Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) kembali digalakkan melalui forum akademik dan legislasi oleh Komisi III DPR RI bersama pemerintah. Pembahasan ini penting untuk menyelaraskan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang akan berlaku pada 2 Januari 2026. Dari ribuan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), isu-isu esensial seperti hak asasi manusia (HAM) menjadi prioritas pembahasan.
Secara
filosofis, pembaruan hukum acara pidana identik dengan reformasi sistem
peradilan pidana itu sendiri, di mana penghormatan terhadap HAM menjadi dasar
filosofis utama. Konkritnya, hal ini berkaitan erat dengan kewenangan negara untuk
menegakan hukum terhadap individu yang diduga melakukan tindak pidana dengan
tetap menjunjung tinggi HAM. Keseimbangan antara kewenangan negara dan
perlindungan HAM ini menuntut penguatan prinsip check and balances serta pengawasan berimbang antar-institusi
penegak hukum yang terintegrasi.
Sistem peradilan pidana yang ideal adalah sebuah sistem terpadu yang terdiri dari subsistem penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pemasyarakatan yang saling terintegrasi. Dalam konteks ini, Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya memegang peran krusial, khususnya dalam mengawasi tahap pra-ajudikasi.
Baca Juga: Urgensi Reformulasi Peran dan Kedudukan Hakim dalam Revisi KUHAP
Mekanisme atau konsep pengawasan ini dikenal sebagai judicial scrutiny atau hakim pemeriksa
pendahuluan. Namun, dalam draf RKUHAP terbaru (20 Maret 2025), aturan mengenai judicial scrutiny tidak lagi dimuat. Hal
ini menimbulkan kekhawatiran serius dan perlu dikaji ulang urgensi
pengaturannya.
Relevansi Asas Diferensiasi
Fungsional dalam Politik Hukum Acara Pidana di Indonesia
Sebagai implementasi prinsip check and balance, judicial scrutiny berfungsi mengawasi proses peradilan pidana pada tahap pra-ajudikasi, sebelum perkara pokok diperiksa. Tujuannya adalah memastikan proses pemeriksaan berjalan sesuai hukum dan tidak melanggar prinsip HAM. Namun, mekanisme ini sulit diwujudkan dalam RKUHAP karena secara konsep bertentangan dengan asas diferensiasi fungsional yang masih dianut dalam politik hukum acara pidana Indonesia.
Asas diferensiasi fungsional yang menjadi landasan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, menegaskan bahwa setiap aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) memiliki peran, fungsi, dan tanggung jawab yang berbeda dan terpisah satu sama lain. Di satu sisi, asas ini memberikan independensi kepada masing-masing Lembaga dalam melaksanakan fungsinya.
Namun di sisi lain, dapat
menciptakan fragmentasi kewenangan yang justru menghambat terjadinya integrasi.
Tanpa mekanisme check and balance
yang memadai, kewenangan yang terlalu independen berpotensi untuk disalahgunakan
(abuse of power).
Contoh nyata terlihat dalam pelaksanaan upaya, dimana KUHAP mengatur koordinasi dengan pengadilan, misalnya untuk memperoleh izin atau persetujuan penyitaan dan penggeledahan dari Ketua Pengadilan. Namun, koordinasi ini hanya bersifat formalistik-administratif, dimana Ketua Pengadilan seolah bertindak isebagai pemberi "stempel" perizinan atau persetujuan tanpa kewenangan untuk memeriksa substansi, misalnya apakah upaya paksa tersebut proporsional, sesuai prosedur, atau tidak melanggar HAM.
Dalam konteks penahanan misalnya, Pasal 21 KUHAP menentukan syarat subjektif dengan adanya frasa "kekhawatiran" bahwa tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana. Penerapan syarat ini seringkali didasarkan pada asumsi pribadi tanpa parameter yang terukur dan jelas.
Pola
koordinasi formal seperti ini adalah cerminan nyata dari implementasi asas
diferensiasi fungsional, di mana satu institusi tidak berhak
"mencampuri" urusan institusi lain. Pertanyaannya, jika judicial scrutiny adalah solusi untuk
mereintegrasi sistem peradilan pidana, masih relevankah asas diferensiasi
fungsional diberlakukan, mengingat kedua prinsip ini kontradiktif. Judicial scrutiny justru menghendaki
campur tangan pengadilan secara pre-vactum
(sejak awal) untuk mengawasi proses hukum, yang secara konseptual bertentangan
dengan esensi asas diferensiasi fungsional.
Kelemahan Praperadilan dan
Perluasan Makna Kekuasaan Kehakiman
Secara normatif, KUHAP sebenarnya telah menyediakan sarana
pengawasan melalui lembaga praperadilan (Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP),
yang kemudian diperluas objeknya oleh Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014. Namun,
praperadilan memiliki kelemahan fundamental sebagai berikut:
- Bersifat
Post-Vactum: Pengadilan hanya bisa
menguji legalitas upaya paksa setelah upaya tersebut diajukan oleh pihak yang
dirugikan. Tidak ada pengawasan preventif (pre
vactum).
- Hanya
Menguji Aspek Formil: Pengujian terbatas pada pemenuhan prosedur administratif
(kuantitas bukti) tanpa menyentuh aspek materil atau kualitas bukti. Misalnya,
pengadilan tidak berwenang menguji alasan "kekhawatiran" subjektif
yang dijadikan dasar penahanan atau pengadilan tidak berwenang menilai
perolehan alat bukti yang diajukan.
- Memberatkan
Tersangka: Beban pembuktian ada pada pemohon (tersangka), yang seringkali
sangat sulit mengakses alat bukti yang dikuasai oleh aparat penegak hukum itu
sendiri.
Oleh karena itu, praperadilan dinilai kurang memadai untuk menjalankan fungsi pengawasan yang efektif pada tahap pra-ajudikasi. Paradigma ini perlu diubah dengan menegaskan makna kekuasaan kehakiman menurut Pasal 24 UUD 1945 dalam arti luas. Pemaknaan Kekuasaan kehakiman tidak hanya terbatas pada kekuasaan mengadili (tahap ajudikasi), tetapi juga mencakup kekuasaan untuk mengawasi proses penegakan hukum secara keseluruhan.
Mahkamah Agung
seyogyanya menjadi otoritas pengawasan tertinggi (the top leader) yang independen atas seluruh proses penegakan
hukum. Pemberian posisi aktif kepada hakim sebagai pengawas legalitas sejak
tahap awal (pre-vactum) melalui
mekanisme judicial scrutiny adalah
konsekuensi logis dari penerapan Integrated
Criminal Justice System substantif.
Penutup
Pengaturan judicial scrutiny dalam RKUHAP bukan hanya sebuah kemungkinan, melainkan sebuah keharusan konstitusional untuk mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu yang substantif. Penghapusan mekanisme ini dalam draf terbaru justru merupakan langkah mundur yang berpotensi melanggengkan asas diferensiasi fungsional yang sudah usang dan abai terhadap prinsip check and balances.
Pemberian kewenangan kepada pengadilan untuk melakukan pengawasan sejak tahap pre-vactum merupakan instrumen krusial untuk menegaskan fungsi Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi yang independen, menjamin due process of law, dan yang terpenting, menempatkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia sebagai fondasi utama dalam setiap proses penegakan hukum di Indonesia. Dengan diaturnya judicial scrutiny, pengadilan dapat memberikan kontrol yudisial yang proaktif.
Hakim
dapat memeriksa substansi dan kualitas alat bukti yang dijadikan dasar setiap
upaya paksa, memastikan tidak ada kesewenang-wenangan, dan menjunjung tinggi
hak tersangka atau terdakwa yang dihadapkan dalam proses penegakan hukum. (ypy/ldr)
Referensi:
Devi
Kartika Sari, Dr. Prija Djatmika, S.H.,M.S., dan Faizin Sulistio, S.H, L.L.M.,
“Analisis Yuridis Kedudukan Hakim Pemeriksa Pendahuluan Sebagai Upaya
Pembaharuan Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia),
Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum, Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2015, hlm.
16, http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/1005
diakses pada Senin, 8 September 2025
Baca Juga: Lintasan Sejarah Pengawasan Hakim (Judicial Scrutiny) dalam Hukum Acara Pidana Indonesia
Diferensiasi
Fungsional Kejaksaan dan Kepolisian dalam
Integrated Criminal Justice System (ICJS) Ibnu Sina Chandranegara Universitas Muhammadiyah Jakarta. National
Multidisciplinary Sciences UMJember Proceeding Series (2025) Vol. 4, No. 3: 1-6
Lovina Sustira Dirga, Judicial Scrutiny melalui Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam RKUHAP, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), 2022
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI