Cari Berita

Dari Tiang Eksekusi ke Meja Refleksi, Evolusi Pidana Mati dalam Reformasi Hukum Pidana

article | Opini | 2025-10-13 15:20:12

Pidana mati sejak lama menjadi bagian paling kontroversial dalam sistem hukum pidana Indonesia. Ia dipandang sebagai bentuk hukuman tertinggi terhadap pelaku kejahatan luar biasa, namun sekaligus menuai kritik karena dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia, khususnya hak untuk hidup sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Dalam konteks reformasi hukum pidana, lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) dan Rancangan Undang-Undang tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati (RUU TPPM) menjadi momentum penting untuk menata ulang konsep, fungsi, dan mekanisme pelaksanaan pidana mati di Indonesia.Kedua instrumen hukum ini menandai pergeseran paradigma dari pendekatan retributif menuju pendekatan lebih manusiawi, proporsional, dan berkeadilan, tanpa sepenuhnya menghapus eksistensi pidana mati dalam sistem hukum nasional.1. Pidana Mati dalam KUHP Nasional (UU No. 1 Tahun 2023)KUHP 2023 membawa perubahan mendasar terhadap konsep pidana mati. Dalam Pasal 100, ditegaskan bahwa pidana mati tidak lagi bersifat absolut, melainkan bersifat khusus dan alternatif, yang hanya dapat dijatuhkan secara selektif terhadap tindak pidana tertentu seperti pembunuhan berencana, terorisme, dan kejahatan terhadap keamanan negara.Lebih jauh, KUHP memperkenalkan sistem pidana mati bersyarat (conditional death penalty), yakni pelaksanaan hukuman mati dapat ditunda selama 10 tahun apabila terpidana menunjukkan penyesalan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi perbuatannya. Setelah masa tersebut, Presiden dapat mengubah pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup.Pengaturan ini menegaskan bahwa pidana mati bukan lagi instrumen pembalasan mutlak, tetapi menjadi jalan terakhir (ultimum remedium) dengan ruang rehabilitasi moral bagi terpidana. Secara filosofis, konsep ini menempatkan manusia sebagai subjek hukum yang tetap memiliki nilai dan potensi perubahan.2. Tujuan dan Urgensi RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana MatiSejalan dengan paradigma baru dalam KUHP 2023, RUU TPPM disusun untuk memperbarui mekanisme pelaksanaan pidana mati yang sebelumnya masih merujuk pada Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang sudah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM modern.RUU TPPM bertujuan memberikan kepastian hukum, transparansi, serta perlindungan terhadap martabat manusia dalam pelaksanaan eksekusi. RUU ini memuat asas-asas penting, antara lain: penghormatan terhadap HAM, kemanusiaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas publik.Dengan demikian, keberadaan RUU ini melengkapi KUHP 2023 dalam tataran normatif dan implementatif. Jika KUHP mengatur kapan pidana mati dijatuhkan, maka RUU TPPM mengatur bagaimana pidana itu dilaksanakan secara etis, transparan, dan beradab.3. Dimensi Kemanusiaan dan Hak Asasi dalam RUU TPPMRUU TPPM mengandung berbagai ketentuan yang memperkuat dimensi kemanusiaan, antara lain:pelaksanaan pidana mati tidak boleh dilakukan di depan umum;penundaan eksekusi bagi perempuan hamil, ibu menyusui, atau orang dengan gangguan jiwa;jaminan hak untuk berkomunikasi dengan keluarga dan penasihat hukum;hak untuk memilih cara pengurusan jenazah serta lokasi pemakaman.Selain itu, RUU ini juga menegaskan adanya pendampingan psikolog dan rohaniawan menjelang eksekusi, yang mencerminkan perhatian negara terhadap aspek spiritual dan psikologis terpidana.Dengan ketentuan tersebut, RUU TPPM tidak hanya berfungsi administratif, tetapi juga menjadi manifestasi konkret penghormatan terhadap martabat manusia, sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan prinsip due process of law.4. Keterkaitan dan Konsistensi dengan Prinsip-Prinsip KUHP 2023Antara KUHP 2023 dan RUU TPPM terdapat kesinambungan substansial. KUHP memberikan dasar normatif bahwa pelaksanaan pidana mati harus menunggu masa percobaan 10 tahun (Pasal 100 ayat 2), sedangkan RUU TPPM menyediakan mekanisme administratif dan prosedural agar ketentuan tersebut dapat diterapkan secara seragam oleh lembaga eksekutif, khususnya Kejaksaan Agung.Konsistensi ini memperkuat asas kepastian hukum dan non-diskriminasi. Misalnya, RUU TPPM mengatur bahwa pelaksanaan pidana mati hanya dapat dilakukan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap (BHT), permohonan grasi ditolak, dan masa percobaan berakhir tanpa pengampunan. Dengan demikian, peluang salah eksekusi dapat diminimalkan.Namun, secara filosofis tetap muncul kritik: bila negara memberi ruang pengampunan selama 10 tahun, apakah itu berarti negara sendiri mengakui bahwa pidana mati pada dasarnya bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat? Pertanyaan ini memperlihatkan bahwa pidana mati, meskipun telah dilembutkan secara prosedural, tetap menyimpan dilema moral.5. Aspek Sosiologis dan EtisSecara sosial, sebagian masyarakat masih mendukung pidana mati sebagai bentuk keadilan bagi korban dan efek jera bagi pelaku kejahatan berat, khususnya kasus narkotika, pembunuhan berencana, dan korupsi besar. Namun, dari perspektif sosiologis, belum terdapat bukti empiris bahwa pidana mati secara signifikan menurunkan angka kejahatan.Dari sudut etika hukum, KUHP 2023 dan RUU TPPM mencoba berdiri di tengah-tengah antara tuntutan keadilan retributif dan nilai kemanusiaan universal. Negara tidak serta-merta menghapus pidana mati, tetapi menundanya, memberi waktu introspeksi, dan membuka peluang pengampunan. Ini mencerminkan kompromi moral dan politik hukum: mempertahankan ancaman pidana mati demi ketertiban sosial, namun mengendalikannya dalam koridor kemanusiaan.PenutupPengaturan pidana mati dalam KUHP Nasional (UU No. 1 Tahun 2023) dan rancangan RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati merupakan langkah progresif menuju sistem hukum pidana yang lebih modern dan manusiawi. Pidana mati kini tidak lagi menjadi hukuman absolut, melainkan pidana khusus bersyarat dengan masa percobaan 10 tahun, memberikan peluang bagi rehabilitasi moral dan spiritual terpidana.RUU TPPM melengkapi KUHP Nasional dengan menetapkan mekanisme pelaksanaan yang transparan, profesional, dan menghormati martabat manusia, sekaligus menjamin hak-hak terpidana menjelang eksekusi.Kendati demikian, secara substansial, keberadaan pidana mati tetap menyisakan pertentangan antara nilai kemanusiaan dan kepastian hukum. Negara memang berupaya menegakkan keadilan bagi korban dan masyarakat, tetapi juga harus terus menimbang tanggung jawab moral terhadap hak hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.SaranImplementasi KUHP 2023 dan RUU TPPM perlu disertai pembentukan mekanisme pengawasan independen, melibatkan Komnas HAM, LPSK, serta lembaga etik profesi hukum.Pemerintah dan akademisi perlu melakukan evaluasi periodik atas efektivitas pidana mati terhadap pencegahan kejahatan dan keseimbangan nilai keadilan.Dalam jangka panjang, Indonesia dapat mempertimbangkan moratorium atau penghapusan bertahap pidana mati, sejalan dengan tren hukum internasional dan nilai kemanusiaan Pancasila.Pendidikan hukum perlu menanamkan paradigma keadilan restoratif dan kemanusiaan, agar hukum tidak hanya menegakkan ketertiban, tetapi juga memulihkan nilai-nilai kemaslahatan sosial. (ldr)Penulis. Dr. Fauzan Prasetya, S.H., M.H., M.Kn-Hakim PN Tapaktuan.

Uji Publik RUU Pelaksanaan Pidana Mati, Tuaka Pidana MA Bahas Peran Peradilan

article | Berita | 2025-10-08 13:00:36

Jakarta– Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI), Prim Haryadi, menjadi salah satu pembicara utama dalam Webinar Uji Publik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, Rabu (8/10). Kegiatan ini juga menghadirkan Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy O.S. Hiariej, Jampidum Kejagung Asep Mulyana, Ahli Hukum Pidana Harkristuti Harkrisnowo, Kapolda Bangka Belitung Viktor Sihombing, dan Dirjen Peraturan Perundang-undangan Dhahana Putra.Dalam paparannya, Prim Haryadi menekankan bahwa RUU tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati merupakan tindak lanjut dari amanat Pasal 102 KUHP Nasional yang mewajibkan pengaturan tata cara pelaksanaan pidana mati dalam undang-undang. Ia juga mengingatkan bahwa Pasal 99 ayat (3) KUHP 2023 masih membuka peluang bentuk pelaksanaan pidana mati selain dengan cara menembak.“Perlu dilakukan penelitian mendalam untuk mencari bentuk eksekusi pidana mati yang paling manusiawi,” ujar Prim Haryadi.Prim Haryadi menjelaskan, KUHP Nasional mempertegas bahwa jika grasi terpidana mati ditolak dan pidana tersebut tidak dilaksanakan selama 10 tahun bukan karena pelarian terpidana, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup melalui Keputusan Presiden.Lebih lanjut, Prim Haryadi memaparkan tiga peran penting Mahkamah Agung dalam pelaksanaan pidana mati, yakni peran MA, Hakim, dan Pengadilan.Peran Mahkamah Agung, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) RUU tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, yakni menerima surat keputusan pemberitahuan pelaksanaan pidana mati.Peran Hakim, meliputi kewenangan menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun sebagaimana Pasal 100 KUHP 2023, Hakim Pengawas dan Pengamat (Wasmat) menghadiri pelaksanaan pidana mati sesuai pasal 24 ayat (1) RUU tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, dan menjalankan fungsi Hakim Wasmat sesuai Pasal 320 RUU KUHAP.Peran Pengadilan, yakni Pengadian menerima tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan lalu panitera mencatat dalam register pengawasan dan pengamatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 321 RUU KUHAP.Dalam webinar tersebut, Prim Haryadi juga mengapresiasi substansi RUU yang dinilai telah menempatkan pidana mati sebagai pidana khusus (ultimum remedium) yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.“RUU ini tidak hanya menegaskan bahwa pidana mati bukan lagi pidana pokok, tetapi juga menjamin hak-hak terpidana, seperti larangan penyiksaan, hak atas layanan kesehatan, serta hak advokat. Bahkan ada mekanisme masa percobaan 10 tahun yang memungkinkan perubahan hukuman mati menjadi seumur hidup,” ungkapnya.RUU ini juga dinilai memperkuat akuntabilitas pelaksanaan pidana mati, antara lain melalui keterlibatan Komnas HAM dalam pengawasan dan pengaduan, serta kewajiban publikasi pelaksanaan pidana mati melalui laman Kejaksaan Agung, dengan tetap menjaga privasi dan martabat terpidana.Webinar kemudian ditutup dengan sesi diskusi interaktif antara narasumber dan peserta dari berbagai kalangan, yang menyoroti perlunya keseimbangan antara penegakan hukum, penghormatan HAM, dan kepastian hukum dalam pelaksanaan pidana mati di Indonesia. IKAW/FAC

PN Baturaja Sumsel Vonis Mati Rumidi Pembunuh Berencana Wawan

article | Berita | 2025-09-15 19:05:27

Baturaja- Pengadilan Negeri (PN) Baturaja, Sumatera Selatan menjatuhkan hukuman mati kepada Terdakwa Rumidi karena terbukti melakukan pembunuhan berencana karena sakit hati. Bagaimana ceritanya?Peristiwa tragis terjadi pada Sabtu, tanggal 1 Februari 2025 sekitar pukul 07.30 WIB, yang disebabkan karena rasa sakit hati Terdakwa ketika mengetahui bahwa adiknya dipukul oleh Korban (Wawan) karena telah mencuri sawit yang dijaga oleh Korban. Merasa tidak terima perbuatan korban, lalu terdakwa berencana untuk membunuh Korban dengan berpura-pura meminta pertolongan malalui voice message (pesan suara) dari WhatsApp karena motornya rusak di Jembatan  Kisam di Jalan Lintas Baturaja-Prabumulih Desa Gunung Meraksa Kecamatan Lubuk Batang Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) dan meminta Korban datang membantu Terdakwa. Barang bukti yang digunakan Terdakwa yaitu pisau sepanjang ±30 cm yang digunakan untuk menusuk Korban saat Korban menemui Terdakwa di Jembatan.Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Ogan Komering Ulu (OKU) dengan dakwaan berlapis (subsidairitas) dengan Dakwaan Primair Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Dakwaan Subsidair Pasal 338 KUHP. “Bahwa terdapat luka-luka, luka robek sebanyak 3 buah di punggung kiri, terdapat luka robek dipunggung kanan 4 buah, luka pada lengan kanan dan kiri atas, terdapat luka gores pada pergelangan tangan kiri, tampak luka lecet sebanyak 2 buah pada tungkai kaki kiri. Luka robek tersebut diakibatkan benda tajam yang mengakibatkan pendarahan yang hebat yang menyebabkan kematian, ”ungkap dokter yang melakukan visum dari RSUD Ibnu Sutowo, dr. Yesiliana Joefen.Dalam pertimbangannya Majelis Hakim menjelaskan ada unsur dengan sengaja merampas nyawa orang lain, perbuatan dengan sadar dan diingini/dikehendaki menimbulkan suatu akibat ( willens en wetens veroorzaken van eengevolg). Hal itu terbukti dari hasil visum et repertum Nomor 443/406/XLV/1.3/2025 dan kesaksian dr Yesiliana Joefen bahwa Terdakwa menggunakan pisau untuk membunuh Korban. Unsur dengan direncanakan lebih dahulu, berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan Terdakwa mengatakan “lihatlah besok, aku yang mati atau dia yang mati” setelah bertemu dengan saksi yang merupakan adik Terdakwa, lalu Terdakwa berencana untuk membunuh Korban dan unsur Pasal 340 KUHP pun terpenuhi. Diketahui bahwa Penuntut Umum telah menuntut Terdakwa dengan hukuman mati.“Menyatakan Terdakwa Rumidi Bin Kirusli (alm) tersebut diatas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan secara berencana sebagaimana dalam Dakwaan Primair Penuntut Umum, menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu pidana mati, menetapkan Terdakwa tetap ditahan dan menetapkan barang bukti dirampas untuk negara dan membebankan biaya perkara kepada negara,” kata  Ketua Majelis, Yuli Artha Pujayotama saat pengucapan vonis di ruang sidang PN Baturaja.Adapun hakim anggota I Made Gede Kariana dan Ivan Bhakti Yudistira dan Panitera Pengganti, Rasida. Hal-hal yang memberatkan Terdakwa yaitu Terdakwa berbelit-belit di muka persidangan, perbuatan Terdakwa menimbulkan penderitaan kepada keluarga yang ditinggalkan karena korban adalah tulang punggung keluarga, perbuatan Terdakwa dinilai sangat sadis dan meresahkan Masyarakat. Selain itu antara Terdakwa dan Korban masih terikat hubungan saudara yang sudah seharusnya bisa saling mengasihi, melindungi dan mengayomi dan Terdakwa merasa tidak bersalah atas perbuatannya serta tidak ada satupun hal yang dapat meringankan Terdakwa.Putusan tersebut bukan diperoleh secara sesaat akan tetapi telah melewati pemikiran dan perenungan yang mendalam dari Majelis Hakim dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman berlandaskan sumber-sumber hukum yang ada dan tentunya hati nurani.Pidana mati masih diakui sebagai salah satu pidana pokok dalam sistem hukum pidana Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP. Atas vonis yang telah dijatuhkan oleh Majelis Hakim, Terdakwa mengajukan banding pada 11 September 2025 dan perkara tersebut masih dalam pemeriksaan oleh Majelis Hakim. (IKAW)

PN Putussibau Vonis Mati 4 Terdakwa Penyelundup 34,9 Kg Sabu dari Malaysia

article | Sidang | 2025-07-09 11:00:24

Putussibau- Pengadilan Negeri (PN) Putussibau, Kalimantan Barat (Kalbar) menjatuhkan vonis pidana mati terhadap empat dari lima terdakwa dalam kasus penyelundupan narkotika lintas negara. Keempat terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan membawa masuk sabu seberat 34.943 gram dari Malaysia ke Indonesia melalui jalur perbatasan.Satu terdakwa lainnya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Perkara ini terbagi dalam lima berkas terpisah dengan nomor 28/Pid.Sus/2025/PN Pts hingga 32/Pid.Sus/2025/PN Pts, dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim sekaligus Ketua PN Putussibau, Rina Lestari Br Sembiring, S.H., M.H.“Tindakan para terdakwa merupakan kejahatan luar biasa yang sangat membahayakan masyarakat dan masa depan bangsa,” kata Ketua Majelis Hakim saat membacakan putusan di ruang sidang utama PN Putussibau yang dipadati awak media dan keluarga terdakwa, Selasa (8/7/2025).Majelis hakim menyatakan vonis pidana mati dijatuhkan sebagai komitmen penegak hukum dalam memberantas kejahatan serta memberikan perlindungan maksimal bagi masyarakat dari ancaman peredaran gelap narkotika internasional.Untuk terdakwa kelima yang dijatuhi hukuman seumur hidup, majelis mempertimbangkan peran yang lebih kecil dalam jaringan serta beberapa faktor yang meringankan, meskipun keterlibatannya tetap dinilai serius.Wilayah Rawan PenyelundupanData PN Putussibau menunjukkan dalam lima tahun terakhir telah menjatuhkan satu vonis mati dan dua vonis seumur hidup untuk kasus serupa. Wilayah perbatasan Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, tercatat sebagai daerah rawan jalur masuk narkotika skala besar.Fenomena yang menjadi perhatian adalah banyak pelaku merupakan warga masyarakat perbatasan dengan pemahaman hukum terbatas, yang kerap dimanfaatkan jaringan narkotika sebagai perantara atau kurir.Putusan ini mengungkap keterlibatan jaringan lintas negara dalam peredaran narkotika melalui jalur perbatasan, dengan barang bukti dalam jumlah besar yang menyita perhatian publik.“PN Putussibau berkomitmen untuk menegakkan hukum dan keadilan secara proporsional demi melindungi masyarakat dari ancaman peredaran gelap narkotika,” tegas Ketua Pengadilan Negeri Putussibau kepada awak media setelah persidangan putusan selesai. Melalui putusan ini, PN Putussibau menegaskan komitmen menjaga kedaulatan hukum serta menunjukkan bahwa penegakan hukum di wilayah perbatasan dilakukan secara serius, adil, dan bertanggung jawab demi keselamatan masyarakat dan generasi mendatang.