Cari Berita

Landmark Decision: Pidana Denda Tak Dapat Diganti Pidana Kurungan dan Wajib Dibayar

article | Kaidah Hukum | 2025-08-03 10:30:49

Mahkamah Agung menetapkan berbagai landmark decision setiap tahunnya melalui Laporan Tahunan. Pada Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2022, termuat salah satu landmark decision, yaitu Putusan Nomor 1149 K/Pid/2022 dengan klasifikasi tindak pidana di bidang perpajakan.Apa itu landmark decision? Putusan penting (landmark decision) merupakan putusan yang mengandung kaidah hukum baru dan dipandang bermanfaat bagi perkembangan hukum di masa yang akan datang. Putusan tersebut terdiri dari putusan perkara perdata, pidana, agama, militer dan tata usaha Negara (TUN).Duduk sebagai Majelis Hakim pada perkara nomor 1149 K/Pid/2022 tersebut antara lain, Dr. Suhadi, S.H., M.H., selaku Hakim Ketua, Soesilo, S.H., M.H., dan Suharto, S.H., M.H. sebagai para Hakim Anggota.Ringkasan Posisi KasusPerkara bermula ketika Terdakwa Bilal Asif, didakwa dengan dakwaan alternatif yaitu Kesatu, melanggar Pasal 39 Ayat (1) huruf c juncto Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP, Atau Kedua melanggar Pasal 39 Ayat (1) huruf I juncto Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.Atas perbuatannya, Penuntut Umum menuntut Terdakwa karena turut serta tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sebagai perbuatan berlanjut, dengan pidana penjara selama empat tahun dan pidana denda sebesar Rp.62.774.473.080,00.Dengan ketentuan, tambah Penuntut Umum, jika Terdakwa tidak membayar denda tersebut paling lama waktu 1 (satu) bulan sesudah Putusan Pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta benda milik Terdakwa dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk membayar denda.Dalam tuntutan tersebut juga dinyatakan oleh Penuntut Umum, dalam hal Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar denda, maka Terdakwa dijatuhi hukuman kurungan pengganti denda selama 6 (enam) bulan.Pertimbangan Judex Facti Tingkat Pertama dan BandingMajelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Putusan Nomor 54/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Sel kemudian menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sebagai perbuatan berlanjut.Judex Facti menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa selama satu tahun dan enam bulan serta denda sebesar Rp62.774.473.080,00. Dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim turut mempertimbangkan perihal tuntutan pengganti denda tersebut. Judex Facti menilai, tuntutan pengganti denda yang demikian, belum diatur/tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan khususnya dalam Undang-Undang Perpajakan.“Apabila Hakim mengikuti, akan melanggar azas dalam Hukum Pidana karena tiada satupun perbuatan yang dapat dihukum, kecuali telah ada undang-undang yang mengaturnya.” bunyi salah satu pertimbangan hukum dalam putusan yang diketok pada 24 Agustus 2020 tersebut.Oleh karena itu, Majelis Hakim menambahkan, berpedoman dalam Pasal 103 KUHP dalam Bab I, apabila belum diatur di dalam Undang-Undang khusus yaitu Undang-Undang Perpajakan, maka diberlakukan ketentuan Umum KUHP. Oleh karenanya, tentang denda penggantinya telah diatur dalam Pasal 30 ayat (2) KUHP, yaitu jika pidana denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan.Senada dengan putusan pengadilan negeri, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 428/PID.SUS/2020/PT DKI, kemudian menguatkan Putusan Nomor 54/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Sel tersebut.Judex Juris Mengadili SendiriSelanjutnya, Mahkamah Agung memperbaiki putusan Judex Facti dengan memperbaiki mengenai pidana pengganti denda. Majelis Hakim Kasasi berpendapat, putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri perlu diperbaiki mengenai jenis pidana pengganti denda.Hal ini, Majelis Hakim menilai, agar selaras dengan maksud ketentuan Pasal 44 C Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang menyatakan pada pokoknya pidana denda sebagaimana dimaksud Pasal 39 dan Pasal 39 A tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan dan wajib dibayar oleh Terpidana.Atas pertimbangan tersebut, Judex Juris kemudian menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama satu tahun enam bulan dan pidana denda sebesar Rp62.774.473.080,00. Dengan ketentuan, apabila pidana denda tersebut tidak dibayar dalam waktu paling lama satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta kekayaan Terpidana disita oleh Jaksa dan dilelang untuk membayar pidana denda tersebut.“Dalam hal Terpidana tidak mempunyai harta kekayaan yang mencukupi untuk membayar pidana denda, maka dipidana dengan pidana penjara selama tiga bulan.” jelas Majelis Hakim Kasasi dalam pertimbangan Putusan Nomor 1149 K/Pid/2022.Berdasarkan uraian di atas, kaidah hukum yang dapat dipetik dari perkara tersebut yakni, pidana denda tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan dan wajib dibayar oleh pelaku tindak pidana di bidang perpajakan. Semoga dengan adanya publikasi berbagai landmark decision ini, dapat menambah khazanah keilmuan bagi para pembaca khususnya dalam memotivasi para hakim untuk melahirkan putusan-putusan yang berkualitas dan memberikan keadilan serta kepastian hukum. (ldr)

Menilik Formalitas Kewenangan Penggugat Dalam Menentukan Pihak Yang Akan Digugatnya

article | Kaidah Hukum | 2025-07-27 14:35:30

Salah satu asas dalam Hukum Perdata menyatakan merupakan kewenangan dari Penggugat dalam menentukan siapa pihak yang akan digugatnya. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa inisiatif datanya suatu gugatan berasal dari Penggugat, oleh karena Penggugat yang merasa haknya dilanggar dan Penggugat pula yang paling tahu siapa pihak yang dirasa telah melanggar haknya tersebut.Mahkamah Agung sebagai judex juris telah mengeluarkan yurisprudensi melalui Putusan Nomor 305K/Sip/1971 tanggal 16 Juni 1971 dengan kaidah hukum yang menyatakan “Pengadilan Tinggi tidak berwenang untuk secara jabatan tanpa pemeriksaan ulangan menempatkan seorang yang tidak digugat sebagai salaj seorang tergugat, karena tindakan tersebut bertentangan dengan azas acara perdata yang memberi wewenang tersebut kepada penggugat untuk menentukan siapa-siapa yang akan digugatnya.” Dengan adanya yurisprudensi tersebut tentu menjadi pedoman (guidance) bagi Hakim dalam menyelesaikan hal yang konkrit yang menjadi perselisihan dalam kasus yang ditanganinya.Jika kita melihat kaidah hukum dari yurisprudensi tersebut, sepertinya memberikan hak yang mutlak kepada Penggugat dalam menentukan siapa saja pihak yang akan digugatnya, sehingga seakan-akan menutup celah dari kemungkinan adanya gugatan Penggugat yang mengandung kekurangan secara formal, baik kekurangan pihak yang ditarik sebagai Tergugat (plurium litis constortium)  maupun kekeliruan dalam menarik pihak yang digugat (eror in persona).Jika kita mengkaji kaidah hukum sebagaimana dimaksud dalam Putusan Nomor 305K/ Sip/1971 tersebut, menunjukkan kalau hal konkret yang melatarbelakangi Penggugat dinyatakan memiliki kewenangan dalam menentukan siapa-siapa yang akan digugat nya, dikarenakan sebelumnya ada Putusan dari Pengadilan Tinggi sebagai judex facti yang telah menempatkan seorang yang tidak digugat sebagai salah seorang Tergugat. Sehingga maksud adanya Putusan tersebut adalah untuk membatasi kewenangan Pengadilan Tinggi dalam menarik seorang yang tidak digugat sebagai pihak Tergugat. Adanya pembatasan kewenangan Pengadilan Tinggi tersebut, tidak hanya berlaku terhadap pihak ketiga yang ditarik sebagai Tergugat saja, tetapi juga berlaku terhadap pihak ketiga yang ditarik sebagai Turut Tergugat. Hal ini sesuai dengan Putusan MA-RI No.457.K/ Sip/1975, tanggal 18 Nopember 1975 dengan kaidah hukum yang menyatakan “Tidak dapat dibenarkan apabila Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Negeri untuk menarik pihak ketiga sebagai “Turut Tergugat” (juga dalam gugatan asal dijadikan pihak dalam perkara).”Adanya kaidah hukum dalam yurisprudensi tersebut selaras dengan asas dalam Hukum Perdata yang menyatakan merupakan ke wenangan dari Penggugat dalam menentu kan siapa pihak yang akan digugat nya. Namun yang menjadi pertanyaan, sejauh mana Penggugat memiliki kewenangan dalam menentukan siapa pihak yang akan digugatnya, ditinjau dari segi formal?Penggugat dalam menentukan siapa saja pihak yang akan ditarik sebagai Tergugat, secara garis besar didasarkan pada 2 (dua) faktor. Pertama Penggugat harus meneliti terlebih dahulu hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat. Apakah ada hak Penggugat yang dilanggar oleh Tergugat atau tidak? Di dalam praktek, adanya tuntutan hak yang diajukan ke pengadilan didasarkan pada 2 (dua) hal yaitu pertama dikarenakan adanya perjanjian (agreement) sebelumnya diantara kedua belah pihak dan kedua dikarenakan adanya perbuatan Tergugat yang menurut Penggugat telah melanggar haknya (onrechtmatige daad). Selanjutnya faktor kedua adalah Penggugat harus menyesuaikan kebutuhan dalil gugatan Penggugat, dalam hal ini Penggugat harus menentukan sejauh mana ruang lingkup objek yang akan dipermasalahkan Penggugat. Sehingga atas dasar itulah, Penggugat dapat menentukan siapa saja pihak yang akan ditarik sebagai Tergugat.Adanya hak dari Penggugat untuk menggugat pihak lain yang dirasa telah melanggar haknya tersebut, tidaklah berlaku mutlak. Tidak serta merta semua orang dapat digugat oleh pihak lain. Jika Penggugat dalam menarik pihak lain sebagai Tergugat, tidak didasarkan pada adanya suatu hubungan hukum dan kebutuhan ruang lingkup objek yang dipermasalahkan, maka menjadi konsekuensi logis kalau gugatan dari Penggugat akan dinyatakan mengandung cacat formal, baik gugatan Penggugat keliru dalam menarik pihak yang digugat maupun gugatan Penggugat kekurangan pihak yang ditarik sebagai Tergugat. (RBW, ASN)