INDONESIA adalah negara hukum (rechtsstaat) secara jelas dan tegas disebutkan dalam Batang Tubuh UUD NRI tahun 1945 yang sebelum amandemen hanya ditemukan dalam Penjelasan UUD 1945. Mempertegas komitmen bahwa Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berlandaskan konstitusi bukan negara kekuasaan yang otoriter. Hukum menjadi dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Negara hukum, konstitusi, dan demokrasi merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan menuju sebuah bangunan negara yang menjunjung tinggi supremasi konstitusi dan demokrasi yang berdasarkan kepada hukum.
Definisi yang memberikan penjelasan mengenai unsur dan definisi negara hukum terus berkembang. Dari masa klasik ke modern bahkan masa kontemporer terdapat dua elemen yang selalu muncul dan menunjukkan peran serta fungsi pengadilan yaitu: perlindungan terhadap hak-hak individu dan adanya proses peradilan yang setara dan imparsial yang dijalankan oleh pengadilan yang independen yang bisa diakses setiap warga negara yang ingin memulihkan dan menikmati hak-haknya yang mungkin dilanggar oleh pihak lain-termasuk jika dilanggar oleh negara. Selain kedua elemen tersebut, terdapat elemen hukum dan undang-undang yang memuat jaminan hak-hak individu serta pembatasan dan pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan negara, yang umumnya dimuat dalam konstitusi.
Pengadilan sebagai pemegang cabang kekuasaan negara di bidang yudikatif, sebagaimana cabang kekuasaan negara lainnya merupakan pemegang kewajiban (duties bearer) terhadap individu atau warga negara sebagai pemegang hak (rights holder) hak asasi manusia. Kewajiban tersebut baik berupa menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) pemenuhan hak asasi manusia.
Baca Juga: Hipnoterapi sebagai Model Pembinaan Bagi Anak Pelaku Kekerasan Seksual
Apabila pada cabang kekuasaan lainnya, tanggung jawab terhadap hak asasi manusia secara proaktif, langsung dan aktif, maka berbeda dengan pengadilan. Tanggungjawab pengadilan baru dapat dijalankan ketika suatu permasalahan hukum diajukan kepadanya untuk diperiksa dan diadili.
Pengadilan yang Independensi dan Imparsial
Pengadilan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya mengadili perkara haruslah terbebas dari kekuasaan atau campur tangan dari kekuasaan lainnya. Kebebasan atau independensi pengadilan menjadi prasyarat untuk mampu menjadi penyeimbang dan pembatas dari lembaga-lembaga negara dalam cabang kekuasaan yang lain. Terutama, ketika pengadilan harus menguji atau mengadili tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyelenggaraan negara, atau terhadap seseorang atau sekelompok warga negara.
Dari berbagai instrumen dan referensi, setidaknya terdapat empat aspek yang menjadi perasyaratan bagi indepensi peradilan. Pertama, pengaturan prosedur dan kualifikasi pengangkatan hakim dalam undang-undang. Kedua, Jaminan yang terkait dengan masa masa kerja, usia pensiun wajib dan alasan-alasan berakhirnya masa jabatan hakim. Ketiga, mengenai pengaturan proses promosi, mutasi, penangguhan dan penghentian fungsi Hakim, dan keempat adalah independensi peradilan dari campur tangan politik oleh badan eksekutif dan legislatif.
Independensi peradilan menjadi salah satu semangat Era Reformasi dengan melakukan pembaharuan lembaga pengadilan. Pengalihan kewenangan aspek administrasi, organisasi, dan finansial dari Departemen Kehakiman kepada Mahkamah Agung menjadi tonggak berlakunya manajemen kehakiman “satu atap”.
Sejak saat itu, Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan, dalam manajemen satu atap mengurus seluruh hal, termasuk aspek organisasi, administrasi dan keuangan serta hal teknis yudisial. Pentingnya indepensi peradilan disoroti oleh Jimly Asshiddiqie sebab tanpa adanya peradilan bebas, tidak ada negara hukum dan demokrasi. “Demokrasi hanya ada apabila diimbangi oleh rule of law, tetapi rule of law hanya ada apabila terdapat independence of judiciary.”
Selain independen, hal yang dituntut untuk dapat memenuhi fungsi peradilan dalam memberikan perlindungan hak asasi manusia adalah imparsial atau tidak memihak.
Pentingnya peradilan independen dan imparsial juga ditegaskan dalam berbagai instrumen. Ketentuan-ketentuan internasional mengenai hal itu dapat ditemukan dalam Universal Declaration of Human Rights (1948), International Covenant on Civil and Political Rights (1976), Basic Principles on the Independence of the Judiciary (1985), Vienna Declaration and Programme of Action (1993), Universal Declaration on the Independence of Justice (1983), International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence (1982), The Cairo Declaration on Human Rights in Islam (1990), Beijing Statement of Principle of Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1995), The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002), dan lain-lain.
Pada prinsipnya, ketentuan-ketentuan internasional tersebut memiliki semangat mendukung terciptanya peradilan yang independen dan imparsial. Universal Declaration of Human Rights (1948) (Pasal 10), International Covenant on Civil and Political Rights (1976) (Pasal 14), dan Basic Principles on the Independence of the Judiciary (1985) adalah ketentuan-ketentuan internasional yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Meski tidak secara khusus dan detail mengatur, masuknya ketentuan mengenai independensi peradilan dalam UDHR dan ICCPR memiliki semangat mendukung terciptanya peradilan yang independen dan imparsial. Hal itu karena berhubungan erat dengan aspek perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Sedangkan instrumen dari PBB yang secara komprehensif mengatur tentang peradilan yang independen dan imparsial adalah Basic Principles on the Independence of the Judiciary (1985).
Pentingnya peradilan merdeka dan tidak memihak di atas, menarik menyoroti Universal Declaration on the Independence of Justice (1983), International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence (1982), dan The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002). Ketiganya menyebut bahwa independensi dan imparsialitas peradilan tidak hanya dilekatkan pada peradilan secara institusional, tetapi juga diberikan kepada hakim secara individual.
Universal Declaration on the Independence of Justice (1983) menyebut ketentuan bahwa “Hakim harus bebas secara individual”, International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence (1982) juga menyebut bahwa “Individual judges should enjoy personal independence and substantive independence”. Dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002), khususnya bagian tentang independensi kehakiman, juga terdapat ketentuan serupa yang menyebut bahwa “A judge shall therefore uphold and exemplify judicial independence in both its individual and institutional aspects”.
Ketentuan tersebut menunjukkan independensi kekuasaan kehakiman seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai independensi kekuasaan kehakiman secara institusional, tetapi juga mencakup independensi kekuasaan kehakiman secara personal. Meskipun tidak ada intervensi eksternal dari kekuasaan lembaga negara lain terhadap peradilan, independensi dan imparsialitas peradilan sulit dapat diwujudkan jika hakim secara personal tidak memiliki ruang leluasa untuk melaksanakan tugasnya secara merdeka dan tidak memihak.
Menurut Mikuli, imparsialitas mengacu kepada keadaan pikir atau sikap batin ketika menghadapi perkara. Berbeda dengan independensi berupa kondisi bebas dari tekanan pemerintah atau kekuasaan negara lainnya. Lebih lanjut menurut Mikuli imparsialitas adalah turunan dari independensi, baru akan muncul ketika independensi peradilan telah ada.
Imparrsialitas pengadilan masih akan tergantung pada imparsialitas hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Sebagaimana disampaikan MacDonald dan Kong mengungkapkan bahwa '(bisa jadi) peradilan pada prinsipnya mungkin independen, tetapi dalam kasus tertentu, seorang hakim mungkin tidak imparsial, artinya, dapat menunjukkan favoritisme terhadap satu pihak'.
Dari hal di atas, terlihat bahwa alam berpikir dan perilaku hakim sangat menentukan tercapainya imparsialitas yang diharapkan dari pengadilan. Lahirnya prinsip-prinsip hukum acara yang memandu agar hakim dapat tampak bersikap imparsial/netral, dalam persidangan. Prinsip audi et alteram partem dalam hukum acara perdata, misalnya. Berikutnya muncul instrumen-instrumen universal yang mengatur soal perilaku hakim agar imparsial. Misalnya, Bangalore Principles of Judicial Conduct (terakhir diperbarui tahun 2002).
Dalam Bangalore Principles, ketidakberpihakan diperlakukan sebagai salah satu nilai penting bagi peradilan selain dari integritas, kepatutan, kesetaraan, dan kompetensi/ketekunan. Dokumen tersebut menyatakan bahwa ketidakberpihakan 'berlaku tidak hanya untuk keputusan itu sendiri tetapi juga untuk proses di mana keputusan itu dibuat.' Bangalore Principle juga menekankan perlunya untuk mengamati kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk mewujudkan ketidakberpihakan hakim. Misalnya, memastikan hakim melaksanakan tugasnya tanpa memperoleh bantuan dari pihak lain, bias, atau prasangka.
Disimpulkan, imparsialitas berkaitan erat dengan pola pikir dan cerminannya dalam perilaku hakim. Sebagaimana diungkapkan Gonera yang dikutip oleh Mikuli, karakter pribadi hakim yang kuat dan teguh adalah yang paling diharapkan. Hal ini meliputi antara lain menjaga perilaku agar senantiasa memenuhi etika, baik dalam lingkup tugas sebagai hakim maupun saat tidak bertugas, keberanian moral menjalankan independensi peradilan, kecerdasan, kebijaksanaan, kecermatan dalam berbahasa, kemampuan untuk berefleksi secara luas, keyakinan dalam pengambilan keputusan, rasa keadilan dan hati nurani yang sensitif. Hal itu pula yang menyebabkan nobility menjadi karakter utama yang melekat pada hakim.
Bias Personal dalam Mengadili Perkara
Hakim merupakan pemangku dan pelaksana kekuasaan kehakiman. Dipersonifikasikan dalam sosok manusia terpilih yang disebut “kadi”, digambarkan sebagai Dewi Themis dengan mata tertutup sebagai simbol kenetralan dan imparsialitas. Tidak akan menengok ke kanan atau kiri atau bermain mata dengan salah satu pihak yang berperkara. Dalam ajaran filsafat hukum klasik, hakim itu harus lurus mengikuti “kewajiban tak bersyarat” tanpa boleh ada niat untuk berpikiran culas. Maka itu, menurut Montesquie, hakim hanya berperan sebagai la bouche qui prononce les paroles des lois (sebatas corong yang membunyikan kata-kata undang-undang) semata.
Dengan melihatnya dalam struktur organisasi dan secara mekanis, hal itu menjadikan hakim sebagai orang yang bebas nilai dan bersih dari kepentingan. Dlepaskan dari segala yang bersifat manusiawi dan terhindar sama sekali dari pengaruh lingkungan. Persoalannya adalah bagaimana mungkin hakim dapat bekerja menganalisis kasus dengan hanya ”murni” mendasarkan diri pada norma hukum yang berlaku.
Dalam realitasnya, hakim adalah juga manusia yang sangat dipengaruhi oleh identitas yang beragam. Sejarah kehidupan, etnisitas, dan tradisi kultural, kelas, keyakinan agama, pandangan politis, kelas, gender, bahkan ideologi keilmuan. Dengan demikian, putusan “yuridis-normatif” sebenarnya juga mengandung klaim “sosiologis-kultural” sejalan dengan keberagaman dan tumpang tindih identitas dalam diri seorang hakim. Hakim adalah seorang manusia.
Hakim juga produk dari masyarakat. Pergeseran nilai dan sikap permisif terhadap perbuatan yang melanggar hukum langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi hakim, termasuk dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, mengadili perkara.
Imparsialitas hakim dalam mengadili perkara, sangat terkait dengan prinsip hak asasi manusia. Kesetaraan, dimana pada situasi yang sama manusia harus diperlakukan sama, dan pada situasi yang berbeda manusia diperlakukan secara berbeda pula. Sedangkan prinsip berikutnya adalah non diskriminasi. Diskriminasi terjadi ketika setiap orang diperlakukan atau memiliki kesempatan yagn tidak secara seperti inequality before the law, inequality of treatment, or education opportunity.
Dalam konteks menjalankan persidangan, imparsialitas hakim harus terwujud baik dalam proses persidangan maupun putusan yang dihasilkannya. Imparsialitas hakim harus didasarkan pada kemampuan yang dimiliki (expertise), pertanggungjawaban dan ketaatan kepada kode etik dan pedoman perilaku.
Personal bias dilarang muncul dan diminta untuk dihindari oleh hakim agar bisa bersikap imparsial dan objektif dalam mengadili suatu perkara. Namun secara alami setiap manusia memiliki bias. Karena sifatnya unik, maka kebanyakan orang tidak menyadari atau tidak merasa dirinya memiliki bias sebagaimana orang-orang lainya.
Personal bias dapat diartikan sebagai kecenderungan, preferensi, favoritisme yang berpotensi menimbulkan keperpihakan yang disebabkan pengaruh yang bersifat internal dan personal. Usia, generasi, agama, nilai-nilai, pola asuh dan berbebagai latar belakang hakim dapat mempengaruhi personal bias.
Lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum menunjukkan hal tersebut. Meski hukum acara maupun kode etik dan pedoman perilaku yang digunakan sama, ternyata dalam implementasinya terdapat bias personal diantara hakim dalam mengadili perkara sejenis. Diperlukan pedoman untuk menghindarkan hakim dari personal bias dan menjamin imparsialitas hakim.
Selain personal bias, dikenal pula unconscious bias. Kondisi dimana penilaian atau keputusan diambil berdasarkan pengalaman sebelumnya, pola pikir mendalam pribadi, asumsi atau interpretasi yang tidak disadari. Cenderung percaya bahwa telah menjadi yang terbaik dan tidak berprasangka buruk dibanding yang lain.
Dalam praktek persidangan, masih sering terjadi personal bias maupun unconscious bias tanpa disadari. Pengajuan pertanyaan yang menyebutkan tindak pidana kepada terdakwa telah menempatkan seolah hakim telah menggangap terbuktinya kesalahan. Atau dalam keadaan tertentu, hakim menasehati terdakwa, jika berlebihan tentu akan dapat mengganggu imparsialitas hakim.
Baik personal bias maupun unconscious bias harus dapat dihindari oleh hakim ketika menjalankan tugasnya. Hakim dituntut dapat menunjukkan bahwa pertimbangan hukum atau penafsiran hukum ataupun putusan yang diambil dalam perkara yang disidangkannya bukan sekedar pandangan subyektif. Hakim harus obyektif dan netral tanpa pandangan/indeologi politik. Hakim dan pengadilan adalah cold neutrality.
Pentingnya Pemahaman Hak Asasi Manusia bagi Hakim
Menjadi menarik, ketika personal bias dan unconscious bias adalah hal yang alami, sedangkan hakim selalu menjaga netralitasnya. Untuk menjamin sikap imparsial, hakim dapat melakukan pendekatan secara psikologi sebagaimana yang disampaikan Frith.
Merenungkan kembali dengan meluangkan waktu untuk melihat apakah proses berpikir telah mempengaruhi obyektifitas pengambilan keputusan. Secara tidak sadar manusia, termasuk hakim, mendiskriminasi dengan lebih mendukung hal-hal yang terasa ‘alami’ dan ‘benar’ dibanding hal yang kurang familiar.
Hakim harus lebih waspada (alert) ketika menemui hal-hal yang bersifat asing ketika mengadili perkara. Memotivasi diri dan meningkatkan pengetahuan tentang kelompok lain dapat menjadi jalan untuk mengurangi diskriminasi yang muncul di alam bawah sadar.
Dalam pengambilan keputusan hakim dapat meningkatkan kualitas jika memiliki komitmen untuk mempertanyakan stereotip budaya. Musyawarah majelis hakim dapat dipergunakan untuk mendeteksi bias yang mungkin muncul dan saling mengujinya secara obyektif diantara hakim.
Baca Juga: Illusory Truth Effect dalam Penegakan Hukum
Dalam konteks ini, persepektif dan pengetahuan hakim yang memadai mengenai prinsip-prinsip hak asasi manusia dan cara-cara yang dapat digunakan oleh hakim, dengan kewenangannya, untuk mengakomodir prinsip-prinsip tersebtu menjadi penting. Mengurangi dan meminimalisir personal bias maupun unconscious bias dalam proses penilaian fakta, penafsiran hukum dalam pengambilan keputusan.
Pada akhirnya, ketika hakim telah bertindak imparsial, bahkan sejak dalam pikiran saat menjalankan tugasnya mengadili akan melahirkan lingkungan ideal bagi perlindungan hak asasi manusia di pengadilan. Melengkapi prasyarat penting berupa independensi dan imparsialitas pengadilan dalam proses persidangan dan memutus perkara secara fair. Hakim telah menjalankan tugas negara, menjadi duty bearer dalam perlindungan hak asasi manusia. Semoga.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI