Restorative justice (RJ), dalam perkembangannya telah diatur pada Perma Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perma 1/2024). Kami menyebutnya RJ sebagai proses. Paradigma yang sebelumnya telah dikenal dalam Sistem Peradilan Pidana Anak ini telah diatur secara spesifik dengan proses sedemikian pada Perma tersebut sehingga dapat dipedomani Hakim dalam menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana.
Pedoman mengadili menggunakan keadilan restoratif ini telah selaras dengan tujuan dan pedoman pemidanaan dalam KUHP Nasional yang akan diberlakukan pada tahun 2026. Dalam menjatuhkan pidana/nestapa, selain mempertimbangkan unsur-unsur tindak pidana dan kesalahan Terdakwa, juga mempertimbangkan tujuan dijatuhkannya pidana tersebut kepada diri Terdakwa maupun korban termasuk terhadap masyarakat.
Tujuan dari keadilan restoratif ini disebutkan pada Pasal 3 Perma 1/2024 yaitu memulihkan korban tindak pidana, memulihkan hubungan antara Terdakwa, korban dan/atau Masyarakat, menganjurkan pertanggungjawaban Terdakwa; dan menghindarkan setiap orang, khususnya anak dari perampasan kemerdekaan. Tujuan keadilan restoratif tersebut tentunya menjadi pertimbangan Hakim untuk memandu penyusunan kesepakatan perdamaian dalam persidangan.
Baca Juga: Penerapan Keadilan Restoratif Bagi Pelaku Dewasa Melalui Mekanisme Diversi
Adanya unsur keperdataan di dalam proses keadilan restoratif ini memberikan wewenang bagi Hakim untuk memperhatikan syarat sah perjanjian. Keadilan restoratif ini tidak bertujuan menghapuskan pertanggungjawaban pidana sehingga kesepakatan yang telah terjadi atau telah dilaksanakan nantinya akan dipertimbangkan oleh Hakim.
Dalam membahas tentang kesepakatan perdamaian tersebut, Hakim wajib mempedomani ketentuan-ketentuan pada Pasal 12 Perma 1/2024, salah satunya adalah kemampuan Terdakwa untuk melaksanakan kesepakatan (Pasal 12 ayat 1 huruf [d]) dan dihubungkan dengan kewenangan Hakim dalam melakukan upaya persuasi kepada Terdakwa dan Korban untuk mencapai kesepakatan yang sanggup dilaksanakan oleh Terdakwa untuk pemenuhan tanggung jawab Terdakwa dan memenuhi kepentingan dan/atau kebutuhan Korban untuk pemulihan Korban.
Dalam konteks penerapan keadilan restorative, Hakim mengusahakan adanya kesepakatan yang dapat dilaksanakan oleh Terdakwa, tetapi apabila ternyata baru selesai pada tahap tercapainya kesepakatan juga tetap dipertimbangkan dalam putusan Hakim (Pasal 12 ayat 3). Bentuk kesepakatan dapat berupa penggantian kerugian, melaksanakan suatu perbuatan dan tidak melaksanakan suatu perbuatan.
Penggantian kerugian ini bukan tanpa tantangan. Salah satunya adalah misalnya perkara pencurian beberapa barang dagangan dari toko kelontong di desa yang total kerugiannya dibawah Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah), yang ternyata pada akhirnya tidak berhasil diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif dikarenakan keadaan Terdakwa tidak sanggup mengganti kerugian korban dikarenakan terhambat secara ekonomi walaupun telah berkoordinasi dengan keluarga Terdakwa. Kasus tindak pidana ringan seperti pencurian ini menemui kesulitan dalam pelaksanaannya apabila bentuk ganti kerugian yang ditawarkan hanya berbentuk sejumlah uang.
Mencermati keadaan di atas, kedepannya, maka proses penyelesaian perkara dengan keadilan restoratif kedepannya membutuhkan kreatifitas Hakim dalam membangun kesepakatan perdamaian. Selain ganti rugi dalam bentuk uang, dapat juga menyarankan dalam bentuk ganti kerugian berupa pemberian barang-barang milik Terdakwa yang bernilai ekonomis maupun milik keluarga Terdakwa tentunya dengan persetujuan kedua belah pihak.
Kemudian untuk bentuk kesepakatan berupa melaksanakan suatu perbuatan atau yang biasa kita kenal dalam hukum perjanjian yaitu “melakukan perbuatan tertentu” harus memperhatikan kesanggupan dan bagaimana cara pelaksanaannya. Hal ini memperhatikan kondisi Terdakwa yang berada didalam tahanan sehingga akan sulit menjangkau kegiatan-kegiatan diluar tahanan. Pengecualian, pada perkara pidana anak yang tidak ditahan, seperti contoh Hakim dapat menyarankan anak untuk melakukan kegiatan keagamaan di Masjid, dst.
Namun apabila kita membahas tentang “Terdakwa melaksanakan suatu perbuatan” pada perkara pidana biasa (bukan pidana anak) maka akan sulit terlaksana selama masa persidangan dan bahkan hingga setelah Terdakwa menyelesaikan pemidanaannya. Olehnya itu, kesepakatan perdamaian berupa melaksanakan suatu perbuatan ini akan lebih baik dilaksanakan setelah Terdakwa selesai menjalani pidananya, dengan tetap memperhatikan efektifitas pelaksanaannya. (aar/ldr)
Referensi :
Baca Juga: Penerapan Prinsip Kehati-Hatian (Precautionary Principles) dalam Perkara Lingkungan Hidup
Perma Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Burgerlijk Wetboek voor Indonesie.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI