Yurisprudensi dan SEMA memiliki hubungan yang erat dalam membentuk kepastian hukum di Indonesia. Lalu bagaimana cara ‘mengawinkan’ keduanya?
Pendahuluan
Sistem peradilan di Indonesia bertumpu pada beberapa sumber hukum yang membentuk dan mengarahkan praktik hukum di pengadilan. Di antara sumber hukum tersebut, yurisprudensi dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) memegang peran penting dalam memberikan kepastian hukum dan keseragaman putusan pengadilan.
Yurisprudensi adalah putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan menjadi preseden bagi kasus-kasus serupa di masa depan. Sementara itu, SEMA merupakan pedoman resmi yang dikeluarkan Mahkamah Agung guna memberikan arahan terhadap penerapan hukum di seluruh tingkat peradilan.
Meskipun memiliki kedudukan yang berbeda dalam sistem hukum, yurisprudensi dan SEMA sering kali memiliki titik singgung dalam berbagai aspek hukum. Beberapa putusan yang telah menjadi yurisprudensi diperjelas atau diperluas cakupannya dalam SEMA, atau sebaliknya, SEMA mengkodifikasi prinsip yang telah berkembang dalam yurisprudensi. Dengan demikian, keduanya berperan dalam membentuk harmoni dalam sistem peradilan Indonesia.
Artikel ini akan mengupas empat contoh spesifik di mana terdapat kesamaan prinsip antara yurisprudensi dan rumusan kamar perkara dalam SEMA, serta bagaimana titik singgung tersebut memberikan dampak pada praktik hukum di Indonesia.
Prinsip Ne Bis In Idem: Perbedaan Subjek dalam Kasus yang Sama
Yurisprudensi Nomor Register 1226 K/Pdt/2001 menegaskan bahwa meski kedudukan subyeknya berbeda, tetapi obyek sama dengan perkara yang telah diputus terdahulu dan berkekuatan hukum tetap, maka gugatan dinyatakan nebis in idem.
SEMA Nomor 7 Tahun 2012, Sub Perdata Umum – XVII, Gugatan nebis in idem yang menentukan menyimpangi ketentuan Pasal 1917 KUHPerd Majelis Kasasi dapat menganggap sebagai nebis in idem meskipun pihaknya tidak sama persis dengan perkara terdahulu asalkan: pada prinsipnya pihaknya sama meskipun ada penambahan pihak dan status objek perkara telah ditentukan dalam putusan terdahulu.
Dalam praktik hukum, prinsip ne bis in idem berfungsi untuk mencegah terjadinya gugatan ganda terhadap objek yang telah diputus secara berkekuatan hukum tetap. Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah apakah perubahan dalam subjek gugatan dapat menghindarkan suatu perkara dari prinsip ini?
Yurisprudensi menyatakan bahwa perubahan dalam subjek gugatan tidak serta-merta menggugurkan prinsip ne bis in idem apabila objek yang disengketakan tetap sama. SEMA kemudian menegaskan prinsip ini dengan memberikan panduan yang lebih rinci bahwa perubahan kecil dalam subjek merupakan ne bis in idem.
Dengan demikian, titik singgung antara keduanya adalah bahwa perubahan dalam pihak yang berperkara tidak boleh menjadi celah untuk mengajukan gugatan baru terhadap objek yang telah diputus sebelumnya.
Hak Asuh Anak Pasca Perceraian
Yurisprudensi Nomor 126 K/Pdt/2001 menetapkan bahwa bila terjadi perceraian, anak yang masih di bawah umur pemeliharaannya diserahkan pada orang terdekat dan akrab dengan si anak yaitu ibu.
SEMA Nomor 1 Tahun 2017, Perdata umum, 1.d. menentukan bahwa hak ibu kandung untuk mengasuh anak di bawah umur setelah terjadinya perceraian dapat diberikan kepada ayah kandung sepanjang pemberian hak tersebut memberikan dampak positif terhadap tumbuh kembang anak dengan mempertimbangkan juga kepentingan/keberadaan/keinginan si anak pada saat proses perceraian.
Hak asuh anak merupakan aspek krusial dalam hukum keluarga yang sering kali menjadi sengketa dalam perceraian. Yurisprudensi secara umum mengakui bahwa ibu lebih pantas mendapatkan hak asuh karena kedekatan emosional dan perannya dalam kehidupan anak sejak dini. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua ibu dapat memberikan lingkungan yang optimal bagi tumbuh kembang anak.
Melihat kebutuhan hukum yang lebih dinamis, SEMA memberikan fleksibilitas dengan menegaskan bahwa hak asuh anak dapat diberikan kepada ayah apabila terdapat kondisi yang membuktikan bahwa anak akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik bersama ayahnya. Titik singgung antara kedua rujukan ini adalah bahwa hak asuh pada prinsipnya diberikan kepada ibu, tetapi dapat dialihkan kepada ayah dalam keadaan tertentu yang lebih menguntungkan bagi anak.
Konversi Mata Uang Asing dalam Putusan Pengadilan
Yurisprudensi Nomor 1/Yur/Pdt/2018 menyatakan bahwa Petitum untuk membayar sejumlah uang dalam mata uang asing harus memuat perintah Tergugat untuk melakukan konversi ke dalam mata uang rupiah sesuai kurs tengah Bank Indonesia pada saat pembayaran dilakukan.
SEMA Nomor 1 Tahun 2017, Perdata Umum, 1.e., menguatkan prinsip ini dengan menyatakan bahwa dalam hal hakim mengabulkan petitum untuk membayar sejumlah uang dalam mata uang asing, maka dalam diktum amar harus memuat pula perintah kepada Tergugat untuk melakukan konversi ke dalam mata uang rupiah sesuai “Kurs Tengah” yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada hari dan tanggal pelaksanaan pembayaran dilakukan (vide Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang).
Dalam transaksi keuangan internasional yang melibatkan mata uang asing, sering kali muncul permasalahan mengenai bagaimana pembayaran dalam mata uang asing harus dilakukan dalam konteks hukum Indonesia. Yurisprudensi memberikan panduan bahwa dalam putusan yang menyangkut pembayaran dalam mata uang asing, harus ada perintah untuk mengonversikannya ke Rupiah menggunakan kurs tengah Bank Indonesia.
SEMA kemudian mengadopsi prinsip ini dengan memberikan dasar hukum yang lebih kuat dari UU Mata Uang. Dengan demikian, titik singgungnya adalah bahwa konversi ke Rupiah wajib dilakukan dalam setiap putusan yang mengharuskan pembayaran dalam mata uang asing, dan patokan kurs yang digunakan adalah kurs tengah Bank Indonesia.
Kriteria Pembeli Beritikad Baik dalam Jual Beli Tanah
Yurisprudensi Nomor 6/Yur/Pdt/2018 menetapkan bahwa apabila jual beli tanah dilakukan dihadapan PPAT dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, atau membeli melalui kantor lelang negara pembeli tanah harus dipandang sebagai pembeli yang beritikad.
SEMA Nomor 4 Tahun 2016, Perdata, 4. memberikan kriteria lebih rinci tentang apa yang dimaksud dengan pembeli beritikad baik yakni dengan melakukan jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan dan melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal yang kaitan dengan objek Tanah yang diperjanjikan.
Dalam transaksi jual beli tanah, sering kali muncul persoalan mengenai status pembeli yang dapat dikategorikan sebagai pembeli beritikad baik. Yurisprudensi menyatakan bahwa pembeli yang melakukan transaksi dengan prosedur sah harus dianggap sebagai pembeli beritikad baik. Namun, SEMA menambahkan kriteria lebih lanjut, termasuk pengecekan status tanah, tidak adanya sengketa, serta verifikasi dokumen kepemilikan.
Dengan demikian, titik singgung antara yurisprudensi dan SEMA adalah bahwa pembeli yang mengikuti prosedur hukum yang berlaku harus dilindungi, tetapi perlindungan tersebut hanya diberikan jika pembeli telah melakukan uji tuntas (due diligence) terhadap status tanah yang dibelinya.
Kesimpulan
Yurisprudensi dan SEMA memiliki hubungan yang erat dalam membentuk kepastian hukum di Indonesia. Yurisprudensi sering kali menjadi pedoman awal yang kemudian diperjelas atau diperluas oleh SEMA, mencerminkan kebutuhan untuk menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan fleksibilitas dalam praktik peradilan. Titik singgung utama antara keduanya adalah:
Dengan harmonisasi antara yurisprudensi dan SEMA, sistem peradilan Indonesia dapat terus berkembang dalam memberikan keadilan yang lebih jelas, konsisten, dan adaptif terhadap dinamika hukum yang terus berubah.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum