Cari Berita

Kebijakan Normatif Revisi UU 27/2007 (PWP3K): Solusi Disintegrasi Perizinan Ruang

Urif Syarifudin - Dandapala Contributor 2025-10-22 11:00:23
Dok. Penulis.

Sistem hukum tata kelola ruang laut Indonesia pada hakikatnya dirancang untuk menjamin pemanfaatan laut yang berkelanjutan. Melalui instrumen Penyelenggaraan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL), negara berupaya memastikan bahwa setiap kegiatan di laut selaras dengan rencana tata ruang laut nasional serta tidak menimbulkan kerusakan ekologis.

Namun, hasil pengkajian terhadap struktur hukumnya memperlihatkan bahwa sistem ini belum sepenuhnya terintegrasi. Pendekatan yang masih sektoral dan terfragmentasi membuat PKKPRL belum menjalankan fungsi ekologis dan preventif sebagaimana cita hukum lingkungan modern, atau yang oleh sebagian akademisi disebut sebagai Ius Ambitalis yaitu hukum yang menempatkan keseimbangan ekosistem sebagai inti pengaturan sumber daya alam.

Dari sisi normatif, peraturan yang menjadi dasar pelaksanaan PKKPRL tersebar di berbagai undang-undang dengan orientasi yang tidak selalu sejalan, diantaranya:

  • UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan menekankan tata kelola ruang laut nasional;
  • UU No. 27 Tahun 2007 Jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) mengatur izin lokasi dan pengelolaan wilayah pesisir;
  • UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) berfokus pada perlindungan lingkungan;
  • UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja menitikberatkan pada efisiensi perizinan berbasis risiko.

Perbedaan orientasi ini diperkuat oleh turunan normatifnya, antara lain PP No. 21 Tahun 2021 tentang Penataan Ruang, PP No. 5 Tahun 2021 tentang Perizinan Berbasis Risiko, dan PP No. 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Sektor Kelautan dan Perikanan, yang pada praktiknya belum saling terhubung secara substantif.

Pemetaan PKKPRL dalam Kerangka Stufenbau Theory (Hans Kelsen)

 

Baca Juga: Pemetaan Sanksi Hukum Pelanggaran Pemanfaatan Ruang Laut Melalui PKKPRL

UUD 1945 Pasal 33(3)  ← Grundnorm sektor sumber daya

   ↓

UU: 32/214 (Kelautan); 31/2004 jo. 45/2009 (Perikanan); 27/2007 jo. 1/2014 (PWP3K); 32/2009 (PPLH); 26/2007 (Penataan Ruang); 6/2023 (Cipta Kerja) (multi-rezim, multi-tujuan)

   ↓

PP: 21/2021 (penataan ruang), 5/2021 (perizinan berbasis risiko), 28/2025 (sektor KP)

   ↓

Permen KP 28/2021 (teknis penataan ruang laut/PKKPRL)

   ↓

Kep Dirjen PRL 50/2023 Juknis PKKPRL; RTRLN/RZWP3K, OSS-RBA ← (Instrumen teknis)

Struktur hukum penyelenggaraan PKKPRL dapat dianalisis melalui pendekatan Stufenbau der Rechtsordnung yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, di mana hukum dipandang sebagai bangunan norma yang bertingkat dan saling berkorespondensi antara norma dasar, norma pelaksana, dan norma teknis.

Dalam konteks tata kelola ruang laut Indonesia, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berperan sebagai grundnorm sektor sumber daya, yang memberikan legitimasi konstitusional bagi negara untuk mengatur dan mengelola pemanfaatan laut demi kemakmuran rakyat.

Dari norma dasar tersebut, lahir berbagai undang-undang sektoral yang menempati lapisan norma kedua, seperti UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang PWP3K, UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH, serta UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

Masing-masing undang-undang memiliki orientasi yang berbeda, dari tata ruang laut hingga perizinan berbasis risiko. Keberagaman rezim hukum ini menciptakan struktur normatif yang bersifat multi-rezim dan multi-tujuan, di mana satu objek hukum yakni ruang laut yang diatur oleh beberapa norma tanpa integrasi substantif.

Hubungan delegasi dari undang-undang tersebut tampak dalam lapisan Peraturan Pemerintah, khususnya PP No. 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (pendelegasian yuridis), PP No. 5 Tahun 2021 tentang Perizinan Berbasis Risiko, dan PP No. 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Sektor Kelautan dan Perikanan.

Ketiganya merupakan pelaksanaan dari UU yang berbeda, namun belum membentuk korelasi substantif antar rezim. Akibatnya, sistem delegasi normatif yang seharusnya vertikal justru berkembang menjadi jejaring sektoral.

Lapisan berikutnya, Permen Kelautan dan Perikanan No. 28 Tahun 2021 memperoleh legitimasi langsung dari PP No. 21 Tahun 2021, namun juga menjalankan fungsi implisit terhadap PP No. 5 Tahun 2021, menjadikannya instrumen hukum yang berada di antara dua sumber kewenangan berbeda. Di tingkat paling teknis, Keputusan Dirjen Pengelolaan Ruang Laut No. 50 Tahun 2023 menurunkan substansi Peraturan Menteri (Permen) ke dalam juknis PKKPRL.

Analisis hierarki ini menunjukkan bahwa sistem hukum PKKPRL secara formal telah memiliki rantai delegasi yang lengkap, namun secara substantif belum membentuk korespondensi vertikal yang ideal sebagaimana dikehendaki teori Kelsen.

Oleh karena itu, reformulasi norma melalui revisi UU PWP3K diperlukan untuk mengembalikan fungsi integratifnya sebagai sektoral grundnorm hukum laut nasional. Akibat dari kerangka yang terpisah tersebut, muncul fragmentasi normatif, di mana norma-norma hukum berjalan secara paralel tanpa koordinasi substantif yang mengarah pada satu sistem hukum laut terpadu.

Padahal, sebagaimana ditekankan oleh Hans Kelsen dalam teori Stufenbau der Rechtsordnung, hukum idealnya merupakan bangunan berjenjang yang saling berkorespondensi antara norma dasar (grundnorm), norma pelaksana, dan norma teknis.

Ketidakterpaduan antara ketiga lapisan ini telah menyebabkan terjadinya disintegrasi normatif, dimana peraturan pelaksana seperti Permen KP No. 28 Tahun 2021 tidak sepenuhnya berkorespondensi secara hierarki dengan PP No. 5 Tahun 2021 maupun PP No. 21 Tahun 2021.

Kedua PP tersebut berasal dari rezim hukum yang berbeda, yakni satu berorientasi pada pengaturan spasial (data yang berhubungan dengan lokasi atau ruang geografis), dan yang lain bersifat administratif.

Baca Juga: Tok! MA Batalkan Vonis Bebas Terdakwa Korupsi Izin Minimarket

Akibatnya, Permen KP No. 28 Tahun 2021 beroperasi di antara dua sumber kewenangan yang tidak memiliki korelasi vertikal yang kuat. Dalam kerangka Stufenbau, hal ini menggambarkan kegagalan membentuk “tangga hukum” yang koheren, sehingga sistem hukum laut kehilangan kesatuan arah antara tujuan, pelaksanaan, dan teknisnya.

Oleh karena itu, revisi terhadap UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 (PWP3K) menjadi sangat penting. Revisi ini tidak hanya bersifat teknis-administratif, tetapi konstitusional secara filosofis, karena bertujuan mengembalikan posisi UU tersebut sebagai lex specialis integratif yaitu undang-undang yang tidak sekadar mengatur pengelolaan wilayah pesisir, melainkan menjadi norma dasar sektoral (Sektoral grundnorm) bagi seluruh pengaturan hukum ruang laut. Langkah-langkah revisi harus diarahkan pada beberapa aspek utama:

  1. Mempertegas asas integrasi hukum laut nasional dan keberlanjutan ekologis dalam bagian asas dan tujuan;
  2. Menegaskan PKKPRL sebagai instrumen hukum lintas sektor yang bersifat mengikat;
  3. Menghubungkan norma PKKPRL dengan tata ruang laut nasional dan hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS);
  4. Memperjelas hierarki kewenangan dari tingkat undang-undang hingga peraturan teknis;
  5. Membentuk sistem pengawasan terpadu yang melibatkan koordinasi antar kementerian.

Revisi ini diharapkan dapat menciptakan tiga pembaruan penting yang menyentuh aspek normatif, struktural, dan kelembagaan, sehingga memperkuat integrasi hukum tata kelola ruang laut dan meningkatkan efektivitas penegakan hukum PKKPRL secara berkelanjutan:

  1. Terwujudnya reintegrasi vertikal antara UU, PP, dan Permen agar sistem hukum tata kelola ruang laut kembali membentuk struktur hierarkis yang konsisten.
  2. Terjadinya harmonisasi horizontal antara rezim hukum kelautan, lingkungan, dan perizinan dalam kerangka integrated marine governance.
  3. Meningkatnya efektivitas penegakan hukum karena seluruh izin dan pengawasan ruang laut akan mengacu pada satu instrumen hukum yang sama.

Sebagai penutup, revisi UU PWP3K bukanlah sekedar penyempurnaan regulasi, melainkan rekonstruksi konstitusional atas tata kelola hukum laut nasional. Dengan mengembalikan fungsi UU ini sebagai norma pengikat vertikal dan menjadikannya lex specialis integratif, Indonesia dapat membangun sistem hukum tata kelola ruang laut yang lebih koheren, ekologis, dan berkeadilan dan hal ini selaras dengan cita hukum Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menempatkan laut sebagai sumber daya untuk kemakmuran rakyat. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI