Cari Berita

Tanpa Persetujuan Pekerja & Bukti Hardship, Pemotongan Upah Oleh Perusahaan Tidak Sah

William Edward Sibarani - Dandapala Contributor 2025-11-26 10:00:58
Ilustrasi

Pemotongan upah sering kali dikaitkan dengan situasi darurat yang memaksa perusahaan mengambil langkah penyelamatan. Harapannya sederhana: roda usaha tetap berputar tanpa harus mengorbankan keberlangsungan hubungan kerja. Namun persoalan menjadi pelik ketika perusahaan melakukan pemotongan upah secara sepihak, tanpa kesepakatan pekerja dan tanpa bukti pendukung mengenai kondisi keuangan yang disebut memburuk. Dalam konteks hubungan industrial di Indonesia, perubahan besaran upah bukan sekadar kebijakan manajerial, melainkan tindakan hukum yang tunduk pada prinsip kesepakatan, perlindungan hak pekerja, dan asas keadilan.

Secara yuridis, upah merupakan hak normatif pekerja yang hanya dapat dikurangi berdasarkan ketentuan hukum yang tegas. Merujuk Pasal 88A ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2023 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (“UU Ketenagakerjaan”), pengaturan upah mencerminkan kesepakatan para pihak dalam perjanjian kerja dan tidak dapat diubah sepihak. Karena itu, setiap tindakan pemotongan upah harus ditempatkan dalam koridor hukum yang menjamin adanya persetujuan, mekanisme yang transparan, serta bukti objektif mengenai kondisi perusahaan.

Kasus Posisi

Baca Juga: Klausul Non-Kompetisi Dalam Perjanjian Kerja: Apakah Sah Secara Hukum?

Sengketa pemotongan upah Muhammad Miftah Faridl oleh CNN Indonesia Biro Kota Surabaya kini memasuki babak final setelah Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. 

Perkara ini berawal dari keputusan manajemen CNN Indonesia Biro Kota Surabaya melakukan pemotongan upah pekerja selama tiga bulan dengan alasan terdampaknya keuangan perusahaan akibat bencana Covid-19. Kebijakan tersebut mendapat penolakan luas dari para pekerja yang kemudian mengundang perusahaan untuk melakukan perundingan bipartit bersama dengan Dinas Perindustrian dan Ketenagakerjaan Kota Surabaya. Meskipun bipartit sempat digelar, perusahan justru tidak mengindahkan anjuran mediator serta tetap melakukan pemotongan upah pada rentang bulan Juli hingga Agustus 2024. Hal ini mengakibatkan Penggugat mengajukan gugatan ke pengadilan.

Pertimbangan Judex Factie

Dalam persidangan tingkat pertama, majelis hakim menilai bahwa perusahaan telah melakukan pemotongan upah tanpa persetujuan tertulis dari pekerjanya. Hal ini dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 55 UU Ketenagakerjaan jo. Pasal 63 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Selain itu, perusahaan gagal membuktikan adanya kondisi penurunan pendapatan yang dapat dibuktikan melalui mekanisme pemeriksaan audit internal ataupun eksternal secara komprehensif oleh Akuntan Publik. Kondisi ini mengakibatkan perusahaan tidak dapat membuktikan adanya kondisi hardship atau keadaan kahar yang menyebabkan pemotongan upah perlu dilakukan. Majelis hakim berpendapat bahwa dalam diri perusahaan tidak terdapat alasan pembenar atau setidaknya yang dapat dijadikan dasar dilakukannya pemotongan upah pekerja. Atas dasar itu, PN Surabaya menghukum Tergugat membayar kekurangan upah Penggugat selama Juni–Agustus 2024 sebesar Rp3.045.900,00 melalui Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya Nomor: 2/Pdt.Sus-PHI/2025/PN Sby yang dijatuhkan pada tanggal Kamis, 10 April 2025.

Pertimbangan Judex Juris

Putusan tersebut kemudian diuji di tingkat kasasi melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor: 852 K/Pdt.Sus-PHI/2025. Dalam pertimbangannya, majelis hakim kasasi yang terdiri dari Agus Subroto, Sugeng Santoso, dan Sugiyanto menilai bahwa putusan PN Surabaya telah tepat dan tidak bertentangan dengan hukum maupun undang-undang. Dengan merujuk kembali pada Pasal 63 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, MA menegaskan bahwa pemotongan upah hanya dapat dilakukan terkait pembayaran denda, ganti rugi, uang muka upah, sewa rumah dan/atau sewa barang milik perusahaan yang disewakan oleh pengusaha kepada pekerja, utang atau cicilan utang pekerja, dan/atau kelebihan pembayaran upah.

Dalam hal ini, Pasal 63 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan menyatakan pemotongan upah hanya dapat dilakukan tanpa memerlukan persetujuan pekerja dalam hal terjadi kelebihan pembayaran upah. Dengan putusan kasasi ini, posisi pekerja semakin kuat, karena pemotongan upah yang dilakukan oleh perusahaan dilakukan secara sepihak dan tidak memenuhi persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Putusan ini juga sekaligus memberikan penegasan bahwa pemotongan upah pekerja hanya dapat dilakukan berdasarkan dasar hukum yang sah dan dengan persetujuan pekerja, bukan kebijakan sepihak perusahaan. (ASN/FAC/SNR)

Sumber Bacaan:

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2023 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang;

Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan;

Baca Juga: Coreng Moreng Praktik Korupsi di Proyek Jalan Anyer-Panarukan 1808-1811

Putusan Mahkamah Agung Nomor: 852 K/Pdt.Sus-PHI/2025 jo. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya Nomor: 2/Pdt.Sus-PHI/2025/PN Sby;

Aloysius Uwiyono, dkk. 2014. Asas-Asas Hukum Perburuhan. Depok: Raja Grafindo Persada.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…