Cari Berita

Inform Consent Dalam Tindakan Medis sebagai Hak Pasien

article | Kaidah Hukum | 2025-09-25 12:10:50

Informed consent dapat diartikan sebagai persetujuan atas apa yang dilakukan oleh seorang dokter kepada pasien untuk tindakan medis yang akan dilakukan. Prinsip dari informed consent sebetulnya merupakan kepercayaan dan kejujuran, dimana pasien wajib memberikan informasi yang detail mengenai keluhan apa yang terjadi dan riwayat penyakit yang dihadapi serta informasi dan tindakan yang akan dilakukan oleh dokter secara akurat dan tepat.Pengaturan Pengaturan informed consent secara khusus diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Informasi yang wajib didapatkan oleh pasien atas tindakan yang dilakukan oleh dokter seperti diagnosis terhadap penyakit yang diderita, tindakan yang akan dilakukan, tujuan dari tindakan tersebut, resiko yang mungkin terjadi, serta perkiraan biaya atas tindakan tersebut.Kewajiban seorang dokter untuk memberikan informasi secara detail kepada pasien termuat dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan dimana setiap orang berhak mendapatkan informasi dan edukasi tentang Kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.Kronologis KasusTindakan dokter yang tidak melakukan informed consent kepada pasien dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Itulah kaidah hukum yang dapat disimpulkan dari putusan Nomor 3203 K/Pdt/2017 yang diputus pada Jumat (22/12/2017), antara Samat Ngadimin selaku Penggugat atau Pemohon Kasasi melawan Drg. Yus Andjojo D.H selaku Tergugat atau Termohon Kasasi. Kasus ini berawal pada tahun 2013, dimana Penggugat yang mendatangi klinik Tergugat untuk melakukan pengobatan gigi sekaligus melakukan implant gigi. Selanjutnya, dilakukan operasi sebanyak lima kali dalam kurun waktu bulan September tahun 2013 sampai dengan operasi terakhir pada 25 Juli 2014.Setelah dua hari dilakukan operasi implant, timbul bau busuk pada gusi Penggugat sehingga Penggugat datang ke Tergugat untuk meminta pertolongan, hingga pada tanggal 29 Juli 2014, dengan kondisi yang cukup parah, Penggugat meminta agar hasil implant gigi tersebut dibongkar, sehingga Tergugat menyarankan untuk dilakukan pembersihan dengan operasi besar.Pada saat pembongkaran implant gigi tersebut, ditemukan fakta jika Tergugat telah memasangkan implant pada gigi lainnya yang juga ikut membusuk sehingga harus dibongkar juga.Melihat perbuatan Tergugat yang memasang implant pada gigi lain tanpa sepengetahuan Penggugat, hal itu yang menjadikan pertanyaan dikarenakan Penggugat maupun keluarganya tidak pernah memberikan persetujuan tertulis (informed consent) terhadap apa yang dilakukan oleh Tergugat. Tergugat menanggapi dalam jawabannya jika pemasangan implant gigi sudah sesuai dengan prosedur, dimana telah dilakukan pemberitahuan terlebih dahulu kepada pasien sehingga menjadi sesuatu yang mustahil apabila pemasangan implant tanpa sepengetahuan dari Penggugat.Judex Facti pada peradilan tingkat pertama dan banding dalam putusannya menolak gugatan Penggugat seluruhnya. Hingga pada akhirnya di tingkat kasasi Judex Juris mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Penggugat dan menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, sebagaimana Putusan Nomor 3203 K/Pdt/2017 tanggal 22 Desember 2017.Penerapan Informed ConsentDalam pertimbangannya Mahkamah Agung berpendapat, tindakan medis Tergugat terhadap Pengugat berupa operasi pemasangan implan gigi merupakan tindakan/operasi kecil, akan tetapi para saksi Tergugat khususnya yang satu profesi dengan Tergugat menerangkan antara lain bahwa tindakan/operasi pemasangan implan gigi merupakan tindakan/operasi yang penuh resiko gagal, baik karena resiko atau kegagalan langsung dari hasil tindakan/operasi yang dilakukan oleh seorang dokter gigi (ahli) yang bersangkutan, seperti yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat, juga bisa resiko kegagalan tersebut disebabkan oleh tindakan pasien itu sendiri setelah dilakukan tindakan/operasi, dari fakta di atas dihubungkan dengan tindakan Tergugat yang di dalam melakukan beberapa kali tindakan medis antara lain berupa, melakukan operasi pemasangan implan gigi Penggugat, yang ternyata Tergugat sama sekali tidak meminta persetujuan secara tertulis kepada Penggugat dan atau keluarga Penggugat merupakan tindakan kekurang hati-hatian.Terlebih, Tergugat dalam menjalankan profesinya atau telah melakukan malpraktek sehingga menjadikan tindakan operasi pemasangan implan gigi oleh Tergugat kepada Penggugat tersebut dapat dikualifikasikan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.PenutupBerdasarkan putusan kasasi tersebut, dapat dipahami bahwa informed consent merupakan hak bagi pasien untuk mendapatkan informasi yang jelas terhadap tindakan apa yang akan dilakukan oleh dokter. Hal ini tercermin dalam Pasal 274 UU Kesehatan yang mana tenaga medis dan kesehatan dalam menjalankan praktik wajib memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarganya atas tindakan yang akan diberikan. Sebagai penutup, agar kejadian serupa tidak terjadi lagi, setiap tenaga medis diharapkan dapat memberikan informasi secara detail kepada pasien/keluarganya dan harus mendapat persetujuan atas setiap tindakan dengan membuat perincian yang jelas untuk ditandatangani oleh kedua belah pihak yaitu dokter maupun pasien/keluarganya. (asn)DAFTAR PUSTAKAWahyu Adrianto, Informed Consent sebagai Fondasi Tindakan Medis, 2025Anggun Rezki Pebrina, Fungsi Penerapan Informed Consent Sebagai Persetujuan Pada Perjanjian, 2022Putusan Kasasi Nomor 3203 K/Pdt/2017 tanggal 22 Desember 2017 Putusan Nomor 11/Pdt.G./2016/PN.JKT.BRT

Kaidah Hukum: Subrogasi Asuransi Kredit

article | Kaidah Hukum | 2025-09-15 15:35:34

Bahwa pengalihan/perpindahan piutang subrogasi dari Tergugat (perbankan) kepada Turut Tergugat (perusahaan asuransi) atas pembayaran klaim asuransi kredit Penggugat (debitur) adalah kesalahan penerapan hukum karena kedudukan Turut Tergugat bukan sebagai kreditur baru melainkan sebagai penanggung yang memberikan pertanggungan atas risiko kegagalan pemenuhan kewajiban finansial Debitur/Penggugat kepada Kreditur/Tergugat sesuai dengan perjanjian kredit, karenanya pembayaran klaim menjadi piutang subrogasi Turut Tergugat yang memiliki hak atas penagihan piutang kepada Penggugat tidak berdasar alasan yang sah.Bahwa lagi pula penerapan subrogasi oleh Perusahaan Umum Asuransi adalah dilarang untuk produk asuransi yang dikaitkan dengan kredit atas risiko yang salah satunya adalah Debitur kehilangan pekerjaan yang bukan disebabkan: permintaan Debitur, perbuatan melanggar hukum dan/atau pelanggaran perjanjian kerja oleh Debitur, sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (3) huruf c Peraturan OJK Nomor 20 Tahun 2023 tentang Produk Asuransi yang Dikaitkan dengan Kredit atau Pembiayaan Syariah dan Produk Suretyship atau Suretyship Syariah Demikian kaidah hukum yang dapat ditarik dari Putusan No. 1818 K/Pdt/2024. Perkara ini bermula pada 1 April 2018 ketika Penggugat mendapat fasilitas kredit Rp530 juta dari Tergugat (perbankan). Untuk mencairkan kredit itu Penggugat harus membayar premi asuransi sejumlah Rp29.966.200,00 kepada Turut Tergugat (perusahaan asuransi). Pada tanggal 2 Okt 2019 Penggugat mendapat surat PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dari tempatnya bekerja sehingga Penggugat mengajukan klaim asuransi kredit kepada Tergugat, namun ternyata Penggugat masih mendapat surat peringatan untuk membayar angsuran dari Tergugat, hingga akhirnya Penggugat masih ditagih oleh Tergugat sebesar Rp742.566.982,00 oleh karena itu Penggugat menuntut agar tindakan Tergugat itu dinyatakan sebagai Perbuatan Melawan Hukum.Tergugat dalam jawabannya menyatakan asuransi pertanggungan yang diberikan oleh Turut Tergugat hanya bersifat pengalihan hutang atau subrogasi kepada Turut Tergugat serta tidak menghapuskan kewajiban Penggugat sebagai Debitur untuk tetap melunasi kreditnya. Meskipun tunggakan pokok Penggugat sebesar Rp511.342.795,53 telah dibayar lunas oleh Turut Tergugat, namun pembayaran dari Turut Tergugat tersebut menimbulkan piutang subrogasi yang dimiliki oleh Turut Tergugat, sehingga Penggugat masih memiliki kewajiban atas fasilitas kreditnya yang terdiri dari (bunga, denda, biaya subrogasi) yang belum dilunasi oleh Penggugat per tanggal 21 Februari 2022 adalah sebesar Rp511.342.795,53Bahwa di tingkat pertama maupun di tingkat banding, gugatan Penggugat tersebut ditolak seluruhnya. Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung dalam Putusan No. 1818 K/Pdt/2024 tanggal 21 Agustus 2024 mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Penggugat dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian sehingga Penggugat tidak perlu lagi membayar kreditnya karena telah terjadi risiko dan Turut Tergugat sebagai perusahaan asuransi telah melunasi kredit Penggugat itu kepada Tergugat. Bahwa berdasarkan transkrip percakapan telepon antara Penggugat dengan Tergugat, untuk pencairan kredit, Tergugat mensyaratkan Penggugat harus membayar polis asuransi, dimana polis asuransi itu untuk mengcover risiko ketika Penggugat meninggal dunia atau jika Penggugat di PHK karena pengurangan pegawai dan bukan PHK karena melakukan tindak kriminal, dalam hal terjadi risiko tersebut maka yang akan melunasi sisa utang adalah perusahaan asuransi;Bahwa Penggugat di PHK bukan karena mengundurkan diri dan juga bukan karena melakukan tindak kriminal sehingga Turut Tergugat sebagai perusahaan asuransi yang menjamin kredit tersebut telah membayarkan sisa utang Penggugat kepada Tergugat.Bahwa Tergugat menyatakan dengan dilunasinya sisa kredit oleh perusahaan asuransi (Turut Tergugat) hal itu tidak menghapuskan kewajiban Penggugat untuk tetap melunasi utangnya, karena berdasarkan Perjanjian antara Tergugat dengan Turut Tergugat, salah satunya mengatur bahwa Turut Tergugat memberikan subrogasi kepada Tergugat untuk menagih sisa utang debitur.Bahwa dalil sangkalan Tergugat mengenai subrogasi tersebut tidak cukup beralasan, karena perjanjian tersebut hanya mengikat Tergugat dan Turut Tergugat, sementara Penggugat (Debitur) tidak dilibatkan dalam perjanjian itu.Bahwa lagi pula pada saat Penggugat diminta untuk membayar polis asuransi, Tergugat tidak ada menerangkan jika terjadi risiko PHK, maka debitur masih harus tetap melunasi sisa utangnya dengan subrogasi. Bahwa yang diterangkan oleh Tergugat kepada Penggugat adalah polis asuransi itu untuk mengcover jika terjadi risiko yaitu Penggugat di PHK karena pengurangan pegawai dan bukan PHK karena Penggugat melakukan tindak kriminal ataupun Penggugat mengundurkan diri.Bahwa dalam jawabannya Turut Tergugat pun tidak pernah mempermasalahkan agar Penggugat membayar kewajiban atau sisa utangnya berdasarkan subrogasi. Justru dalam jawabannya, Turut Tergugat minta agar dikeluarkan sebagai pihak dari perkara a quo karena Turut Tergugat telah memenuhi kewajibannya dengan membayar klaim atas terjadinya risiko pada kredit Penggugat kepada Tergugat tersebut.Bahwa dengan demikian Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum karena masih menagih kepada Penggugat untuk melunasi kreditnya padahal kredit itu sudah dilunasi oleh Turut Tergugat (perusahaan asuransi. (ASN)

Kaidah Hukum Putusan MA Soal Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Fungsi Negatif

article | Kaidah Hukum | 2025-09-08 12:25:35

PASAL 12 KUHP Nasional menegaskan bahwa setiap tindak pidana harus memiliki sifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Secara a contrario, dapat disimpulkan bahwa setiap tindak pidana selalu dianggap bersifat melawan hukum, kecuali jika terdapat alasan pembenar. Artinya, unsur melawan hukum merupakan bagian dari fundamental yang melekat pada setiap delik. Karena merupakan syarat umum penjatuhan pidana, pengertian ini disebut sebagai sifat melawan hukum umum. Di samping secara umum, salah satu wujud lain dari sifat melawan hukum adalah dalam bentuknya yang materiel. Artinya, suatu perbuatan dianggap melawan hukum bukan hanya berdasarkan hukum tertulis, tetapi juga disebabkan norma-norma kepatutan, moralitas, dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Sifat melawan hukum materiel lalu terbagi menjadi dua, yakni fungsi negatif dan positif.Dalam fungsi positif, sifat melawan hukum dapat memperluas pengertian delik pidana jika masyarakat menganggap suatu perbuatan tercela, walau tidak diatur oleh undang-undang. Di sisi lain, sifat melawan hukum dalam fungsi negatif justru menghapuskan pertanggungjawaban pidana meski unsur delik terpenuhi, jika perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan norma keadilan. Salah satu kaidah penting mengenai sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif adalah putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 42/K/Kr/1965. Kasus ini berawal dari dakwaan terhadap Machroes Effendi, patih di Kantor Bupati Sambas sekaligus Wakil Ketua Jajasan Badan Pembelian Padi (JBPP). Ia diduga melakukan penggelapan yang merugikan keuangan negara sepanjang tahun 1962 di Kota Singkawang atau Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Menurut penuntut, Machroes menerbitkan perintah pengiriman atau delivery order (DO) gula kepada pihak yang tidak berhak menerima dan menyimpang dari tujuan semula. Ia juga mengirim gula sejumlah 682.859 kg ke daerah (kawedanan) yang tidak mampu menyerapnya, sehingga terdapat 185 ton gula yang akhirnya dijual di pasar bebas. Di samping itu, Machroes memerintahkan penyusutan jumlah gula insentif sejumlah 10% (67.932 kg) tanpa berita acara, serta beberapa tindakan lain yang tak sesuai peraturan. Akibatnya, JBPP ditaksir mengalami kerugian sekitar Rp9,8 juta.Pengadilan Negeri (PN) Singkawang kemudian menjatuhkan putusan tanggal 24 September 1964, serta menghukum Machroes Effendi dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan. Namun, Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta justru menjatuhkan putusan lepas segala tuntutan hukum di tanggal 27 Januari 1965 dengan alasan negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, serta terdakwa tidak memperoleh keuntungan. Kontra dengan putusan lepas tersebut, penuntut mengajukan kasasi ke MA pada tanggal 22 Maret 1965. Di tingkat kasasi, MA menguatkan pertimbangan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta, sekaligus memperluas alasan yang menghilangkan sifat melawan hukum di luar KUHP. Dengan kata lain, pertimbangan putusan lepas bukan bersumber dari ketentuan undang-undang, melainkan karena MA tidak menemukan unsur melawan hukum dalam tindakan terdakwa. Pada konteks perkara ini, perbuatan Machroes Effendi yang tidak mengakibatkan kerugian negara, kepentingan umum diuntungkan, serta terdakwa tidak mendapat keuntungan sama sekali—merupakan faktor yang menghapuskan sifat melawan hukum. MA juga menegaskan bahwa alasan penghapus sifat melawan hukum meliputi asas keadilan serta asas “hukum tidak tertulis dan bersifat umum” di luar undang-undang.Putusan MA Nomor 42/K/Kr/1965 kerap menjadi rujukan literatur mengenai bagaimana fungsi negatif dari sifat melawan hukum berlaku dalam praktik peradilan di Indonesia. Maka dari itu, hingga kini terdapat tak kurang dari 400 putusan dalam Direktori Putusan yang menyebutkan kata kunci “42/K/Kr/1965” atau “Machroes Effendi”, terutama di perkara korupsi. Putusan ini sekaligus memperlihatkan bahwa ukuran keadilan tidak terbatas pada terpenuhinya unsur delik semata, tetapi harus mempertimbangkan rasa keadilan dan norma yang hidup di masyarakat.

Prinsip Internasional dan Hukum Adat Aceh Warnai Putusan Kasus Penyelundupan Rohingya

article | Kaidah Hukum | 2025-09-05 06:25:34

Tapak Tuan, Aceh. Pengadilan Negeri (PN) Tapaktuan, Aceh Selatan, menjatuhkan vonis 6 sampai 7 tahun terhadap empat Terdakwa kasus penyelundupan imigran ilegal etnis Rohingya dari Bangladesh ke wilayah Tapaktuan, Aceh Selatan. Berdasarkan penelusuran DANDAPALA dari SIPP PN Tapaktuan perkara tersebut terdaftar dalam Perkara No. 15/Pid.Sus/2025/PN Ttn atas Terdakwa Abizar alias Mijan dan Ilhamdi Bin Alm Nurdin, No. 16/Pid.Sus/2025/PN Ttn atas nama Terdakwa Faisal Bin Ilyas dan No. 17/Pid.Sus/2025/PN Ttn atas nama Ruslan alias Yong Hitam.Terdakwa Abizar alias Mijan dan Ilhamdi Bin Alm Nurdin dijatuhi hukuman pidana penjara 7 tahun, karena terbukti melanggar Pasal 120 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian Jo. Pasal 55 KUHP dan Pasal 3 jo pasal 2 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan dan pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang.Terdakwa Ilhamdi Bin Alm Nurdin juga dinyatakan melanggar Pasal 323 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.Terdakwa Faisal Bin Ilyas dan Ruslan alias Yong Hitam dijatuhi hukuman pidana penjara 6 tahun. Mereka terbukti melanggar Pasal 120 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian Jo. Pasal 56 Ke-1 KUHP.Putusan tersebut diucapkan Rabu (3/9), dipimpin hakim ketua Daniel Saputra, didampingi hakim anggota Fauzan Prasetya, dan Taufiek Ganeis Hidayat.Dalam putusannya, majelis hakim menilai perbuatan Para Terdakwa secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan tindak pidana keimigrasian, tindak pidana pencucian uang hingga tindak pidana pelayaran sesuai dengan perannya masing-masing yang merupakan kejahatan serius yang berpotensi mengancam kedaulatan negara. “Apabila praktik ini dibiarkan, akan membuka celah masuknya penyelundupan manusia secara besar-besaran yang berpotensi mengganggu ketertiban nasional,” tegas majelis.Namun dalam menentukan lamanya pemidanaan, majelis hakim mempertimbangkan prinsip doktrin hukum pidana modern, asas kausalitas fenomena kedatangan para pengungsi etnis Rohingya di Indonesia, prinsip-prinsip hukum internsional seperti Prinsip Non-Refoulement serta falsafah adat Aceh Hukom ngoen adat lage dzat ngoen sifeut terkait yang mengkaji nilai hukum islam dalam merampas barang milik salah satu Terdakwa.Perjalanan perkaraOperasi penyelundupan manusia sudah berlangsung sejak Agustus 2024. Operasi pertama dilakukan pada 29 September 2024 dengan menyewa kapal motor dengan harga sejumlah Rp50 juta rupiah. Sebanyak 94 orang Rohingya berhasil diturunkan di Gampong Lung Beurawe, Labuhan Haji Barat, lalu diangkut dengan dua truk Colt Diesel menuju Pekanbaru.Tidak berhenti di sana, jaringan ini kemudian membeli kapal KM. Bintang Raseki seharga Rp580–600 juta menggunakan uang dari Herman. Kapal tersebut digunakan dalam operasi kedua pada 14 Oktober 2024 untuk menjemput sekitar 170 orang Rohingya dari laut Andaman. Namun kapal mengalami kerusakan mesin hingga terdampar di perairan Labuhan Haji, Aceh Selatan.“Pada 17 Oktober 2024 dini hari, sekitar 50 orang Rohingya dilangsir dengan speed boat ke pantai Desa Keumumu, Aceh Selatan, kemudian diarahkan ke truk untuk dibawa ke Pekanbaru dengan tujuan akhir Malaysia,” tutur majelis hakim.Dua hari kemudian, warga menemukan jasad seorang perempuan Rohingya terapung di laut, disusul mayat lain yang terdampar di pantai. Penyelidikan aparat akhirnya menemukan 152 imigran Rohingya masih berada di kapal KM. Bintang Raseki dan segera dilakukan evakuasi bersama UNHCR.Atas perbuatan para Terdakwa tersebut, Para Terdaka juga dijatuhi pidana denda masing-masing Rp1 miliar rupiah, subsider 4 bulan kurungan. “Menjatuhkan pidana penjara serta pidana denda kepada para terdakwa. Menetapkan barang bukti berupa kapal, speed boat, dokumen, rekening koran, dan telepon genggam, Mobil l300 Pickup merek Mitsubishi warna hitam Nomor Polisi BL 8136 CC termasuk Mobil Kijang Innova Nomor Polisi BL 1183 CJ milik Terdakwa Abizar alias Mijan dirampas untuk negara,” tegas Ketua Majelis Hakim dalam persidangan. (ldr)

Interpretasi Pengadilan Atas Hak Tradisional Masyarakat Adat Timor Tengah Selatan

article | Kaidah Hukum | 2025-08-31 16:05:16

Masyarakat adat di Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur telah menikmati hak-hak tradisional mereka sejak sebelum kemerdekaan. Salah satu dari sekian banyak kategori hak masyarakat adat adalah hak untuk mengurus diri sendiri berdasarkan sistem kepengurusan/kelembagaan adat serta hak untuk menguasai dan mengelola tanah dan sumber daya alam di wilayah adatnya.Sayangnya, hak tradisional tersebut kerap terabaikan dalam berbagai kebijakan negara. Misalnya kebijakan dalam pembentukan Daerah Tingkat II TTS berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1958.Pembentukan Daerah Tingkat II TTS ini juga diikuti dengan pemekaran wilayah yang menimbulkan pergeseran wilayah-wilayah kerajaan yang kemudian terbagi menjadi tiga daerah swapraja: Daerah Swapraja Mollo, Amanuban, dan Amanatun. Dampaknya, batas wilayah kerajaan di TTS tidak memiliki kejelasan sehingga banyak menimbulkan masalah penguasaan tanah antar persekutuan adat.Selain itu, kebijakan yang berdampak pada hak masyarakat adat adalah tentang pengorganisasian masyarakat desa melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-Undang ini menyeragamkan administrasi pemerintahan di level terbawah. Penyeragaman ini berpotensi mengikis tatanan masyarakat adat dalam kaitannya dengan hak untuk mengurus diri sendiri berdasarkan kelembagaan adat.Meski secara administratif desa di TTS tunduk pada aturan organisasi pemerintah, kelembagaan adat yang masih kuat membuat struktur dan kewenangan masyarakat adat tetap dipertahankan dan dihormati oleh warganya. Akibat dari kondisi ini, sering muncul sengketa tanah yang diajukan ke pengadilan negara untuk memperoleh kepastian hukum mengenai status penguasaan tanah yang diberikan oleh fungsionaris adat.Berdasarkan hal-hal tersebut, selanjutnya dalam tulisan ini akan dibahas mengenai struktur kelembagaan masyarakat adat di TTS dan bagaimana hakim mengadili perkara yang berkaitan dengan struktur kelembagaan masyarakat adat di TTS.Struktur Kelembagaan Masyarakat Adat TTSMasyarakat Hukum Adat yang tinggal di Pulau Timor, NTT, adalah salah satu masyarakat hukum adat/jural communities/rechtgemeensschappen yang dikenal dalam literatur yang ditulis oleh Van Vollenhoven. Masyarakat hukum adat yang tinggal di Pulau Timor merupakan masyarakat hukum adat berdasarkan ikatan genealogis[1].Kerajaan-kerajaan diatur berdasarkan semacam persekutuan pemerintahan adat di mana masing-masing kesatuan di bawahnya tetap menjalankan pemerintahan secara adat yang dikepalai oleh amaf-amaf besar yang kemudian juga menjadi semacam raja yang bergelar usif. Di bawahnya terdapat kefetoran yang dikepalai oleh fetor dan di bawah kefetoran adalah ketemukungan yang dikepalai oleh temukung. Untuk bidang keamanan terdapat panglima-panglima yang disebut meo naok yang merupakan prajurit pilihan[2]. Ketemukungan tersebut selanjutnya dibagi lagi menjadi temukung besar dan temukung kecil.Dengan diadopsinya desa gaya baru, temukung besar dan temukung kecil sebagai dua kesatuan terkecil masyarakat hukum adat Mollo berubah menjadi rukun warga dan rukun tetangga. Gabungan dari rukun tetangga membentuk rukun warga; gabungan dari rukun warga membentuk dusun; dan gabungan dusun membentuk desa[3]. Perubahan pemerintahan adat ke dalam desa gaya baru ini menunjukkan masyarakat hukum adat TTS berusaha untuk tetap bertahan dan beradaptasi di bidang hukum dan pemerintahan.Membaca Hak Tradisional Masyarakat Adat TTS dalam Putusan HakimPara ahli hukum adat telah menyampaikan bahwa hukum adat dapat ditemukan dalam putusan-putusan hakim[4]. Pada tahun 2017, di Soe terjadi sengketa pertanahan yang diajukan di pengadilan. Penggugat mendalilkan mendapatkan tanah dari Usif Mella (Raja di kerajaan Mollo), sedangkan Tergugat mengklaim ia adalah seorang keturunan dari Temukung yang mendapatkan tanah dari dari Usif Nope (Raja di kerajaan Amanuban). Dualisme tatanan organisasi masyarakat adat dan organisasi desa pemerintah yang berlaku di TTS membuat hakim harus menemukan titik temu yang ideal diantara keduanya. Oleh karena itu Hakim melakukan penemuan hukum untuk menyetarakan tatanan organisasi masyarakat adat ke dalam kerangka desa gaya baru. Dari hasil penemuan hukum oleh hakim, didapati bahwa usif adalah raja yang menguasai wilayah suku tertentu, di bawah Usif terdapat Fetor yang setara dengan Camat, dan di bawahnya adalah Temukung yang setara dengan Kepala Desa. Usif berwenang mengelola sumber daya alam di wilayahnya secara adat, namun Fetor dan Temukung inilah yang memiliki kewenangan langsung dalam mengatur pemanfaatan lahan bagi warga adatnya. Karena perannya yang strategis, Temukung haruslah diangkat dari anggota masyarakat adat, dan tidak mungkin seorang pendatang menduduki jabatan Temukung[5].Ketentuan hukum adat yang bersifat umum tersebut digunakan hakim untuk menyelesaikan peristiwa konkrit. Dalam proses pembuktian diketahui bahwa tergugat adalah seorang pendatang yang datang ke TTS pada tahun 1930an. Selain itu, diketahui pula bahwa pada tahun tersebut tanah sengketa berada pada Kefetoran Bijeli yang merupakan wilayah kerajaan Mollo yang dipimpin oleh Usif Mella, baru kemudian setelah tahun 1958 lokasi tanah sengketa masuk ke dalam wilayah Daerah Swapraja Amanuban. Dari fakta tersebut maka Majelis Hakim menarik kesimpulan bahwa dalil Tergugat yang mengatakan bahwa ia adalah keturunan seorang temukung yang mendapat tanah dari Usif Nope tidaklah terbukti. Selanjutnya dalil gugatan Penggugat dibenarkan dan pengadilan menyatakan tanah sengketa adalah milik Penggugat[5].Pada perkara yang lain, di tahun 2019 terjadi sengketa tanah di Kolbano yang timbul dari konflik antar persekutuan adat berkepanjangan yang merugikan Penggugat dan Tergugat. Sengketa pertanahan yang terjadi saat itu muncul dari konflik persekutuan adat Pene Selatan dengan persekutuan adat Kolbano. Masing-masing persekutuan adat menyatakan memiliki Usif masing-masing. Dalam mengadili perkara ini, Hakim kembali menggali dan menemukan ketentuan hukum adat TTS, selanjutnya hakim menerapkan hukum adat yang bersifat umum tersebut ke dalam peristiwa konkrit. Pada tahap selanjutnya hakim menggali hubungan tanah sengketa dengan para pihak dengan menggunakan alat bukti yang disajikan di persidangan. Fakta hukum yang didapat ialah bahwa Penggugat merupakan keturunan seorang Meo yang telah terlebih dahulu menguasai tanah sengketa. Dalam hal ini Meo adalah suatu jabatan khusus dalam sistem pemerintahan adat di TTS yang bertindak sebagai panglima perang. Atas jabatan tersebut, seorang Meo diberikan tanah oleh Usif. Berdasarkan hal tersebut Pengadilan berpendapat bahwa Penggugat memiliki hak untuk menguasai tanah sengketa[6].PenutupMeskipun beberapa kebijakan negara berpotensi mengikis hak-hak masyarakat adat, namun hukum tidak tertulis yang hidup terkait kelembagaan adat masih ada dan dihormati oleh warga masyarakat adat TTS. Hukum yang tidak tertulis tersebut digunakan oleh hakim untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Dua kasus posisi di atas menunjukkan bahwa hakim dalam mengadili perkara yang berkaitan dengan kelembagaan adat di TTS telah melakukan penemuan hukum dengan cara menggali, memahami, dan mengikuti rasa keadilan yang hidup di masyarakat serta menggunakan asas-asas hukum adat yang bersifat umum ke dalam peristiwa konkrit. (ikaw/ldr) Daftar Pustaka[1]      J. F. Holleman, Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law. Leiden: KITLV, 1981.[2]      Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur. Jakarta, 1984.[3]      S. I. Pradhani, “Konsepsi Pengorganisasi Keberagaman Indonesia: Studi Kasus Sejarah Hukum Pemerintahan Masyarakat Hukum Adat Mollo”, dalam HUKUM DAN POLITIK: Regulasi yang Memuliakan Martabat Manusia, Yogyakarta: Sanggar Inovasi Desa, 2020, hlm. 61–114.[4]      A. C. L. Hakim dan S. I. Pradhani, “Penerapan Pendekatan Formalistik dalam Penemuan Hukum Adat Oleh Hakim: Studi Kasus Sengketa Surat Keterangan Tanah Adat di Kalimantan Tengah”, Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan, vol. 7, no. 1, hlm. 96–111, 2021.[5]      Putusan 2370 K/Pdt/2018 jo. 163/Pdt/2017/PT KPG jo. 11/Pdt.G/2017/PN Soe. [6]      Putusan 116/Pdt/2019/PT KPG jo. 10/Pdt.G/2019/PN Soe.

Penerapan Perekaman Elektronik dalam Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual

article | Kaidah Hukum | 2025-08-21 10:40:54

Salah satu tujuan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) adalah untuk menangani, melindungi, dan memulihkan Korban. UU TPKS yang diundangkan pada 9 Mei 2022 ini juga menyebutkan dalam penjelasannya bahwa kekerasan seksual menimbulkan dampak luar biasa kepada Korban. Dampak tersebut meliputi penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik. Dampak kekerasan seksual juga sangat memengaruhi hidup Korban.Dalam publikasi berjudul Pedoman Pemaknaan Pasal Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS), Konsorsium Akademi Penghapusan Kekerasan Seksual pada Januari 2024 menuliskan Pelecehan seksual yang dialami oleh korban dapat menjadi trauma yang membekas pada korban.Publikasi tersebut menyebutkan terdapat penelitian dalam bidang psikologi menunjukkan pelecehan seksual turut mengancam integritas fisik diri sendiri atau orang lain. Publikasi tersebut juga mengutip sebuah penelitian lain yang menunjukkan berbagai bentuk pelecehan seksual, dari kategori paling ringan (seperti komentar tentang baju yang ketat) hingga paling berat (seperti pelecehan seksual yang melibatkan persetubuhan), memuat tindakan yang dapat menimbulkan trauma. Untuk mengatasi trauma yang dialami korban, dibutuhkan sebuah sistem layanan penanganan tindak pidana kekerasan seksual yang berpihak pada korban. Publikasi berjudul Analisis Tantangan Implementasi dan Kebutuhan Operasionalisasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang diterbitkan oleh INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) tahun 2022,  mengambil contoh di Sunflower Center Korea Selatan yang menyediakan layanan lintas sektor atau multidisiplin seperti medis, medikolegal, hukum, konseling dan dukungan investigasi polisi untuk korban di satu lokasi. Korban yang datang dilayani oleh tenaga medis yang lengkap dari visum et repertum sampai kepada forensik dengan fasilitas lab termasuk untuk tes DNA dan kebutuhan medikolegal lainnya yang tersedia dalam satu gedung. Untuk pemeriksaan, korban hanya berkomunikasi dengan psikolog saja di ruangan tersendiri dengan kaca one-way. Di ruangan lain yang disekat, penyidik menggunakan alat pendengar yang sudah bisa merekam semua apa yang disampaikan oleh korban di ruangan tersebut dan bisa melakukan wawancara di sana sehingga korban tidak perlu diminta keterangan lagi secara terpisah. Dari pengalaman Korea Selatan tersebut, menjadi sebuah hal penting Negara membentuk sebuah sistem, termasuk sistem hukum, dimana korban kekerasan seksual dapat bersaksi atau bercerita pengalamannya dalam satu waktu dan tidak perlu mengulang-ulang cerita traumatis tersebut. Dalam kaitannya dengan UU TPKS, pembuat Undang-Undang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa telah terdapat terobosan dalam UU TPKS. UU TPKS mengatur hukum acara yang komprehensif mulai tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan tetap memperhatikan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, dan tanpa intimidasi.Salah satu hal yang diatur dalam UU TPKS ini merupakan perekaman elektronik. Pasal 24 ayat (2) UU TPKS menyebutkan bahwa hasil pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban pada tahap penyidikan melalui perekaman elektronik merupakan alat bukti keterangan saksi yang dapat digunakan dalam pemeriksaan pembuktian di persidangan. Perekaman elektronik ini dapat digunakan sebagai alat bukti dalam hal saksi dan/atau korban karena alasan kesehatan, keamanan, keselamatan, dan/atau alasan lainnya yang sah tidak dapat hadir untuk diperiksa di persidangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 48 (1) UU TPKS. Berdasarkan pengaturan Pasal 49 (1) UU TPKS, kewenangan perekaman elektronik ini ada pada penyidik dengan dihadiri penuntut umum, baik secara langsung maupun melalui sarana elektronik dari jarak jauh. Pengaturan perekaman elektronik ini juga sangat mudah. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa perekaman elektronik sebagaimana dimaksud dilakukan atas penetapan ketua pengadilan negeri. Meskipun demikian tanpa adanya penetapan tersebut, berdasarkan ketentuan ayat (4) penyidik tetap dapat melakukan perekaman elektronik dengan beberapa pertimbangan.Dalam publikasi Materi Ajar Peningkatan Kapasitas Advokat terkait Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual diterbitkan oleh Indonesia Judicial Research Society (IJRS) pada tahun 2024, menuliskan bahwa sistem penanganan perkara tindak pidana kekerasan seksual perlu dibangun sedemikian rupa untuk menghindari korban bercerita berulang kali yang dapat meningkatkan risiko trauma dan re-viktimisasi.Meskipun korban tetap perlu dipanggil secara layak untuk menghadiri persidangan, namun dalam hal karena alasan kesehatan, keamanan, keselamatan, dan/atau alasan lainnya yang sah korban tidak dapat hadir untuk diperiksa di persidangan, pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara perekaman elektronik. Mengenai penggunaan dan penerapan perekaman elektronik dalam perkara TPKS ini, Tim Penelitian dan Pengembangan DANDAPALA (Tim LITBANG DANDAPALA) menelusuri putusan pada situs direktori putusan Mahkamah Agung terkait dengan UU TPKS. Tim LITBANG DANDAPALA menemukan 50 putusan terkait dengan UU TPKS. Penelusuran dilakukan dengan kata kunci “kekerasan seksual” atau Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.” Putusan yang diteliti dan ditelusuri adalah Putusan Pengadilan Negeri, baik pidana anak maupun pidana dewasa. Putusan yang ditelusuri merupakan putusan dengan registrasi perkara tahun 2023 dan 2024, mengingat UU TPKS mulai berlaku pada tahun 2022.Dari 50 perkara terkait UU TPKS yang ditemukan, 44 salinan (softcopy) putusan tersedia dalam direktori putusan, sedangkan 6 salinan (softcopy) putusan perkara lainnya tidak tersedia dalam direktori putusan. Sehingga penelitian lebih lanjut dilakukan terhadap 44 putusan tersebut. Dalam dakwaan yang menjadi dasar 44 Putusan tersebut semuanya menggunakan UU TPKS, baik dalam dakwaan yang disusun secara tunggal, alternatif, subsidaritas, ataupun kombinasi. Dalam perkara-perkara tersebut, sebanyak 41 perkara atau 93 persen perkara dituntut oleh Penuntut Umum menggunakan UU TPKS, 3 perkara lainnya atau sebanyak 7 persen dituntut dengan UU Perlindungan Anak dan UU Pornografi. Majelis Hakim dalam 44 perkara tersebut menjatuhkan hukuman dengan UU TPKS sebanyak 42 perkara atau sekitar 95 persen dari putusan yang diteliti.Dari hasil penelitian lebih lanjut, pada bagian pemeriksaan saksi (keterangan saksi), terutama saksi korban, ditemukan bahwa Majelis Hakim menggunakan istilah “dibawah sumpah pada pokoknya menerangkan sebagai berikut” dalam 41 putusan, sedangkan 3 putusan lainnya menggunakan istilah “disumpah dalam persidangan.”  Dari 44 putusan yang diteliti, tidak terdapat putusan yang mencantumkan pemeriksaan keterangan saksi dilakukan melalui perekaman elektronik, pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audio visual, maupun putusan yang mencantumkan pembacaan berita acara pemeriksaan saksi dalam penyidikan yang telah diberikan di bawah sumpah/janji. Dari data 44 putusan yang ditelusuri tim LITBANG DANDAPALA tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1) bahwa saksi korban menghadiri dan memberikan keterangan secara langsung di persidangan, 2) tidak ada perekaman elektronik yang digunakan dalam memberikan kesaksian di persidangan, 3) saksi korban memberikan keterangan secara berulang, baik di tingkat penyidikan maupun pada pemeriksaan persidangan, dimana hal tersebut merupakan hal yang traumatis bagi korban. Apabila pada pemeriksaan penyidikan tidak dilakukan perekaman elektronik atas pemeriksaan keterangan saksi korban, maka pengadilan sebagai tempat perkara bermuara harus kembali melakukan pemeriksaan keterangan saksi korban, dan hal tersebut berpotensi besar menimbulkan risiko trauma dan re-viktimisasi pada korban. Namun, untuk meminimalisir risiko tersebut, pengadilan dapat melakukan pemeriksaan saksi korban tanpa kehadiran pihak terdakwa sebagaimana ketentuan Pasal 173 KUHAP, melakukan pemeriksaan saksi korban dalam persidangan secara elektronik sebagaimana ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2022, atau jika memenuhi syarat sebagaimana ketentuan Pasal 162 ayat (1) KUHAP keterangan saksi korban yang telah diberikan dalam pemeriksaan penyidikan tersebut dapat dibacakan di persidangan.  (ldr)

Landmark Decision: Pidana Denda Tak Dapat Diganti Pidana Kurungan dan Wajib Dibayar

article | Kaidah Hukum | 2025-08-03 10:30:49

Mahkamah Agung menetapkan berbagai landmark decision setiap tahunnya melalui Laporan Tahunan. Pada Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2022, termuat salah satu landmark decision, yaitu Putusan Nomor 1149 K/Pid/2022 dengan klasifikasi tindak pidana di bidang perpajakan.Apa itu landmark decision? Putusan penting (landmark decision) merupakan putusan yang mengandung kaidah hukum baru dan dipandang bermanfaat bagi perkembangan hukum di masa yang akan datang. Putusan tersebut terdiri dari putusan perkara perdata, pidana, agama, militer dan tata usaha Negara (TUN).Duduk sebagai Majelis Hakim pada perkara nomor 1149 K/Pid/2022 tersebut antara lain, Dr. Suhadi, S.H., M.H., selaku Hakim Ketua, Soesilo, S.H., M.H., dan Suharto, S.H., M.H. sebagai para Hakim Anggota.Ringkasan Posisi KasusPerkara bermula ketika Terdakwa Bilal Asif, didakwa dengan dakwaan alternatif yaitu Kesatu, melanggar Pasal 39 Ayat (1) huruf c juncto Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP, Atau Kedua melanggar Pasal 39 Ayat (1) huruf I juncto Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.Atas perbuatannya, Penuntut Umum menuntut Terdakwa karena turut serta tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sebagai perbuatan berlanjut, dengan pidana penjara selama empat tahun dan pidana denda sebesar Rp.62.774.473.080,00.Dengan ketentuan, tambah Penuntut Umum, jika Terdakwa tidak membayar denda tersebut paling lama waktu 1 (satu) bulan sesudah Putusan Pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta benda milik Terdakwa dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk membayar denda.Dalam tuntutan tersebut juga dinyatakan oleh Penuntut Umum, dalam hal Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar denda, maka Terdakwa dijatuhi hukuman kurungan pengganti denda selama 6 (enam) bulan.Pertimbangan Judex Facti Tingkat Pertama dan BandingMajelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Putusan Nomor 54/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Sel kemudian menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sebagai perbuatan berlanjut.Judex Facti menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa selama satu tahun dan enam bulan serta denda sebesar Rp62.774.473.080,00. Dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim turut mempertimbangkan perihal tuntutan pengganti denda tersebut. Judex Facti menilai, tuntutan pengganti denda yang demikian, belum diatur/tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan khususnya dalam Undang-Undang Perpajakan.“Apabila Hakim mengikuti, akan melanggar azas dalam Hukum Pidana karena tiada satupun perbuatan yang dapat dihukum, kecuali telah ada undang-undang yang mengaturnya.” bunyi salah satu pertimbangan hukum dalam putusan yang diketok pada 24 Agustus 2020 tersebut.Oleh karena itu, Majelis Hakim menambahkan, berpedoman dalam Pasal 103 KUHP dalam Bab I, apabila belum diatur di dalam Undang-Undang khusus yaitu Undang-Undang Perpajakan, maka diberlakukan ketentuan Umum KUHP. Oleh karenanya, tentang denda penggantinya telah diatur dalam Pasal 30 ayat (2) KUHP, yaitu jika pidana denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan.Senada dengan putusan pengadilan negeri, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 428/PID.SUS/2020/PT DKI, kemudian menguatkan Putusan Nomor 54/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Sel tersebut.Judex Juris Mengadili SendiriSelanjutnya, Mahkamah Agung memperbaiki putusan Judex Facti dengan memperbaiki mengenai pidana pengganti denda. Majelis Hakim Kasasi berpendapat, putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri perlu diperbaiki mengenai jenis pidana pengganti denda.Hal ini, Majelis Hakim menilai, agar selaras dengan maksud ketentuan Pasal 44 C Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang menyatakan pada pokoknya pidana denda sebagaimana dimaksud Pasal 39 dan Pasal 39 A tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan dan wajib dibayar oleh Terpidana.Atas pertimbangan tersebut, Judex Juris kemudian menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama satu tahun enam bulan dan pidana denda sebesar Rp62.774.473.080,00. Dengan ketentuan, apabila pidana denda tersebut tidak dibayar dalam waktu paling lama satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta kekayaan Terpidana disita oleh Jaksa dan dilelang untuk membayar pidana denda tersebut.“Dalam hal Terpidana tidak mempunyai harta kekayaan yang mencukupi untuk membayar pidana denda, maka dipidana dengan pidana penjara selama tiga bulan.” jelas Majelis Hakim Kasasi dalam pertimbangan Putusan Nomor 1149 K/Pid/2022.Berdasarkan uraian di atas, kaidah hukum yang dapat dipetik dari perkara tersebut yakni, pidana denda tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan dan wajib dibayar oleh pelaku tindak pidana di bidang perpajakan. Semoga dengan adanya publikasi berbagai landmark decision ini, dapat menambah khazanah keilmuan bagi para pembaca khususnya dalam memotivasi para hakim untuk melahirkan putusan-putusan yang berkualitas dan memberikan keadilan serta kepastian hukum. (ldr)

Menilik Formalitas Kewenangan Penggugat Dalam Menentukan Pihak Yang Akan Digugatnya

article | Kaidah Hukum | 2025-07-27 14:35:30

Salah satu asas dalam Hukum Perdata menyatakan merupakan kewenangan dari Penggugat dalam menentukan siapa pihak yang akan digugatnya. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa inisiatif datanya suatu gugatan berasal dari Penggugat, oleh karena Penggugat yang merasa haknya dilanggar dan Penggugat pula yang paling tahu siapa pihak yang dirasa telah melanggar haknya tersebut.Mahkamah Agung sebagai judex juris telah mengeluarkan yurisprudensi melalui Putusan Nomor 305K/Sip/1971 tanggal 16 Juni 1971 dengan kaidah hukum yang menyatakan “Pengadilan Tinggi tidak berwenang untuk secara jabatan tanpa pemeriksaan ulangan menempatkan seorang yang tidak digugat sebagai salaj seorang tergugat, karena tindakan tersebut bertentangan dengan azas acara perdata yang memberi wewenang tersebut kepada penggugat untuk menentukan siapa-siapa yang akan digugatnya.” Dengan adanya yurisprudensi tersebut tentu menjadi pedoman (guidance) bagi Hakim dalam menyelesaikan hal yang konkrit yang menjadi perselisihan dalam kasus yang ditanganinya.Jika kita melihat kaidah hukum dari yurisprudensi tersebut, sepertinya memberikan hak yang mutlak kepada Penggugat dalam menentukan siapa saja pihak yang akan digugatnya, sehingga seakan-akan menutup celah dari kemungkinan adanya gugatan Penggugat yang mengandung kekurangan secara formal, baik kekurangan pihak yang ditarik sebagai Tergugat (plurium litis constortium)  maupun kekeliruan dalam menarik pihak yang digugat (eror in persona).Jika kita mengkaji kaidah hukum sebagaimana dimaksud dalam Putusan Nomor 305K/ Sip/1971 tersebut, menunjukkan kalau hal konkret yang melatarbelakangi Penggugat dinyatakan memiliki kewenangan dalam menentukan siapa-siapa yang akan digugat nya, dikarenakan sebelumnya ada Putusan dari Pengadilan Tinggi sebagai judex facti yang telah menempatkan seorang yang tidak digugat sebagai salah seorang Tergugat. Sehingga maksud adanya Putusan tersebut adalah untuk membatasi kewenangan Pengadilan Tinggi dalam menarik seorang yang tidak digugat sebagai pihak Tergugat. Adanya pembatasan kewenangan Pengadilan Tinggi tersebut, tidak hanya berlaku terhadap pihak ketiga yang ditarik sebagai Tergugat saja, tetapi juga berlaku terhadap pihak ketiga yang ditarik sebagai Turut Tergugat. Hal ini sesuai dengan Putusan MA-RI No.457.K/ Sip/1975, tanggal 18 Nopember 1975 dengan kaidah hukum yang menyatakan “Tidak dapat dibenarkan apabila Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Negeri untuk menarik pihak ketiga sebagai “Turut Tergugat” (juga dalam gugatan asal dijadikan pihak dalam perkara).”Adanya kaidah hukum dalam yurisprudensi tersebut selaras dengan asas dalam Hukum Perdata yang menyatakan merupakan ke wenangan dari Penggugat dalam menentu kan siapa pihak yang akan digugat nya. Namun yang menjadi pertanyaan, sejauh mana Penggugat memiliki kewenangan dalam menentukan siapa pihak yang akan digugatnya, ditinjau dari segi formal?Penggugat dalam menentukan siapa saja pihak yang akan ditarik sebagai Tergugat, secara garis besar didasarkan pada 2 (dua) faktor. Pertama Penggugat harus meneliti terlebih dahulu hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat. Apakah ada hak Penggugat yang dilanggar oleh Tergugat atau tidak? Di dalam praktek, adanya tuntutan hak yang diajukan ke pengadilan didasarkan pada 2 (dua) hal yaitu pertama dikarenakan adanya perjanjian (agreement) sebelumnya diantara kedua belah pihak dan kedua dikarenakan adanya perbuatan Tergugat yang menurut Penggugat telah melanggar haknya (onrechtmatige daad). Selanjutnya faktor kedua adalah Penggugat harus menyesuaikan kebutuhan dalil gugatan Penggugat, dalam hal ini Penggugat harus menentukan sejauh mana ruang lingkup objek yang akan dipermasalahkan Penggugat. Sehingga atas dasar itulah, Penggugat dapat menentukan siapa saja pihak yang akan ditarik sebagai Tergugat.Adanya hak dari Penggugat untuk menggugat pihak lain yang dirasa telah melanggar haknya tersebut, tidaklah berlaku mutlak. Tidak serta merta semua orang dapat digugat oleh pihak lain. Jika Penggugat dalam menarik pihak lain sebagai Tergugat, tidak didasarkan pada adanya suatu hubungan hukum dan kebutuhan ruang lingkup objek yang dipermasalahkan, maka menjadi konsekuensi logis kalau gugatan dari Penggugat akan dinyatakan mengandung cacat formal, baik gugatan Penggugat keliru dalam menarik pihak yang digugat maupun gugatan Penggugat kekurangan pihak yang ditarik sebagai Tergugat. (RBW, ASN)