection has come to take center stage in the scheme of constitutional rights. It was held that EIA is nature’s first man made check post, nothing adverse to the environment is allowed to pass through it. It is through the tool of EIA that the authority gets to regulate and protect the environment and as a result the life, health, dignity and well-being of the people who inhabit the environment.In a recent case of C.P.L.A/2022; The Monal Group of Companies, Islamabad v. Capital Development Authority, the Supreme Court of Pakistan made significant observations regarding environmental protection. The court emphasized that the establishment and operation of restaurants within the Margalla Hills Park violate the Islamabad Wildlife (Protection, Preservation, Conservation and Management) Ordinance 1979. These observations reflect the judiciary’s commitment to upholding environmental laws and ensuring that development does not come at the cost of ecological integrity.The above referred precedents reinforce the fact that that the Courts have taken a broad and expansive view of their jurisdiction in relation to environmental issues.The road ahead for environmental Justice1. Judges and the judiciary at all levels need to be sensitized to environmental issues. Resolution of environmental issues is an integral aspect of delivering social justice which judiciary needs to keep in mind.2. To effectively address environmental issues within the framework of environmental law, judges must adopt an innovative and adaptable approach. The existence of a single Environmental Tribunal for the Province of Punjab is insufficient to tackle the extensive problem of climate degradation. A dynamic and multi-tiered approach is urgently needed. One crucial step is to amend existing legislation to empower District and Sessions Judges in the field across Punjab to handle environmental appeals and complaints within their respective districts. This decentralization will facilitate more localized and immediate responses to environmental concerns, addressing problems at the grass-root level.  In addition, judges should receive specialized training in environmental law through Punjab Judicial academy. Their approach to handling environmental cases should be flexible and open-minded.3. The current system may not be providing sufficient deterrence to prevent environmental violations. One significant problem with the current environmental tribunal and environmental magistrates is that it may lack effective deterrence. If fines on the basis of plea of guilt are too low or penalties are not stringent, they may not effectively discourage individuals or companies from violating environmental regulations. The practice of imposing nominal fines, especially when coupled with plea deals, can undermine the seriousness of environmental offenses. When fines are minimal, they may be viewed merely as a cost of doing business rather than a genuine consequence of unlawful actions. Tribunal is empowered by the legislature to impose substantial fines and penalties, even sentence of imprisonment in case of previous conviction that reflect the severity of the environmental harm caused. Instead of allowing offenders to settle for minor penalties, the tribunal could adopt a more rigorous approach to ensure that penalties are commensurate with the harm done.4. Proper enforcement mechanisms and increasing monitoring can help ensure that violations are detected and addressed more effectively. This might include more frequent inspections, better data collection, and improved reporting systems to track compliance and the effectiveness of penalties. As suggested earlier this can be conveniently done by the District and Sessions Judges working in the field if they are empowered through legislation5. Raising public awareness where remedy lies and the consequences of environmental violations can also help foster a culture of compliance. Public at large is not aware where the remedy lies in case of any environmental violation and they choose wrong forum, got exhausted and discouraged Educating stakeholders about the importance of adhering to environmental regulations and the potential consequences of non-compliance can contribute to better environmental practices. Legislative changes may be necessary to provide the tribunal with broader powers and more robust mechanisms for enforcement. This could involve updating laws to ensure that penalties are adequate and that the tribunal and the environmental magistrates have the authority to address violations effectively.6. All judicial academies need to develop curriculum for environmental law training. The concept of pre‐trial negotiations may be introduced in the proceedings before the Tribunals to enable the polluter to come up with, if possible, a mechanism for resolving the acts complained against, thus eliminating the environmental violation. EpilogBerdasarkan penjelasan di atas, pokok pikiran Shazib Saeed menekankan bahwa untuk penanganan masalah lingkungan hidup khususnya tentang perubahan iklim maka:1. Hakim dan lembaga peradilan di semua tingkatan perlu peka terhadap isu-isu lingkungan hidup karena penyelesaian permasalahan lingkungan hidup merupakan aspek integral dalam mewujudkan keadilan sosial yang perlu diperhatikan oleh peradilan.2. Untuk mengatasi permasalahan lingkungan hidup secara efektif, hakim harus menggunakan pendekatan yang inovatif dan mudah beradaptasi.3. Pengadilan diberi wewenang oleh badan legislatif untuk menjatuhkan denda dan hukuman yang besar bahkan pidana penjara, sebagai bentuk pendekatan yang lebih ketat untuk memastikan hukuman pelaku kerusakan lingkungan sepadan dengan kerugian yang ditimbulkan.4. Peningkatan kepatuhan masyarakat untuk cinta lingkungan hendaknya dipicu oleh kesadaran masyarakat tentang konsekuensi pelanggaran hukum lingkungan hidup.5. Mekanisme penegakan hukum yang tepat dan peningkatan pemantauan dapat membantu memastikan bahwa pelanggaran terdeteksi dan ditangani dengan lebih efektif.6. Semua akademis peradilan perlu mengembangkan kurikulum untuk pelatihan hukum lingkungan hidup. (MCNB/LDR).Shazib SaeedDistrict and Sessions Judge Bahawalnagar. Served as Senior Instructor, Director Research and Director Admin, Punjab Judicial Academy. Remained Chairperson Punjab Environmental Tribunal and author of many reported judgments in the field of environment. Has complied reported and unreported judgments of the environmental tribunal.