Cari Berita

Ajudikasi Keadilan Ekologis, Hermeneutika Konstitusional dan Restorasi Lingkungan

Bony Daniel (Hakim PN Serang) - Dandapala Contributor 2025-10-20 14:55:19
Dok. Ist.

Lembaga peradilan kini berada di persimpangan krusial dalam sejarah peradaban, sebuah era yang ditandai oleh krisis ekologis sistemik yang mengancam fondasi kehidupan itu sendiri.

Krisis ini bukanlah sekadar akumulasi dari sengketa lingkungan sektoral, melainkan sebuah tantangan eksistensial yang mempertanyakan relevansi dan daya tahan negara hukum (rechtsstaat) modern.

Dalam menghadapi gelombang litigasi lingkungan, tugas yudisial melampaui aplikasi mekanistik norma-norma positif yang seringkali terfragmentasi. Ia menuntut sebuah pergulatan yurisprudensial yang mendalam mengenai interdependensi ontologis antara manusia, negara, dan alam.

Baca Juga: Environmental Ethic Sebagai Pilar Keadilan Ekologis

Bagi hakim yang diserahi tanggung jawab konstitusional ini, tugas tersebut menjelma menjadi sebuah officium nobile, yakni sebuah tugas mulia yang sarat dengan kompleksitas normatif, epistemologis, dan struktural yang luar biasa rumit.

Realisasi tugas mulia ini tidak dapat berhenti pada sekadar deklarasi kesalahan atau penetapan kompensasi moneter; ia harus bermuara pada tujuan teleologis penegakan hukum lingkungan yang paling hakiki: pemulihan ekologis (restitutio in integrum).

Tantangan normatif paling mendasar terletak pada keharusan menavigasi dialektika konstitusional yang seringkali tegang antara mandat pembangunan ekonomi dan imperatif perlindungan lingkungan.

Konstitusi memberikan legitimasi bagi negara untuk mengelola sumber daya alam demi kesejahteraan kolektif yang merupakan sebuah doktrin yang kerap diinvokasi untuk menjustifikasi proyek-proyek strategis berbasis eksploitasi sumber daya.

Namun, konstitusi yang sama juga secara eksplisit menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi manusia yang fundamental. Hakim berada dalam posisi sentral untuk menafsirkan batas-batas kewenangan diskresioner eksekutif, memastikan bahwa Hak Menguasai Negara tidak dimaknai secara absolut hingga menelan hak-hak fundamental tersebut.

Hal ini mensyaratkan penerapan hermeneutika konstitusional yang progresif, yang secara tegas menolak reduksi makna "kesejahteraan rakyat" menjadi sekadar agregasi ekonomi makro jangka pendek.

Formalisme prosedural dalam hukum administrasi, yang cenderung memvalidasi tindakan pemerintah selama prosedur perizinan telah dipenuhi tanpa menguji substansi keputusan secara memadai, terbukti sangat timpang.

Dibutuhkan keberanian yudisial untuk melakukan pengujian substantif (substantive review), menembus selubung prosedural guna memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan dan keadilan antargenerasi (intergenerational equity) ditegakkan sebagai norma hukum yang mengikat, bukan sekadar aspirasi kebijakan yang retoris.

Kompleksitas ajudikasi semakin diperumit oleh dimensi epistemologis, berkaitan erat dengan pembuktian ilmiah di tengah lanskap ketidakpastian (scientific uncertainty) dan risiko yang inheren dalam sistem ekologi.

Berbeda dengan perkara konvensional yang mengandalkan kausalitas linear, kerusakan lingkungan seringkali ditandai oleh periode latensi yang panjang, kausalitas yang probabilistik dan multifaktorial, serta dampak sinergis yang akumulatif.

Menetapkan hubungan sebab-akibat antara aktivitas industri spesifik dengan degradasi ekosistem, seperti kontaminasi akuifer atau hilangnya keanekaragaman hayati, menuntut hakim untuk mengevaluasi bukti-bukti saintifik yang seringkali kontradiktif, sangat teknis, dan berada jauh di luar keahlian hukum tradisional.

Ruang sidang bertransformasi menjadi arena pertarungan narasi ilmiah yang intens. Dalam menghadapi ketidakpastian ini, sikap pasif yudisial bukanlah pilihan. Penerapan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) menjadi keniscayaan metodologis dan etis.

Ini berarti mengadopsi pendekatan in dubio pro natura (jika ada keraguan, berpihak pada alam) dan secara strategis memanfaatkan instrumen hukum seperti tanggung jawab mutlak (strict liability). Beban ketidakpastian ilmiah tidak boleh ditimpakan kepada korban pencemaran atau lingkungan itu sendiri, sebuah tugas yang menuntut literasi ekologis yang mendalam dan kerendahan hati intelektual dalam berdialog dengan sains.

Lebih jauh lagi, paradigma remediasi dalam hukum perdata tradisional yang berfokus pada kompensasi moneter terbukti sangat tidak relevan dalam konteks kerugian ekologis murni.

Lingkungan hidup bukanlah komoditas yang kerusakannya dapat sepenuhnya dipulihkan melalui valuasi finansial. Ganti rugi mungkin dapat mengatasi kerugian privat yang diderita individu, namun gagal total dalam memperhitungkan hilangnya jasa ekosistem (ecosystem services), kerusakan yang bersifat ireversibel, atau nilai intrinsik yang melekat pada alam itu sendiri.

Oleh karena itu, tujuan ajudikasi lingkungan harus mengalami pergeseran paradigmatik dari keadilan korektif menuju keadilan restoratif. Orientasi utama putusan haruslah restitutio in integrum, yakni pemulihan lingkungan ke kondisi semula atau kondisi yang paling mendekati.

Prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) harus dimaknai secara ekspansif, mencakup kewajiban penuh untuk melakukan remediasi, rehabilitasi, dan restorasi ekologis.

Merumuskan amar putusan restoratif ini, sejujurnya, merupakan tantangan yudisial yang paling signifikan. Hakim dituntut untuk merancang perintah yang spesifik, terukur secara ilmiah, memiliki jangka waktu yang jelas, dan dapat dilaksanakan (executable), seringkali membutuhkan asistensi dari ahli independen untuk menentukan parameter ekologis dan metodologi pemulihan yang akurat.

Pada akhirnya, efektivitas dan wibawa pengadilan diuji pada fase eksekusi putusan, yang seringkali merupakan tahap paling kritis dan rentan dalam siklus penegakan hukum.

Realitas ekonomi politik menunjukkan bahwa putusan yang progresif secara de jure seringkali gagal diimplementasikan secara de facto akibat resistensi yang kuat dari aktor korporasi atau bahkan instansi pemerintah yang memiliki sumber daya masif.

Asimetri kekuasaan yang nyata antara penggugat (seringkali masyarakat marjinal) dan tergugat, serta potensi adanya tangkapan regulasi (regulatory capture), menjadi hambatan struktural yang serius.

Dalam konteks ini, peran hakim tidak berhenti pada saat palu diketuk. Officium nobile menuntut adanya pengawasan yudisial (judicial monitoring) yang berkelanjutan dan kuat untuk memastikan kepatuhan terhadap perintah pemulihan.

Hal ini mungkin memerlukan inovasi dalam hukum acara dan keberanian untuk menerapkan sanksi yang tegas, termasuk denda paksa (dwangsom) yang progresif, jika terjadi ketidakpatuhan.

Menjaga independensi dan imparsialitas di tengah tekanan kepentingan pragmatis yang begitu kuat merupakan ujian integritas tertinggi bagi lembaga peradilan.

Sebagai sintesis, menangani perkara lingkungan hidup adalah tugas yudisial yang paling kompleks dan konsekuensial di zaman ini.

Baca Juga: Ketika Laut Menuntut Haknya, Dari Antroposentris ke Ekosentris

Ia menuntut hakim untuk tidak hanya menjadi ahli hukum yang mumpuni, tetapi juga individu yang memiliki kearifan ekologis, kepekaan mendalam terhadap keadilan sosial, dan keberanian moral yang teguh.

Dengan mengartikulasikan hermeneutika konstitusional yang berwawasan lingkungan, menguasai tantangan epistemologis ilmu pengetahuan modern, dan secara konsisten memprioritaskan imperatif pemulihan ekologis di atas remediasi simbolis, yudikatif memenuhi peran esensialnya sebagai penjaga integritas ciptaan dan penjamin keberlanjutan bagi generasi mendatang. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI