Cari Berita

Saat Tradisi Bertemu Hukum, Peran Piring Gantung di Penyelesaian Konflik Serui

Bintoro Wisnu Prasojo-Hakim PN Serui - Dandapala Contributor 2025-09-04 15:15:46
Dok. Penulis.

Piring gantung merupakan piring tradisional yang berasal dari Papua, piring gantung, yang dikenal dalam bahasa Biak sebagai ben bepon, merupakan salah satu simbol budaya yang sangat penting bagi masyarakat Papua, khususnya Masyarakat Biak dan Serui.

Meskipun bukan produk asli lokal Papua, piring gantung memiliki sejarah panjang yang berakar dari interaksi antara pedagang Tiongkok dan masyarakat Papua berabad-abad lalu. Pedagang Tiongkok yang melintasi wilayah timur Indonesia, termasuk Papua, para pedagang dari Tiongkok ini membawa keramik sebagai bagian dari barang dagangan mereka.

Dalam beberapa kesempatan, para pedagang tersebut menetap di Papua dengan menikahi masyarakat setempat maupun tinggal di kawasan setempat dan memberikan piring antik sebagai simbol ikatan dan penghormatan.

Baca Juga: Jangan Kotori Piring Makanmu: Integritas Hakim dalam Pengadilan

Artefak piring gantung ini bukan sekadar piring keramik biasa, melainkan piring kuno asal Cina yang sering digantung di dinding rumah adat. Piring ini memiliki dekorasi khas seperti gambar ikan, naga, dan burung, serta inskripsi berbahasa Cina, yang menunjukkan sejarah perdagangan barter masa lalu antara pedagang Cina dan masyarakat Papua.

Secara historis, Piring Gantung telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Papua sejak berabad-abad lalu, di mana ia tidak hanya berfungsi sebagai barang berharga, tetapi juga memiliki berbagai fungsi sebagai simbol identitas budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi.dan beberapa fungsi lainnya yaitu:

  • Sebagai Mahar dalam Perkawinan: Dalam perkawinan, Piring gantung digunakan sebagai mas kawin yang wajib dibayarkan oleh pihak pria kepada keluarga wanita. Hal ini menandakan komitmen dan penghormatan terhadap ikatan keluarga.
  • Pelindung dan Pembawa Keberuntungan: Dengan berbagai symbol seperti symbol Naga, Ikan Koi dll, piring ini dipercaya memiliki kekuatan untuk melindungi rumah tangga dan membawa rezeki.
  • Tanda Terima Kasih dan Penyambutan: Piring gantung juga dipakai untuk menyambut tamu atau sebagai ungkapan rasa syukur dalam acara keluarga.
  • Permintaan Maaf dan Perdamaian: Piring gantung di beberapa perselisihan baik dijadikan alat untuk permintaan maaf kepada korban / pihak yang dirugikan.

 

Salah satu yang menjadi fokus di dalam fungsi piring gantung adalah untuk menjadi alat untuk mengajukan permintaan maaf. Di dalam sistem hukum adat yang kuat, pemaafan bukan hanya perasaan, tetapi sebuah proses hukum adat (adat istiadat) menjadi dasar struktur sosial dan penyelesaian konflik.

Dalam konteks ini, piring gantung bukan sekadar bentuk simbolisme, ia adalah bagian dari proses hukum adat yang sah. Pengakuan kesalahan diperlukan melalui tindakan nyata.

Penggantian atau pengorbanan (restitusi) harus dilakukan dalam bentuk barang, hewan, atau khususnya piring gantung. Pemaafan resmi dari korban atau keluarga korban adalah kunci untuk menyelesaikan konflik secara hukum-adat. Piring gantung, dalam hal ini, berfungsi sebagai Jaminan jaminan hubungan sosial (social contract), Alat restorasi kehormatan bagi pihak yang bersalah, Bukti bahwa proses hukum adat telah selesai secara sah.

Dalam era modern, sistem hukum negara Indonesia (hukum formal) sering kali tidak sepenuhnya mengakomodasi nilai-nilai adat seperti permintaan maaf berbentuk piring gantung. Namun, di wilayah Serui, hukum adat tetap menjadi bagian penting dari kehidupan sosial.

Bahkan, pemerintah dan lembaga kemanusiaan telah mulai mengakui pentingnya restorasi hubungan melalui rekonsiliasi berbasis kearifan lokal. Piring gantung, dalam konteks ini, bukan hanya peninggalan kuno, tetapi pengingat bahwa perdamaian sejati lahir dari pemaafan, pengakuan, dan tindakan nyata.

Piring gantung adalah Alat Hukum yang Lembut Dalam budaya Masyarakat serui, piring gantung adalah media hukum adat yang halus namun berdampak kuat, Ia tidak memperkuat rasa dendam, melainkan mematahkan rantai dendam, Ia bukan sekadar hiasan, tapi bukti bahwa manusia mampu memilih memaafkan dan bahwa pemaafan adalah bentuk kekuatan terbesar.

Di tengah konflik, perpecahan, dan kekerasan yang sering kali menghiasi isu, piring gantung mengajarkan kita: "Kesalahan bisa diperbaiki. Dendam bisa dilupakan. Dan perdamaian dimulai dari satu piring yang digantung di dinding."

Proses Permintaan Maaf:

  1. Melibatkan Tokoh Adat dan Keluarga: Permintaan maaf dengan piring gantung dilakukan secara resmi dan melibatkan tokoh adat, keluarga, dan pihak-pihak terkait. Pihak yang merasa bersalah membawa piring gantung sebagai simbol penghormatan dan tanda kesungguhan untuk memperbaiki hubungan yang mungkin renggang akibat konflik atau kesalahan.
  2. Penyerahan Piring Gantung secara Adat Piring gantung diserahkan dalam sebuah upacara adat yang khidmat dan disaksikan oleh masyarakat. Penyerahan ini disertai dengan ritual atau doa bersama yang melambangkan permohonan ampunan, pengakuan kesalahan, dan niat untuk menjaga keharmonisan hubungan sosial.
  3. Simbolik Penyatuan Keluarga Besar Penyerahan piring gantung menunjukkan bahwa kedua belah pihak—yang meminta maaf dan yang menerima—mengikat diri kembali dalam hubungan kekeluargaan yang harmonis. Piring gantung diartikan sebagai simbol kebersamaan dan pengharapan agar kesalahpahaman atau perselisihan tidak berujung pada putusnya tali persaudaraan.
  4. Penguatan Melalui silaturhami dan berbincang bersama sebagai bentuk penghormatan budaya yang memperkuat pesan damai dan saling memaafkan.

Tradisi piring gantung dalam penyelesaian konflik masyarakat Serui memancarkan kekuatan budaya dan nilai-nilai yang melekat di dalamnya.

Meskipun tantangan modernisasi dan pengaruh global hadir, penting untuk menjaga agar tradisi ini tetap hidup dan relevan.

Baca Juga: Syawalan dan Lopis Raksasa, Tradisi Dalam Perayaan Idul Fitri di Kota Pekalongan

Dengan mengintegrasikan nilai-nilai hukum adat ke dalam sistem hukum nasional dan mendidik generasi muda, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih harmonis, adil, dan menghargai warisan budaya mereka, dalam perjalanan menuju keadilan, tradisi dan hukum dapat berjalan beriringan, saling melengkapi dan memperkuat, demi masa depan yang lebih baik bagi masyarakat. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI