Jakarta - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman 11 tahun penjara kepada tiga terdakwa, Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom. Mereka terbukti menerima suap terkait korporasi minyak goreng yang melibatkan Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group.
Putusan yang dibacakan pada 3 Desember 2025 sejak pukul 16.30 hingga 23.00 WIB ini sekaligus menetapkan pidana denda dan kewajiban uang pengganti bernilai miliaran rupiah. Majelis hakim menilai perkara ini bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan pengkhianatan mendalam terhadap sumpah jabatan dan merusak kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Putusan dibacakan oleh Ketua Majelis Efendi, S.H., dengan anggota Adek Nurhadi, S.H., dan hakim ad hoc Tipikor Andi Saputra, S.H., M.H. Ketiganya menyatakan bahwa para terdakwa terbukti menerima suap secara bersama-sama sebagaimana dakwaan alternatif kesatu subsidair. Majelis menegaskan bahwa modus yang digunakan bersifat terstruktur dan sistematis.
Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif
“Kejahatan yang dilakukan terdakwa Djuaymto dkk dilakukan secara terstruktur dan sistematis dengan sistem sel putus… apabila perbuatan itu terungkap maka antar sel menjadi terputus,” demikian pertimbangan majelis dalam putusan.
Majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 11 tahun bagi masing-masing terdakwa serta denda sebesar Rp500 juta subsider enam bulan kurungan. Selain itu, para terdakwa diwajibkan membayar uang pengganti: Djuaymto sebesar Rp9,21 miliar dan Agam Syarief Baharudin serta Ali Muhtarom masing-masing sebesar Rp6,40 miliar, dengan ketentuan jika tidak dibayar, diganti dengan pidana penjara empat tahun. Seluruh masa penahanan yang telah dijalani dikurangkan dari total pidana yang dijatuhkan.
Pertimbangan majelis menyoroti bahwa ketiga terdakwa yang merupakan hakim, justru melanggar tanggung jawab etik dan moral jabatan.
“Para terdakwa adalah seorang hakim sehingga perbuatannya adalah bentuk pengkhianatan terhadap sumpah jabatan… justru melanggar hukum dengan menerima suap untuk mempengaruhi putusan,” tulis majelis dalam pertimbangannya.
Untuk terdakwa Djuaymto, majelis menilai perbuatannya memiliki bobot moral lebih berat karena bertentangan dengan prinsip yang selama ini ia perjuangkan.
“Hal ini menunjukkan adanya inkonsistensi yang sangat serius antara ucapan dan perbuatan… membuat masyarakat bertanya, ‘Jika yang memperjuangkan independensi saja menerima suap, kepada siapa lagi kita bisa percaya?’”
Majelis juga menekankan prinsip noblesse oblige untuk memperkuat dasar pemidanaan.
“Semakin tinggi jabatan semakin besar tanggung jawabnya. Dalam bahasa Latin ‘corruptio optimi pessima’—kerusakan dari yang terbaik adalah yang terburuk,” demikian salah satu kutipan dalam putusan.
Sementara terhadap Ali Muhtarom, hakim ad hoc Tipikor, majelis menegaskan bahwa ia telah mengkhianati tujuan pembentukan hakim ad hoc yang lahir dari semangat Reformasi 1998.
“Hakim ad hoc Tipikor lahir dari semangat Reformasi 1998… namun terdakwa malah mengkhianati tujuan tersebut.”
Majelis menyimpulkan bahwa perbuatan para terdakwa dilakukan bukan karena kebutuhan, tetapi karena keserakahan.
“Perbuatan terdakwa telah mencoreng lembaga yudikatif… dilakukan bukan karena kebutuhan tetapi karena keserakahan (corruption by greed).”
Baca Juga: Jalan Tengah: Solusi Alternatif Penyelesaian dalam Pelanggaran HAM Berat
Putusan ini tidak hanya menjadi preseden hukum, tetapi juga pesan tegas bahwa integritas hakim merupakan fondasi utama keberlangsungan peradilan.
Juru Bicara PN Jakarta Pusat, Sunoto, S.H., M.H., menyampaikan bahwa perkara ini menunjukkan komitmen pengadilan dalam menegakkan integritas dan mencegah praktik suap di lingkungan peradilan. Putusan ini menjadi pengingat keras bahwa penyimpangan etik oleh aparatur peradilan berdampak langsung pada kepercayaan publik dan wibawa lembaga hukum di Indonesia.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI