Berdasarkan ketentuan
Pasal 14 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
Tahun 1945), Presiden memiliki hak prerogatif untuk memberikan amnesti,
abolisi, grasi, dan rehabilitasi. Dalam memberikan amnesti dan abolisi,
Presiden memperhatikan pertimbangan DPR. Sedangkan dalam pemberian grasi dan
rehabilitasi, Presiden memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Dalam konteks
penegakan hukum pidana, keempat wewenang istimewa Presiden tersebut memiliki
makna dan implikasi hukum yang berbeda walau beririsan. Amnesti adalah semua
akibat hukum pidana ditiadakan. Artinya, amnesti dapat diberikan terhadap pihak
yang telah divonis pidana yang telah berkekuatan hukum tetap maupun belum.
Dimana semua akibat hukum pidana dihapuskan (penahanan, pemidanaan dll).
Abolisi adalah
dihapuskannya penuntutan. Artinya, abolisi menghapuskan hak menuntut yang
dimiliki oleh negara dan hanya dapat diberikan terhadap terdakwa. Secara
teknis, amnesti dan abolisi diatur dalam UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954, namun di sisi lain aturan teknis terkait mandat amnesti
dan abolisi dalam konstitusi yang diatur lebih lanjut dalam UU Darurat 11 Tahun
1954 bersifat einmaligh atau sekali selesai karena hanya berlaku bagi
subjek yang disebutkan dalam UU tersebut. Sehingga dalam praktik, definisi amnesti dan abolisi mengacu pada UU
Darurat 11 Tahun 1954 sedangkan secara teknis operasional dilaksanakan
berdasarkan praktik konvensi ketatanegaraan.
Kemudian grasi,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2010 didefinisikan sebagai pengampunan yang
berupa perubahan, peringanan, perubahan, atau penghapusan pelaksanaan pidana
yang diberikan oleh Presiden. Artinya, grasi hanya diberikan kepada terpidana
yang perkaranya telah berkekuatan hukum tetap dengan implikasi hukum dihapus
atau diringankan hukuman pidananya. Jika amnesti, abolisi, maupun rehabilitasi inisiatif
berasal dari Presiden, berbeda dengan grasi yang inisiatif berasal dari
terpidana.
Baca Juga: Rehabilitasi Penyalahguna Narkotika, Pendekatan Humanis dalam Peradilan Pidana
Selanjutnya,
rehabilitasi. Rehabilitasi dalam konteks Pasal 14 UUD NRI Tahun 1945 tidak
memiliki pengaturan hukum secara operasional dalam UU. Dalam doktrin ilmu
hukum, rehabilitasi bermakna pemulihan kedudukan, harkat, dan martabat seperti
sediakala. Pemberian rehabilitasi dalam konteks Pasal 14 UUD NRI tahun 1945
pada dasarnya dapat diberikan oleh Presiden dalam lapangan hukum pidana maupun
administrasi. Dapat memulihkan status hukum (pidana) maupun memulihkan hak
pekerjaan (administrasi) sebagaimana yang dilakukan oleh Presiden Prabowo
baru-baru ini.
Pada tanggal 28
November 2025 lalu, Presiden Prabowo Subianto menggunakan kewenangan prerogatif
dengan memberikan rehabilitasi kepada tiga terdakwa kasus tindak pidana korupsi
terkait akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry.
Ketiganya meliputi eks Dirut ASDP Ira Puspadewi, mantan Direktur Perencanaan
dan Pengembangan PT ASDP, Harry Muhammad Adhi Caksono, dan eks Direktur
Komersial dan Pelayanan PT ASDP, Muhammad Yusuf Hadi. Implikasi hukum terhadap
ketiganya adalah dihapuskan akibat hukum pidana sehingga tidak menjalani pidana
penjara dan dipulihkan martabat dan kehormatan dengan hapusnya status
terpidana.
Sebelumnya, pada
tanggal 13 November 2025, Presiden Prabowo Subianto juga memberikan
rehabilitasi kepada dua guru asal Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, yaitu
Abdul Muis dan Rasnal yang diberhentikan dari pekerjaannya sebagai guru akibat
vonis pidana. Implikasi hukum terhadap pemberian rehabilitasi bagi kedua guru
tersebut adalah dipulihkan kedudukannya sehingga status pemberhentiannya
sebagai guru tidak berlaku dan keduanya kembali aktif sebagai guru ASN.
Pemberian
rehabilitasi Presiden berdasarkan ketentuan Pasal 14 UUD NRI Tahun 1945 sering
kali diidentikkan dengan penjelasan rehabilitasi sebagaimana tertera dalam
Pasal 1 angka (23) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) padahal
keduanya adalah merupakan mekanisme hukum yang berbeda. Dalam KUHAP,
rehabilitasi didefinisikan sebagai hak seorang untuk mendapat pemulihan harkat
serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau
peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan
berdasarkan undang-undang.
Ketentuan teknis
pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka (23) KUHAP diatur
dalam Pasal 97 KUHAP: (1) Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh
pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang
putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Rehabilitasi tersebut
diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1). (3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas
penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus
oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.
Jadi, rehabilitasi
dalam konteks Pasal 77 KUHAP merupakan rehabilitasi yang diberikan oleh hakim
dan dicantumkan dalam putusan akhir terhadap seseorang yang diputus bebas atau
lepas dari tuntutan hukum atau melalui mekanisme putusan praperadilan terhadap
tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan
undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke
pengadilan negeri. Rehabilitasi disini diberikan untuk memulihkan kedudukan,
harkat, dan martabatnya sebagai manusia yang sempat tercoreng karena suatu
proses hukum pidana.
Inilah perbedaan
esensial antara rehabilitasi yang dimaksud dalam Pasal 14 UUD NRI Tahun 1945
dengan rehabilitasi dalam Pasal 77 KUHAP. Rehabilitasi dalam konteks Pasal 14
UUD NRI Tahun 1945 diberikan dan menjadi hak prerogatif Presiden. Sedangkan
rehabilitasi sebagaimana dimaksud Pasal 77 KUHAP diberikan oleh hakim dalam
vonis akhir maupun putusan praperadilan atas inisiatif tersangka. Artinya,
ketentuan Pasal 77 KUHAP bukan merupakan ketentuan operasional dari Pasal 14
UUD NRI Tahun 1945.
Dalam konteks
operasionalisasi hukum pidana juga dikenal rehabilitasi sebagai sanksi
tindakan. Di luar konteks Pasal 14 UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 77 KUHAP. Dalam
sistem peradilan pidana juga dikenal rehabilitasi sebagai tindakan. Misalnya
dalam tindak pidana narkotika, tindak pidana penghapusan kekerasan seksual
maupun diatur dalam KUHP baru. Esensi rehabilitasi dalam konteks sanksi
tindakan adalah proses intervensi secara medis, sosial, maupun psikososial
untuk melepaskan trauma dan ketergantungan adiktif guna membentuk pribadi yang
lebih baik secara jasmani dan mental-psikologis dalam integrasi sosial.
Kesimpulan
Dalam konteks hukum pidana. Makna rehabilitasi pada dasarnya mengandung 3 makna.
Pertama, rehabilitasi yang diberikan oleh Presiden atas inisiatif hak prerogatif Presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung yang berimplikasi memulihkan kedudukan, harkat dan martabat seseorang baik yang perkaranya telah berkekuatan hukum tetap maupun belum berkekuatan hukum tetap. Dalam konteks ini, rehabilitasi oleh Presiden bukan termasuk dalam ranah pro justitia.
Baca Juga: Mampukah KUHAP Baru Memperkuat Konsep Ganti Kerugian?
Kedua, rehabilitasi dalam konteks Pasal 77 KUHAP. Merupakan rehabilitasi yang diberikan oleh hakim dan dicantumkan dalam putusan akhir terhadap seseorang yang diputus bebas atau lepas dari tuntutan hukum atau melalui mekanisme putusan praperadilan terhadap tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri. Rehabilitasi disini diberikan untuk memulihkan kedudukan, harkat, dan martabatnya sebagai manusia yang sempat tercoreng karena suatu proses hukum pidana.
Ketiga, rehabilitasi dalam konteks sebagai sanksi tindakan. Dalam sistem peradilan pidana juga dikenal rehabilitasi sebagai tindakan. Misalnya dalam tindak pidana narkotika, tindak pidana penghapusan kekerasan seksual maupun diatur dalam KUHP baru. Esensi rehabilitasi dalam konteks sanksi tindakan adalah proses intervensi secara medis, sosial, maupun psikososial untuk melepaskan trauma dan ketergantungan adiktif guna membentuk pribadi yang lebih baik secara jasmani dan mental-psikologis dalam integrasi sosial. (ypy)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI