H Bambang Myanto SH MH, Dirjen Badilum

Belum selesai gempita perayaan tahun baru Masehi ke 2025, kita kembali dihadapkan dengan gegap perayaan tahun baru. Kali ini adalah Imlek ke 2576 yang jatuh pada 29 Januari 2025 ini. Imlek pun menjadi salah satu bukti keberagaman bangsa Indonesia.

Dalam kalender Indonesia, tahun baru banyak ditemui. Selain tahun baru Masehi dan Imlek, kita juga mengenal tahun baru Hijriah yang dirayakan oleh ummat Islam. Selain itu, kita juga mengakui tahun baru Saka yang dirayakan oleh ummat Hindu dibarengi dengan perayaan Nyepi.

Tahun baru selain sebagai penanda kalender juga menjadi penanda Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Bangsa yang sudah tumbuh sejak ratusan tahun lamanya, jauh sebelum Kemerdekaan Indonesia. Sebuah bangsa yang tersebar di ribuan pulau, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.

Keberagaman itu terkristaliasi dalam Sumpah Pemuda hingga mencapai puncaknya yaitu Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Proklamasi ini juga menandai lahirnya Bangsa Indonesia secara de jure. 

Pasca kemerdekaan, masyarakat lazim merayakan Imlek di berbagai penjuru Indonesia. Hingga terjadi peristiwa berdarah 1966 yang menjadi latar belakang lahirnya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 soal larangan perayaan Imlek.

Selama beberapa dekade, Imlek dan budaya masyarakat China menjadi sesuatu yang tabu dirayakan di ruang publik, hingga datang Reformasi 98. Semangat keberagaman untuk tidak mendiskriminasi orang/budaya berlatar belakang etnis menjadi gerakan yang menguat.

Puncaknya lahirlah Keppres Nomor 6 Tahun 2000 yang ditandatangani oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur. Keppres ini mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 dan membolehkan Imlek dirayakan lagi di ruang terbuka. Awalnya Imlek menjadi hari libur fakultatif, tetapi sejak 2003 menjadi hari libur nasional. Kini, Imlek menjadi salah satu perayaan tahunan yang setara dengan perayaan tahun baru lainnya. 

Keberagaman Hukum

Selain dalam ranah sosial, keberagaman itu juga tumbuh dan diakui dalam sistem hukum Indonesia. Di antaranya sistem pewarisan yang memiliki banyak ragam dan masih diakui di Indonesia. Seperti hukum waris Islam, hukum waris adat, hukum waris perdata dan hukum waris Tionghoa. Khusus sengketa hukum waris Islam diselesaikan di Pengadilan Agama dan sisanya diselesaikan di Pengadilan Negeri.

Dalam hukum pidana, keberagaman itu sempat sedikit redup saat KUHP diberlakukan Belanda sejak 1918 silam. Namun keberagaman itu kembali hidup dengan akan berlakunya KUHP Nasional pada 2 Januari 2026 nanti. Yaitu dengan diakuinya hukum adat dalam sistem hukum pidana nasional dalam Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. 

Pengakuan keberagaman hukum itu sempat juga dilontarkan jauh-jauh hari oleh JE Jonkers, seorang hakim dari Belanda yang pernah bertugas di Maros, Sulawesi Selatan (Sulsel) sebelum Indonesia merdeka. Sebagai ahli pidana yang mengajar di kampus Leiden University, ia meyakini hukum pidana Belanda yang homogen tidak cocok diterapkan di Indonesia yang multikultur, multietnis dan multireligi.

Keberagaman suku, agama, ras, dan antargolongan ini juga membuat sengketa perdata memiliki keunikan dan karakteristik yang berbeda tiap kasus. Penyelesaian sengketa tanah di Jawa akan berbeda dengan di Papua. Demikian juga kasus pembatalan pernikahan di Sumatera, akan berbeda dengan di masyarakat Nusa Tenggara.

Oleh sebab itu, Mahkamah Agung (MA) mendorong hakim sejak dini mengenal pluralitas masyarakat Indonesia itu. Yaitu salah satunya dengan menerapkan pola promosi dan mutasi antarpulau agar hakim bisa terus mempelajari hukum Indonesia secara menyeluruh. Hal itu juga bagian dari amanat UU 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 5 ayat 1 yaitu ‘Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.’ 

Selamat Tahun Baru Imlek. Gong Xi Fa Cai !!!

Salam DANDAPALA

Dirjen Badilum Mahkamah Agung

H Bambang Myanto SH MH