Cari Berita

Judicial Scrutiny sebagai Upaya Reintegrasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu

article | Opini | 2025-09-19 17:00:10

Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) kembali digalakkan melalui forum akademik dan legislasi oleh Komisi III DPR RI bersama pemerintah. Pembahasan ini penting untuk menyelaraskan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang akan berlaku pada 2 Januari 2026. Dari ribuan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), isu-isu esensial seperti hak asasi manusia (HAM) menjadi prioritas pembahasan. Secara filosofis, pembaruan hukum acara pidana identik dengan reformasi sistem peradilan pidana itu sendiri, di mana penghormatan terhadap HAM menjadi dasar filosofis utama. Konkritnya, hal ini berkaitan erat dengan kewenangan negara untuk menegakan hukum terhadap individu yang diduga melakukan tindak pidana dengan tetap menjunjung tinggi HAM. Keseimbangan antara kewenangan negara dan perlindungan HAM ini menuntut penguatan prinsip check and balances serta pengawasan berimbang antar-institusi penegak hukum yang terintegrasi.Sistem peradilan pidana yang ideal adalah sebuah sistem terpadu yang terdiri dari subsistem penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pemasyarakatan yang saling terintegrasi. Dalam konteks ini, Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya memegang peran krusial, khususnya dalam mengawasi tahap pra-ajudikasi.Mekanisme atau konsep pengawasan ini dikenal sebagai judicial scrutiny atau hakim pemeriksa pendahuluan. Namun, dalam draf RKUHAP terbaru (20 Maret 2025), aturan mengenai judicial scrutiny tidak lagi dimuat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran serius dan perlu dikaji ulang urgensi pengaturannya.Relevansi Asas Diferensiasi Fungsional dalam Politik Hukum Acara Pidana di IndonesiaSebagai implementasi prinsip check and balance, judicial scrutiny berfungsi mengawasi proses peradilan pidana pada tahap pra-ajudikasi, sebelum perkara pokok diperiksa. Tujuannya adalah memastikan proses pemeriksaan berjalan sesuai hukum dan tidak melanggar prinsip HAM. Namun, mekanisme ini sulit diwujudkan dalam RKUHAP karena secara konsep bertentangan dengan asas diferensiasi fungsional yang masih dianut dalam politik hukum acara pidana Indonesia. Asas diferensiasi fungsional yang menjadi landasan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, menegaskan bahwa setiap aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) memiliki peran, fungsi, dan tanggung jawab yang  berbeda dan terpisah satu sama lain. Di satu sisi, asas ini memberikan independensi kepada masing-masing Lembaga dalam melaksanakan fungsinya. Namun di sisi lain, dapat menciptakan fragmentasi kewenangan yang justru menghambat terjadinya integrasi. Tanpa mekanisme check and balance yang memadai, kewenangan yang terlalu independen berpotensi untuk disalahgunakan (abuse of power).Contoh nyata terlihat dalam pelaksanaan upaya, dimana KUHAP mengatur koordinasi dengan pengadilan, misalnya untuk memperoleh izin atau persetujuan penyitaan dan penggeledahan dari Ketua Pengadilan. Namun, koordinasi ini hanya bersifat formalistik-administratif, dimana Ketua Pengadilan seolah bertindak isebagai pemberi "stempel" perizinan atau persetujuan tanpa kewenangan untuk memeriksa substansi, misalnya apakah upaya paksa tersebut proporsional, sesuai prosedur, atau tidak melanggar HAM. Dalam konteks penahanan misalnya, Pasal 21 KUHAP menentukan syarat subjektif dengan adanya frasa "kekhawatiran" bahwa tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana. Penerapan syarat ini seringkali didasarkan pada asumsi pribadi tanpa parameter yang terukur dan jelas. Pola koordinasi formal seperti ini adalah cerminan nyata dari implementasi asas diferensiasi fungsional, di mana satu institusi tidak berhak "mencampuri" urusan institusi lain. Pertanyaannya, jika judicial scrutiny adalah solusi untuk mereintegrasi sistem peradilan pidana, masih relevankah asas diferensiasi fungsional diberlakukan, mengingat kedua prinsip ini kontradiktif. Judicial scrutiny justru menghendaki campur tangan pengadilan secara pre-vactum (sejak awal) untuk mengawasi proses hukum, yang secara konseptual bertentangan dengan esensi asas diferensiasi fungsional.Kelemahan Praperadilan dan Perluasan Makna Kekuasaan KehakimanSecara normatif, KUHAP sebenarnya telah menyediakan sarana pengawasan melalui lembaga praperadilan (Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP), yang kemudian diperluas objeknya oleh Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014. Namun, praperadilan memiliki kelemahan fundamental sebagai berikut:Bersifat Post-Vactum: Pengadilan hanya bisa menguji legalitas upaya paksa setelah upaya tersebut diajukan oleh pihak yang dirugikan. Tidak ada pengawasan preventif (pre vactum). Hanya Menguji Aspek Formil: Pengujian terbatas pada pemenuhan prosedur administratif (kuantitas bukti) tanpa menyentuh aspek materil atau kualitas bukti. Misalnya, pengadilan tidak berwenang menguji alasan "kekhawatiran" subjektif yang dijadikan dasar penahanan atau pengadilan tidak berwenang menilai perolehan alat bukti yang diajukan.Memberatkan Tersangka: Beban pembuktian ada pada pemohon (tersangka), yang seringkali sangat sulit mengakses alat bukti yang dikuasai oleh aparat penegak hukum itu sendiri.Oleh karena itu, praperadilan dinilai kurang memadai untuk menjalankan fungsi pengawasan yang efektif pada tahap pra-ajudikasi. Paradigma ini perlu diubah dengan menegaskan makna kekuasaan kehakiman menurut Pasal 24 UUD 1945 dalam arti luas. Pemaknaan Kekuasaan kehakiman tidak hanya terbatas pada kekuasaan mengadili (tahap ajudikasi), tetapi juga mencakup kekuasaan untuk mengawasi proses penegakan hukum secara keseluruhan. Mahkamah Agung seyogyanya menjadi otoritas pengawasan tertinggi (the top leader) yang independen atas seluruh proses penegakan hukum. Pemberian posisi aktif kepada hakim sebagai pengawas legalitas sejak tahap awal (pre-vactum) melalui mekanisme judicial scrutiny adalah konsekuensi logis dari penerapan Integrated Criminal Justice System substantif.PenutupPengaturan judicial scrutiny dalam RKUHAP bukan hanya sebuah kemungkinan, melainkan sebuah keharusan konstitusional untuk mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu yang substantif. Penghapusan mekanisme ini dalam draf terbaru justru merupakan langkah mundur yang berpotensi melanggengkan asas diferensiasi fungsional yang sudah usang dan abai terhadap prinsip check and balances. Pemberian kewenangan kepada pengadilan untuk melakukan pengawasan sejak tahap pre-factum merupakan instrumen krusial untuk menegaskan fungsi Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi yang independen, menjamin due process of law, dan yang terpenting, menempatkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia sebagai fondasi utama dalam setiap proses penegakan hukum di Indonesia. Dengan diaturnya judicial scrutiny, pengadilan dapat memberikan kontrol yudisial yang proaktif. Hakim dapat memeriksa substansi dan kualitas alat bukti yang dijadikan dasar setiap upaya paksa, memastikan tidak ada kesewenang-wenangan, dan menjunjung tinggi hak tersangka atau terdakwa yang dihadapkan dalam proses penegakan hukum. (ypy/ldr) Referensi:Devi Kartika Sari, Dr. Prija Djatmika, S.H.,M.S., dan Faizin Sulistio, S.H, L.L.M., “Analisis Yuridis Kedudukan Hakim Pemeriksa Pendahuluan Sebagai Upaya Pembaharuan Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia), Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum, Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2015, hlm. 16, http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/1005 diakses pada Senin, 8 September 2025Diferensiasi Fungsional Kejaksaan dan Kepolisian dalam  Integrated Criminal Justice System (ICJS) Ibnu Sina Chandranegara  Universitas Muhammadiyah Jakarta. National Multidisciplinary Sciences UMJember Proceeding Series (2025) Vol. 4, No. 3: 1-6 Lovina Sustira Dirga, Judicial Scrutiny melalui Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam RKUHAP, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), 2022

Lintasan Sejarah Pengawasan Hakim (Judicial Scrutiny) dalam Hukum Acara Pidana Indonesia

article | Berita | 2025-06-26 12:00:31

“Paling penting mekanisme pengawasan melalui judicial scrutiny. Bagaimana pengadilan melakukan mekanisme pengawasan.” Demikian disampaikan Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Profesor Harkristuti Harkrisnowo saat menjadi narasumber dalam Webinar Sosialisasi RUU KUHAP: Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Efisien, Adil dan Terpadu, pada 28 Mei 2025, sebagaimana dikutip dari Hukumonline pada 2 Juni 2025. Prof. Tuti, begitu beliau biasa dipanggil, juga menambahkan bahwa pengawasan terhadap aparat penegak hukum menurut dapat dilakukan dengan 4 sistem yakni horizontal, vertikal, eksternal, dan internal. Pengawasan horizontal tidak dapat diandalkan karena sesama aparat di lembaga yang sama sehingga sulit menegakkan aturan. Pengawasan vertikal dilakukan atasan, tapi sangat dependen dengan kualitas individu atasan itu sendiri dalam mengawasi bawahannya. Menurutnya pengawasan eksternal sangat penting, yang dapat dilakukan lembaga lain. Atau malah pengawasan internal. Senada dengan hal tersebut, Dr. Febby Mutiara Nelson, yang merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, juga menyatakan bahwa konsep judicial scrutiny merupakan hal yang penting karena setiap tindakan upaya paksa (tindakan yang membatasi hak) oleh penegak hukum harus diperiksa dan diuji oleh forum yang terbuka dan berimbang. Dalam forum tersebut, penegak hukum dan orang yang dibatasi haknya dapat berkontestasi secara terbuka dan kemudian pada akhirnya diputuskan oleh hakim sebagai pihak yang diposisikan independen. Hal tersebut disampaikan Dr. Febby dalam diskusi “Tantangan dan Peluang Peran Hakim dalam Mekanisme Checks and Balances Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dalam R-KUHAP” yang diadakan Forum Kajian Dunia Peradilan (FKDP) pada Minggu, 22 Juni 2025. Menurutnya, keberadaan hakim dalam konsep judicial scrutiny ini dapat menjamin Hak Asasi Manusia, karena tindakan yang dilakukan oleh Penyidik dan Penuntut umum dapat dikontrol dan diawasi oleh Hakim. Dalam sejarah di Indonesia, pengawasan hakim ini sudah muncul dari tahun 1954. Daniel S. Lev dalam tulisannya berjudul Politik Pengembangan Kekuasaan Kehakiman mencatat bahwa Persatuan Jaksa pernah mengirimkan surat kepada Ikatan Hakim pada 22 September 1954 mengenai pengawasan oleh hakim. Jaksa saat itu berdalih bahwa tugas menghakimi dan menuntut adalah fungsi yang berbeda dalam proses yang sama, kedua-duanya penting dan setara dalam pembagian kerja. Di sisi lain, para hakim berpendapat bahwa hakim memiliki kekuasaan pengawasan tertentu sebagai pihak ketiga yang obyektif antara jaksa dan terdakwa. Para hakim menyatakan bahwa subordinasi penuntut kepada hakim dapat dilihat dari kenyataan bahwa hakim bertanggung jawab dalam pemberian izin untuk melakukan penggeledahan rumah (Herzien Inlandsch Reglement (HIR) pasal 77-78), perpanjangan penahanan Terdakwa (HIR pasal 83c/4) dan penentuan kapan pemeriksaan pendahuluan harus diselesaikan (HIR pasal 83d/1). Diskursus ini mengemuka saat Hukum Acara Pidana hendak diubah melalui perubahan HIR dan Undang-Undang mengenai Organisasi Kehakiman. Namun, hal ini tidak pernah selesai dibahas. Perubahan hukum acara pidana dan pengawasan hakim muncul kembali dalam perdebatan saat penyusunan UU Kekuasaan Kehakiman tahun 1970. Daniel S. Lev dalam tulisannya yang lain Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Negara Hukum: Sebuah Sketsa Politik menuliskan bahwa Pengadilan memperoleh perhatian lebih besar daripada masa sebelumnya dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, terutama sebagai simbol adanya perubahan pandangan terhadap negara hukum. Pandangan yang sangat menekankan pentingnya pemberian jaminan atas hak-hak perseorangan dan pembatasan atas kekuasaan politik. Pandangan ini adalah esensi perdebatan mengenai UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU 14/1970). Penguatan posisi pengadilan ini didukung oleh para advokat, mahasiswa, cendekiawan liberal, beberapa partai politik dan kalangan pengusaha yang tidak dekat dengan lingkaran kekuasaan. Dukungan dan perhatian terhadap perubahan hukum acara pidana pada UU 14/1970 dititikberatkan pada penghormatan atas hak-hak perseorangan dalam hukum acara pidana. Lebih lanjut, bagi kalangan advokat kepentingan dan hak-hak perseorangan akan lebih dilindungi bila kekuasaan penguasa dikurangi dan kekuasaan pengadilan ditingkatkan. Terutama jika Pengadilan benar-benar bekerja sesuai dengan ketentuan formal atau dengan kata lain jika badan kehakiman dibedakan secara tajam dari birokrasi pemerintahan. Badan kehakiman dianggap sebagai lembaga yang paling menguntungkan (least unfavourable institution) yang harus dihadapi individu. Dukungan ini datang karena Pengadilan dianggap merupakan forum pembelaan diri yang obyektif. Saat tahun 1969, dimana tindak pidana subversi banyak menjerat masyarakat, seseorang dapat ditahan untuk jangka waktu yang lama tanpa diadili. Namun demikian, Pengadilan menyediakan forum untuk membela diri bagi mereka yang didakwa melakukan kejahatan politik. Pengadilan juga acapkali menjatuhkan pidana yang ringan jika hakim-hakim yang menangani perkara tersebut tergolong berani. Daniel S. Lev juga mencatat bahwa kelompok Hak Asasi Manusia yang mulai tumbuh pada akhir 1960 dan 1970an menginginkan terlindungnya hak-hak individu saat berhadapan dengan kekuasaan pemerintah. Mereka menginginkan adanya pengadilan yang lebih kuat, dan menginginkan perlindungan yang lebih besar bagi Terdakwa. Kelemahan dalam sistem peradilan, sangat erat berkait dengan buruknya perlindungan hak-hak perseorangan. Para advokat dan kelompok HAM sudah lama mengeluh bahwa jaminan hak asasi manusia sangat terbatas diberikan oleh hukum acara pidana dan aparat penegak hukum pun kerap mengesampingkan hal tersebut. Saat itu Hakim bersimpati dengan usaha-usaha memperbaiki hukum acara pidana. Pada akhirnya, UU 14/1970 yang diundangkan mengakui hak-hak terdakwa, namun pengakuan tersebut sangatlah lemah. UU 14/1970 dalam Pasal 7 melarang semua penangkapan, penahanan, penggeledahan, penahanan dan penyitaan tanpa adanya perintah tertulis atau bertentangan dengan prosedur. Pasal 9 juga membebankan tanggung jawab ke pundak pemerintah untuk penahanan dan pemidanaan yang tidak sesuai aturan karena abus de pouvoir (penyalahgunaan kekuasaan) pejabat dalam proses pidana. Hak untuk memperoleh penasihat hukum juga termaktub dalam Pasal 35. Pasal 36 juga menyatakan bahwa seorang tersangka dapat didampingi oleh penasihat hukum sejak saat penangkapan atau penahanan. Namun, dalam praktiknya yang terjadi adalah sebaliknya. Hak-hak individual atau tersangka dalam hukum acara pidana kerap dilanggar oleh aparat penegak hukum. Penyebabnya adalah pengaturan dalam UU 14/1970 terkait hukum acara pidana memerlukan adanya peraturan tambahan tersendiri. Daniel S. Lev juga menuliskan bahwa tersangka kerap tidak diizinkan bertemu dengan Penasihat Hukum saat penyelidikan dan penyidikan karena haknya tersebut sangat tergantung dengan perkenan dari pejabat yang memeriksa tersangka. Pada tahun 1981, isu-isu tersebut yakni perlindungan hak-hak asasi manusia, terutama bagi tersangka/terdakwa, dan profesionalitas penegakan hukum dalam konteks hukum acara pidana juga diperbincangkan secara intensif dalam perumusan sistem hukum acara pidana Indonesia yang baru melalui KUHAP, yang disahkan dan berlaku pada 31 Desember 1981. Namun demikian, Institute for Criminal Justice Reform dalam bukunya AUDIT KUHAP: Studi Evaluasi terhadap Keberlakuan Hukum Acara Pidana Indonesia memberikan catatan bahwa KUHAP 1981 dianggap membuka pula ruang korupsi yang sangat besar dalam sistem peradilan pidana. Otonomi fungsi penegakan hukum yang diusung melalui diferensiasi fungsional tersebut semakin mempertegas sektoral kelembagaan dan berdampak negatif pada profesionalitas aparat penegak hukum. (LDR)