Cari Berita

Rehabilitasi dalam Hukum Pidana

Pradikta Andi Alvat S.H. M.H. Analis Perkara Peradilan PN Rembang - Dandapala Contributor 2025-12-29 14:50:04
Dok. Penulis.

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), Presiden memiliki hak prerogatif untuk memberikan amnesti, abolisi, grasi, dan rehabilitasi. Dalam memberikan amnesti dan abolisi, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR. Sedangkan dalam pemberian grasi dan rehabilitasi, Presiden memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Dalam konteks penegakan hukum pidana, keempat wewenang istimewa Presiden tersebut memiliki makna dan implikasi hukum yang berbeda walau beririsan. Amnesti adalah semua akibat hukum pidana ditiadakan. Artinya, amnesti dapat diberikan terhadap pihak yang telah divonis pidana yang telah berkekuatan hukum tetap maupun belum. Dimana semua akibat hukum pidana dihapuskan (penahanan, pemidanaan dll).

Abolisi adalah dihapuskannya penuntutan. Artinya, abolisi menghapuskan hak menuntut yang dimiliki oleh negara dan hanya dapat diberikan terhadap terdakwa. Secara teknis, amnesti dan abolisi diatur dalam UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954, namun di sisi lain aturan teknis terkait mandat amnesti dan abolisi dalam konstitusi yang diatur lebih lanjut dalam UU Darurat 11 Tahun 1954 bersifat einmaligh atau sekali selesai karena hanya berlaku bagi subjek yang disebutkan dalam UU tersebut. Sehingga dalam praktik, definisi amnesti dan abolisi mengacu pada UU Darurat 11 Tahun 1954 sedangkan secara teknis operasional dilaksanakan berdasarkan praktik konvensi ketatanegaraan.

Kemudian grasi, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 didefinisikan sebagai pengampunan  yang berupa perubahan, peringanan, perubahan, atau penghapusan pelaksanaan pidana yang diberikan oleh Presiden. Artinya, grasi hanya diberikan kepada terpidana yang perkaranya telah berkekuatan hukum tetap dengan implikasi hukum dihapus atau diringankan hukuman pidananya. Jika amnesti, abolisi, maupun rehabilitasi inisiatif berasal dari Presiden, berbeda dengan grasi yang inisiatif berasal dari terpidana.

Baca Juga: Rehabilitasi Penyalahguna Narkotika, Pendekatan Humanis dalam Peradilan Pidana

Selanjutnya, rehabilitasi. Rehabilitasi dalam konteks Pasal 14 UUD NRI Tahun 1945 tidak memiliki pengaturan hukum secara operasional dalam UU. Dalam doktrin ilmu hukum, rehabilitasi bermakna pemulihan kedudukan, harkat, dan martabat seperti sediakala. Pemberian rehabilitasi dalam konteks Pasal 14 UUD NRI tahun 1945 pada dasarnya dapat diberikan oleh Presiden dalam lapangan hukum pidana maupun administrasi. Dapat memulihkan status hukum (pidana) maupun memulihkan hak pekerjaan (administrasi) sebagaimana yang dilakukan oleh Presiden Prabowo baru-baru ini.

Pada tanggal 28 November 2025 lalu, Presiden Prabowo Subianto menggunakan kewenangan prerogatif dengan memberikan rehabilitasi kepada tiga terdakwa kasus tindak pidana korupsi terkait akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry.  Ketiganya meliputi eks Dirut ASDP Ira Puspadewi, mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP, Harry Muhammad Adhi Caksono, dan eks Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP, Muhammad Yusuf Hadi. Implikasi hukum terhadap ketiganya adalah dihapuskan akibat hukum pidana sehingga tidak menjalani pidana penjara dan dipulihkan martabat dan kehormatan dengan hapusnya status terpidana.

Sebelumnya, pada tanggal 13 November 2025, Presiden Prabowo Subianto juga  memberikan rehabilitasi kepada dua guru asal Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, yaitu Abdul Muis dan Rasnal yang diberhentikan dari pekerjaannya sebagai guru akibat vonis pidana. Implikasi hukum terhadap pemberian rehabilitasi bagi kedua guru tersebut adalah dipulihkan kedudukannya sehingga status pemberhentiannya sebagai guru tidak berlaku dan keduanya kembali aktif sebagai guru ASN.

Pemberian rehabilitasi Presiden berdasarkan ketentuan Pasal 14 UUD NRI Tahun 1945 sering kali diidentikkan dengan penjelasan rehabilitasi sebagaimana tertera dalam Pasal 1 angka (23) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) padahal keduanya adalah merupakan mekanisme hukum yang berbeda. Dalam KUHAP, rehabilitasi didefinisikan sebagai hak seorang untuk mendapat pemulihan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang.

Ketentuan teknis pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka (23) KUHAP diatur dalam Pasal 97 KUHAP: (1) Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.

Jadi, rehabilitasi dalam konteks Pasal 77 KUHAP merupakan rehabilitasi yang diberikan oleh hakim dan dicantumkan dalam putusan akhir terhadap seseorang yang diputus bebas atau lepas dari tuntutan hukum atau melalui mekanisme putusan praperadilan terhadap tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri. Rehabilitasi disini diberikan untuk memulihkan kedudukan, harkat, dan martabatnya sebagai manusia yang sempat tercoreng karena suatu proses hukum pidana.

Inilah perbedaan esensial antara rehabilitasi yang dimaksud dalam Pasal 14 UUD NRI Tahun 1945 dengan rehabilitasi dalam Pasal 77 KUHAP. Rehabilitasi dalam konteks Pasal 14 UUD NRI Tahun 1945 diberikan dan menjadi hak prerogatif Presiden. Sedangkan rehabilitasi sebagaimana dimaksud Pasal 77 KUHAP diberikan oleh hakim dalam vonis akhir maupun putusan praperadilan atas inisiatif tersangka. Artinya, ketentuan Pasal 77 KUHAP bukan merupakan ketentuan operasional dari Pasal 14 UUD NRI Tahun 1945.

Dalam konteks operasionalisasi hukum pidana juga dikenal rehabilitasi sebagai sanksi tindakan. Di luar konteks Pasal 14 UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 77 KUHAP. Dalam sistem peradilan pidana juga dikenal rehabilitasi sebagai tindakan. Misalnya dalam tindak pidana narkotika, tindak pidana penghapusan kekerasan seksual maupun diatur dalam KUHP baru. Esensi rehabilitasi dalam konteks sanksi tindakan adalah proses intervensi secara medis, sosial, maupun psikososial untuk melepaskan trauma dan ketergantungan adiktif guna membentuk pribadi yang lebih baik secara jasmani dan mental-psikologis dalam integrasi sosial.

Kesimpulan

Dalam konteks hukum pidana. Makna rehabilitasi pada dasarnya mengandung 3 makna.

Pertama, rehabilitasi yang diberikan oleh Presiden atas inisiatif hak prerogatif Presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung yang berimplikasi memulihkan kedudukan, harkat dan martabat seseorang baik yang perkaranya telah berkekuatan hukum tetap maupun belum berkekuatan hukum tetap. Dalam konteks ini, rehabilitasi oleh Presiden bukan termasuk dalam ranah pro justitia.

Baca Juga: Mampukah KUHAP Baru Memperkuat Konsep Ganti Kerugian?

Kedua, rehabilitasi dalam konteks Pasal 77 KUHAP. Merupakan rehabilitasi yang diberikan oleh hakim dan dicantumkan dalam putusan akhir terhadap seseorang yang diputus bebas atau lepas dari tuntutan hukum atau melalui mekanisme putusan praperadilan terhadap tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri. Rehabilitasi disini diberikan untuk memulihkan kedudukan, harkat, dan martabatnya sebagai manusia yang sempat tercoreng karena suatu proses hukum pidana.

Ketiga, rehabilitasi dalam konteks sebagai sanksi tindakan. Dalam sistem peradilan pidana juga dikenal rehabilitasi sebagai tindakan. Misalnya dalam tindak pidana narkotika, tindak pidana penghapusan kekerasan seksual maupun diatur dalam KUHP baru. Esensi rehabilitasi dalam konteks sanksi tindakan adalah proses intervensi secara medis, sosial, maupun psikososial untuk melepaskan trauma dan ketergantungan adiktif guna membentuk pribadi yang lebih baik secara jasmani dan mental-psikologis dalam integrasi sosial. (ypy)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…