Konsep "Peradilan adalah benteng terakhir penegakan hukum dan keadilan" merupakan adagium fundamental dalam sistem hukum Indonesia, yang menuntut implementasi nyata di setiap lembaga peradilan, bukan sekadar slogan, ungkapan ini merefleksikan ekspektasi bahwa institusi peradilan tidak hanya berfungsi secara teoretis, tetapi juga secara konkret mampu mengimplementasikan nilai-nilai hukum dan keadilan di masyarakat. Realisasi prinsip ini sangat bergantung pada kinerja individu yang menjalankan sistem peradilan, terutama para hakim.
Dalam menjalankan tugasnya, kinerja hakim dipengaruhi oleh setidaknya dua aspek fundamental: integritas hakim dan aspek perundang-undangan. Integritas diharapkan menjadi faktor dominan dan berpengaruh dalam pembentukan putusan yang adil. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, pada Pasal 5 ayat (2), secara tegas menyatakan bahwa "Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum."
Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung
Ketentuan ini merupakan prasyarat esensial bagi setiap individu yang memegang jabatan hakim. Lebih lanjut, persyaratan ini sekaligus menegaskan kedudukan terhormat hakim apabila ia sungguh-sungguh menjalankan tugasnya dalam menegakkan hukum dan keadilan yang selaras dengan ekspektasi masyarakat.
Tidak ada satu pun ajaran agama yang secara eksplisit menganjurkan perilaku buruk; sebaliknya, semua agama mengajarkan kebaikan dan moralitas dalam kehidupan bermasyarakat. Konsep integritas memiliki fondasi yang kuat dalam berbagai ajaran agama:
- Kristen: Kitab Perjanjian Lama, khususnya Amsal 2:9, mengajarkan konsep dan nilai dasar kehidupan berintegritas: "Maka engkau akan mengerti tentang kebenaran, keadilan, kejujuran, setiap jalan yang baik."
- Hindu: Integritas sangat terkait dengan konsep Dharma, yang merujuk pada kewajiban moral dan etika yang harus dijalani setiap individu. Dharma menekankan tindakan yang jujur, tanpa mementingkan diri sendiri atau merugikan orang lain, serta sangat erat dengan nilai-nilai kebenaran (Satya) dan keadilan (Rita) dalam kehidupan sehari-hari.
- Buddha: Integritas berhubungan dengan prinsip "Sila" atau moralitas. Salah satu ajaran utama dalam Buddhisme adalah larangan berbuat salah kepada sesama, termasuk berbicara jujur dan tidak menipu. Ajaran ini menekankan bahwa kedamaian dan kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui kehidupan yang selaras dengan moralitas yang benar.
- Islam: Konsep integritas dalam pendidikan karakter telah eksis sejak zaman Rasulullah SAW, dibuktikan dengan perintah Allah kepada Rasulullah untuk menyempurnakan akhlak umatnya. Substansi makna karakter dalam Islam sepadan dengan konsep akhlak, keduanya membahas perilaku manusia. Al-Ghazali (dalam Rusn, 1998) menjelaskan akhlak sebagai sikap yang mengakar kuat dalam jiwa, yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan.
Menurut Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025, karakter didefinisikan sebagai nilai-nilai khas-baik (pengetahuan tentang kebaikan, kemauan berbuat baik, manifestasi kehidupan baik, dan dampak positif terhadap lingkungan) yang terpateri dalam diri dan termanifestasi dalam perilaku. Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa seseorang atau kelompok orang.
Pembahasan mengenai akhlak dan karakter mengindikasikan substansi makna yang serupa, yaitu masalah moralitas manusia; tentang pengetahuan nilai-nilai baik yang seyogianya dimiliki seorang hakim dan tercermin dalam setiap perilaku serta perbuatannya. Perilaku ini merupakan hasil dari kesadaran diri. Individu yang memiliki nilai-nilai baik dalam jiwanya dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai pribadi yang berakhlak atau berkarakter.
Konsep pendidikan dalam Islam memandang bahwa manusia dilahirkan dengan tiga potensi fundamental (potensi lahiriah):
- Potensi berbuat baik terhadap alam.
- Potensi berbuat kerusakan terhadap alam.
- Potensi ketuhanan yang memiliki fungsi-fungsi non-fisik.
Perkembangan ketiga potensi ini diserahkan sepenuhnya kepada manusia, yang kemudian memunculkan pendekatan komprehensif dalam Islam meliputi unsur pengetahuan, akhlak, dan akidah. Akhlak senantiasa menjadi fokus utama dalam proses pendidikan Islam karena dianggap sebagai dasar bagi keseimbangan kehidupan manusia dan penentu keberhasilan potensi pedagogis lainnya. Prinsip akhlak terdiri dari empat pilar utama:
- Hikmah: Situasi psikis yang memungkinkan seseorang membedakan antara kebenaran dan kesalahan.
- Syajaah (keberanian): Keadaan psikis di mana seseorang menyalurkan atau menahan potensi emosional di bawah kendali akal.
- Iffah (kesucian): Pengendalian potensi selera atau keinginan di bawah kendali akal dan syariat.
- Adl (keadilan): Situasi psikis yang mengatur tingkat emosi dan keinginan sesuai kebutuhan hikmah saat dilepaskan atau disalurkan.
Prinsip akhlak ini menegaskan bahwa fitrah jiwa manusia terdiri dari potensi nafsu baik dan buruk. Namun, melalui pendidikan agama, manusia diharapkan dapat berlatih untuk mampu mengendalikan kecenderungan perbuatannya ke arah nafsu yang baik (Rofiah & Munadi, 2024: 118).
Lawrence M. Friedman (1975) dalam karyanya The Legal System, A Social Science Perspective, mengemukakan bahwa sistem hukum (legal system) merupakan satu kesatuan yang terdiri dari tiga unsur interdependen: struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum.
Baca Juga: Kode Etik Hakim dalam Perspektif Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu
Secara sederhana, struktur hukum berkaitan dengan lembaga atau institusi pelaksana hukum, atau dapat diartikan sebagai aparat penegak hukum. Substansi hukum mencakup keseluruhan asas, norma, dan aturan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. Unsur ketiga, kultur hukum, adalah kebiasaan atau budaya masyarakat yang menyertai dalam penegakan hukum, baik di kalangan masyarakat umum maupun aparat penegak hukum. Pada prinsipnya, kultur hukum suatu bangsa berkorelasi positif dengan kemajuan yang dicapai bangsa tersebut, sebab hukum suatu bangsa sesungguhnya mencerminkan kehidupan sosialnya (Rahardjo, 1986).
Friedman menganalogikan sistem hukum seperti sebuah pabrik, di mana "struktur hukum" adalah mesin, "substansi hukum" adalah produk atau hasil kerja mesin tersebut, dan "kultur hukum" adalah entitas yang memutuskan untuk mengoperasikan mesin serta bagaimana mesin itu digunakan. Dalam sebuah sistem hukum, aspek penegakan hukum (law enforcement) merupakan pusat aktivitas dalam kehidupan berhukum.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI