Radityo M. Harseno, S.H.

Perkembangan teknologi informasi telah membawa perubahan fundamental dalam sistem peradilan di Indonesia. Langkah monumental diluncurkan oleh Mahkamah Agung RI berupa implementasi sistem e-Court dan e-Litigation sebagai upaya progresif dalam modernisasi peradilan. Selain itu, Mahkamah Agung RI juga menerapkan berbagai macam inovasi yang mengandalkan teknologi-informasi untuk meningkatkan profesionalitas, integritas, akuntabilitas serta efektivitas dan efisiensi kinerjanya.

Era digital saat ini, Hakim sebagai aparatur inti dari peradilan dituntut memiliki akses dan kompetensi terhadap berbagai macam tools (alat) teknologi-informasi. Sistem kecerdasan buatan atau masyhur disebut dengan Artificial Intelligence (AI) salah satunya.

Implementasi teknologi AI dalam sistem peradilan di Indonesia diharapkan bisa diterapkan untuk membantu proses analisis perkara dan hukumnya. Analisis yurisprudensi, deteksi terhadap pola dalam perkara-perkara yang sama, dan automasi tugas-tugas administratif peradilan bahkan prediksi putusan pengadilan.

Lawrence M. Friedman dalam bukunya yang berjudul The Legal System: A Social Science Perspective, mengemukakan tentang komponen sistem hukum. Substansi hukum menjadi salah satunya yang mencakup penerapan isi, aturan, norma, dan prinsip-prinsip hukum berikut pertimbangan nurani dalam proses peradilan, khususnya sebuah putusan merupakan bagian penting dari peran Hakim. Hal itu tidak mungkin digantikan oleh siapa pun, apalagi sebuah mesin bahkan super-computer sekalipun.

Putusan seorang Hakim tidak bisa didasarkan pada analisis komputasi algoritma semata, mengingat kompleksitas faktor sosial, budaya, dan kemanusiaan yang pasti melekat erat dalam setiap perkara. Oleh karena itu, di tengah kemudahan yang ditawarkan teknologi tersebut, muncul beberapa pertanyaan krusial bagi seorang Hakim yang juga seorang manusia tentang bagaimana mendudukkan peran teknologi AI dalam dunia peradilan khususnya bagi Hakim, peran nurani seorang Hakim dalam menyusun pertimbangan putusan khususnya di era serba digital ini, dan menyeimbangkan penggunaan teknologi AI dengan hati nurani dalam menyusun pertimbangan hukum suatu putusan.

 

Peran Teknologi AI dalam Pertimbangan Hukum Putusan Hakim

Teknologi telah menghadirkan dimensi baru dalam proses pertimbangan hukum oleh para Hakim di Indonesia. Menurut Aharon Barak dalam bukunya Judicial Discretion, pertimbangan hukum Hakim merupakan kewenangan yang diberikan kepada Hakim untuk membuat pilihan diantara sejumlah alternatif yang masing-masing sah secara hukum. Dalam konteks era digital, teknologi berperan sebagai tools (alat) pendukung yang dapat memperkaya wawasan dan perspektif Hakim dalam menganalisis perkara.

Richard Susskind dalam karyanya Online Courts and the Future of Justice, mengemukakan bahwa teknologi dalam peradilan modern berfungsi dalam tiga dimensi:

  1. Sebagai support system untuk analisis hukum;
  2. Sebagai basis data untuk penelusuran yurisprudensi; dan
  3. Sebagai alat prediktif untuk mengidentifikasi pola putusan.

Penulis sendiri sudah mencoba memanfaatkan kemampuan teknologi AI untuk mengolah data berupa teks atau skrip dalam Berita Acara Sidang, menganalisis sebuah dakwaan, gugatan, dan permohonan. Selain itu, penulis pernah mencoba menganalisis konsistensi penerapan hukum dalam sebuah putusan, memahami pola-pola dalam perkara serupa, dan mencoba merumuskan fakta-fakta hukum dalam sebuah putusan.

Sistem kecerdasan buatan benar-benar memudahkan manajemen dokumen elektronik juga memudahkan Hakim dalam mengorganisir berkas-berkas perkara, memungkinkan akses cepat terhadap informasi yang diperlukan dalam proses pengambilan pertimbangan dalam sebuah putusan.

Hal ini sejalan dengan pendapat Richard Susskind dalam karyanya tentang Transformasi Hukum Di Era Digital yang menegaskan bahwa teknologi tidak hanya mengubah cara kerja praktisi hukum, tetapi juga mempengaruhi substansi dari praktik hukum itu sendiri. Namun dalam hal ini penulis menyadari bahwa ketergantungan berlebihan pada teknologi AI ini juga dapat menimbulkan tantangan dan risiko pengabaian terhadap aspek-aspek kualitatif yang tidak dapat diukur secara digital dan bahkan berpotensi munculnya dehumanisasi dalam peran seorang Hakim.

 

Peran Nurani dalam Pertimbangan Hukum Putusan Hakim di Era Digital

Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang digelari sebagai aḥsani taqwīm (QS. at-Tin: 4 ) yang bermakna sebaik-baik bentuk dibekali nurani yang secara otentik menunjukkan jati diri dan potensi kebaikannya. Dalam penciptaannya, manusia diberi kemampuan akal dan hati untuk membedakan antara yang benar dan salah, yang baik dan buruk. Nurani ini merupakan instrumen penting dari fitrah manusia (kecenderungan pada kebaikan), yang membimbingnya untuk menjalankan peran kekhalifahan di muka bumi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab.

Dalam konteks peran atau profesi seorang Hakim, nurani menjadi kompas moral yang tidak tergantikan khususnya dalam proses pengambilan keputusan. Sebagaimana dikemukakan oleh Bismar Siregar dalam karyanya yang berjudul Hati Nurani Hakim dan Putusannya, "Hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dengan menggunakan hati nurani." Sementara itu, J.A. Pontier (2008: 94) berpendapat, nurani hakim berperan sebagai ultimate guidance yang memungkinkannya untuk melihat kearifan dan kebijaksanaan di balik formalitas hukum dan menemukan keadilan yang substantif.

Di era digital yang sarat dengan kemajuan teknologi terutama AI atau kecerdasan buatan tersebut, peran nurani menjadi semakin vital sebagai penyeimbang dari kecenderungan mekanistik layaknya sistem komputer dan mesin-mesin industri. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo, "Hukum bukan hanya urusan logika dan pasal-pasal peraturan, tetapi juga urusan nurani dan kepekaan sosial (2009: 67). Hal ini sejalan dengan pandangan Artidjo Alkostar yang menegaskan bahwa, "putusan hakim harus mencerminkan perpaduan antara penalaran hukum (legal reasoning) dan kepekaan nurani (conscience sensitivity)” (Varia Peradilan 2009: Vol 48).

Peran nurani dalam pertimbangan hukum putusan hakim di era digital merupakan aspek fundamental yang tidak tergantikan oleh kemajuan teknologi secanggih apa pun. Nurani, sebagai anugerah Ilahi yang melekat dalam fitrah manusia termasuk seorang hakim, menjadi instrumen vital dalam mewujudkan keadilan substantif yang melampaui sekadar kalkulasi algoritmik.

 

Harmonisasi Teknologi AI dan Nurani dalam Pertimbangan Hukum Putusan Hakim

Dalam rangka mencapai keseimbangan pemanfaatan antara teknologi dan nurani dalam pertimbangan hukum putusan Hakim, diperlukan berbagai langkah strategis dan sistematis. Menurut Ethan Katsh (Digital Justice: Technology and the Internet of Disputes: 2017), terdapat tiga aspek fundamental yang harus diperhatikan, peningkatan kapasitas hakim dalam literasi digital, pengembangan framework etis penggunaan teknologi, dan evaluasi berkala terhadap dampak implementasi teknologi dalam sistem peradilan.

Dalam praktik penggunaan teknologi khususnya AI di pengadilan Eropa, Komisi Efisiensi Kehakiman (CEPEJ) dari Dewan Eropa telah mengembangkan lima prinsip etis fundamental yang diadopsi pada Desember 2018. Prinsip-prinsip tersebut meliputi:

  1. Penghormatan terhadap hak-hak fundamental, yang menekankan bahwa desain dan implementasi layanan AI harus sejalan dengan hak-hak dasar seperti privasi dan peradilan yang adil;
  2. Perlakuan yang setara, yang mengharuskan penghindaran diskriminasi antar individu atau kelompok;
  3. Keamanan data, yang mewajibkan penggunaan sumber dan data tersertifikasi dalam lingkungan teknologi yang aman;
  4. Transparansi, yang mengharuskan metode pemrosesan data dapat diaudit dan diakses publik; dan
  5. Kontrol pengguna atas AI, yang menegaskan bahwa algoritma tidak boleh bersifat preskriptif dan pengguna harus memiliki kemampuan untuk menyimpang dari hasil algoritma.

Hal di atas mengindikasikan bahwa peran nurani seorang Hakim tetap diperlukan dalam menilai hasil analisis atau rekomendasi dari AI untuk memastikan bahwa teknologi hanya berfungsi sebagai alat bantu dan bukan sebagai pengganti keputusan akhir yang tetap berada di tangan manusia.

Sejalan dengan pendapat Dory Reiling (dikutip dari artikel Sobandi, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung RI, Paradigma Disrupsi Dalam Dunia Peradilan Indonesia: 2023) “Artificial Intelligence (AI) mampu membantu individu, pihak yang berperkara, dan hakim dalam mengatur informasi namun AI tidak dapat menggantikan peran hakim karena hakikatnya AI hanya dapat membantu dalam memberikan nasehat dan saran saja.” Dengan demikian teknologi AI idealnya diposisikan sebagai "alat bantu” atau “pendamping" yang membantu Hakim dalam memahami dan mengolah data secara lebih efisien, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan yang mendasari hukum.

Selain itu, perlu adanya pengawasan terhadap hasil analisis yang dikerjakan oleh teknologi AI untuk mencegah ketergantungan penuh pada teknologi yang berpotensi mengandung bias atau keterbatasan tertentu yang mungkin tidak sejalan dengan nilai-nilai keadilan. Dengan demikian, pemanfaatan AI dalam proses hukum dapat tetap menghormati tanggung jawab moral dan nurani yang melekat pada peran seorang Hakim.

Keseimbangan pemanfaatan teknologi AI dan nurani manusia diharapkan akan memudahkan kinerja Hakim khususnya dalam membuat pertimbangan hukum sebuah putusan pada setiap perkara. Namun demikian, perlu digaris bawahi bahwa pemanfaatan teknologi tidak boleh mengesampingkan nurani. Mengutip ungkapan populis dari Satjipto Rahardjo (Membedah Hukum Progresif: 2008), "Hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum bertugas melayani manusia, bukan manusia yang harus melayani hukum". Oleh karena itu, jika penulis boleh berpendapat dengan mengutip ungkapan Prof. Tjip di atas, “Teknologi juga adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Teknologi bertugas melayani manusia, bukan manusia yang harus melayani teknologi”. Jika hal tersebut—manusia (Hakim) melayani teknologi—sampai terjadi, maka yang akan timbul justru dehumanisasi keadilan.

Integrasi teknologi AI dalam sistem peradilan di Indonesia perlu diimbangi dengan tetap menjaga peran nurani manusia, khususnya bagi seorang Hakim dalam membuat keputusan yang adil dan bijaksana. Hakim bukan hanya sekadar corong undang-undang, tetapi juga penjaga nilai-nilai keadilan yang berperan penting dalam melindungi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat luas. Keputusan akhir harus tetap berada di tangan Hakim, sementara teknologi digunakan sebagai alat bantu untuk memberikan informasi atau analisis pendukung, bukan sebagai pengganti pertimbangan nurani seorang manusia. Dengan cara ini, penulis berpendapat keadilan digital dan substansial dapat tercapai dengan tidak hanya mengedepankan efisiensi kinerja tetapi juga tetap mengedepankan aspek kemanusiaan yang esensial dalam hukum. (LDR,SEG)