Cari Berita

Arah Politik Hukum Lingkungan Pasca Tragedi Banjir dan Tanah Longsor di Sumatera

Rangga Lukita Desnata-Hakim PN Muara Enim - Dandapala Contributor 2025-12-03 19:10:21
Dok. Youtube TV Parlemen.

Tragedi banjir dan tanah longsor yang menimpa Pulau Sumatera, di Provinsi Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat memakan korban jiwa yang tidak sedikit dan meluluh lantakkan rumah, sawah, ladang dan harta benda lainnya dengan nilai kerugian tak terhingga.

Paling tidak terdapat 34 Kabupaten dan Kota di tiga Provinsi tersebut yang terkena dampak signifikan. Aktivitas perdagangan dan perkantoran lumpuh. Kota-kota dan desa-desa menjadi terisolir, karena jembatan-jembatan dan jalan-jalan yang menuju ke sana terputus.

Ketiadaan aliran listrik ‘black out’ yang menyebabkan sulitnya untuk berkomunikasi dengan orang di sana. Banyak orang kelaparan, balita kekurangan makanan dan susu karena terbatasnya persediaan. Bahkan dikabarkan di salah satu kota sudah terjadi penjarahan di toko-toko yang menjual makanan.

Baca Juga: Ketua PN Simpang Tiga Redelong, Aceh: Operasional Kantor Lumpuh Total!

Tidak dapat disangkal penyebab utama terjadinya bencana ini diakibatkan karena kerakusan manusia ‘greedy men” yang melakukan eksploitasi tidak terkendali di daerah Bukit Barisan. Baik dilakukan secara sah dengan memegang izin-izin atau konsesi-konsesi maupun dilakukan secara illegal.

Hutan-hutan dan belantara bukit barisan yang berfungsi sebagai ‘giant sponge” dibabat dan dikonversi menjadi lahan tambang dan perkebunan dengan dalih membuka lapangan kerja, menambah pendapat Negara, mengakselerasi pertumbuhan ekonomi sampai kepada dalih ‘komoditi ekstraktif’ dan sawit dapat digunakan sebagai bargaining position ke bangsa-bangsa lain.

Bukti nyata dari ini semua secara kasat mata dapat terlihat dari kayu-kayu gelondongan dari daerah hulu, daerah bukit barisan terbawa arus sungai yang kemudian terdampar di daerah-daerah hilir. Di daerah Sumatera Barat, kayu gelondongannya sudah menutupi pesisir-pesisir pantai. Bahkan bangkai Anak Gajah Sumatera yang merupakan hewan endemik dan icon ‘Bukit Barisan’ ikut hanyut bersama-sama kayu gelondongan di daerah Pidie Jaya, Aceh.    

Banjir dan longsor memang sering terjadi di daerah Sumatera, akan tetapi persebaran dan kadarnya tidak semasif saat ini. Kata seorang rekan Hakim yang bertugas di daerah Aceh bahwa dirinya dan keluarga pernah mengalami kejadian serupa pada tahun 2006 di Kuala Simpang, namun tidak separah sekarang.

Terlepas apakah tragedi ini terdapat korelasi dengan kebijakan ‘weak sustainability’ yang terdapat di Undang-undang Cipta Tenaga Kerja, sudah semestinya otoritas melakukan langkah-langkah efektif supaya kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari.  

Apabila otoritas belum mampu menerapkan kebijakan ‘deep ecology’ yang secara radikal menghentikan dan mencabut penerbitan izin-izin kegiatan dan usaha yang mengeksploitasi alam.

Setidaknya otoritas dapat menerapkan kebijakan ‘strong sustainability’ dalam penerbitan izin-izin kegiatan dan usaha di daerah pegunungan yang merupakan daerah hulu tempat resapan dan sumber air.

Strong sustainability ini tidak dapat ditawar-tawar lagi alias merupakan conditio sine quanon agar perizinan dapat diterbitkan. Bila perlu diterapkan kepada setiap perizinan yang berdampak secara langsung terhadap lingkungan hidup. Selain itu izin-izin yang berdampak langsung terhadap lingkungan hidup mesti dievaluasi. Apakah tetap dilanjutkan dengan atau tanpa memberikan syarat-syarat tambahan, atau mencabutnya dengan pertimbangan izin-izin yang diberikan tersebut berpotensi merusak lingkungan hidup.   

Tentu saja mengubah arah kebijakan dari semula ‘weak sustainability’ menjadi ‘strong sustainability’ dan mengevaluasi izin-izin tersebut membawa konsekuensi yang tidak ringan. Kegiatan usaha pertambangan, perkebunan dan kehutanan yang izinnya batal diterbitkan atau dihentikan menjadi terhenti, penyerapan tenaga kerja berkurang, terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang pada akhirnya dapat menimbulkan permasalahan sosial baru.

Belum lagi otoritas mesti mengkompensasi kerugian dari pemegang izin-izin tersebut, atau bahkan berhadap-hadapan dengan pemilik izin-izin tersebut yang bisa saja dimiliki atau dibekingi oleh actor-actor yang menjadi bagian dari otoritas itu sendiri. 

Dalam pilihan sulit ini otoritas mau tidak mau harus mengambil pilihan yang memihak kepada keberlangsungan lingkungan hidup (pro natura). Bukan saja karena dampak dari perubahan kebijakan tersebut masih jauh lebih ringan dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan dari banjir dan longsor seperti sekarang ini, tetapi dengan memastikan keberlangsungan lingkungan hidup maka otoritas juga telah menjamin kehidupan dan penghidupan masyarakatnya.

Hal lain yang perlu dilakukan oleh otoritas adalah melakukan langkah represif dalam menindak aktifitas-aktifitas yang merusak lingkungan hidup. Salah satu langkah represif yang mendesak untuk dilakukan adalah sesegera mungkin melakukan penyelidikan terhadap dugaan kejahatan lingkungan hidup yang menyebabkan terjadinya banjir dan tanah longsor.

Dengan segala perangkat, sarana dan fasilitas yang dimiliki, otoritas dapat dengan mudah untuk menelusuri dan menemukan aktifitas-aktifitas ilegal yang merusak lingkungan hidup. Otoritas cukup memerintahkan perangkat-perangkat penegak hukum yang dimilikinya untuk melakukan penindakan.

Sengketa-sengketa dikarenakan perubahan arah kebijakan dan penindakan tersebut pada akhirnya akan diputuskan di Pengadilan. Pihak-pihak yang merasa dirugikan dan tidak terima aktifitasnya terhenti karena izinnya akan membawa persoalan tersebut ke Peradilan Tata Usaha Negara, dan pelaku kejahatan lingkungan hidup akan diadili di Peradilan Umum dan Militer.

Hakim-hakim yang mengadili perkara tersebut memainkan peranan penting untuk menentukan keberlangsungan lingkungan hidup. Apakah akan menjadi penjaga lingkungan hidup ‘the guardian of environment’ dengan menerapkan nilai-nilai keadilan lingkungan ‘green justice’, ataukah bertoleransi terhadap eksploitasi. Itu semua ditentukan oleh ketukan palu Hakim.   

Pada akhirnya masa depan keberlangsungan lingkungan hidup dan keselamatan rakyat ditentukan oleh pemegang-pemegang otoritas. Dalih-dalih pertumbuhan ekonomi dan mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain kerapkali digunakan sebagai pembenaran oleh pemegang otoritas untuk mengeksploitasi alam secara berlebihan.

Usaha-usaha perlindungan lingkungan hidup dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai penghambat pembangunan. Berdiri di posisi anthropocentris yang menganggap lingkungan hidup diperuntukkan untuk melayani kebutuhan manusia, ataukah berdiri di posisi ecocentris dengan hidup harmonis dan berdampingan bersama alam merupakan pilihan masing-masing. Kiranya penting bagi kita untuk merenungkan secara mendalam perkataan Gandhi yang berkata “earth provides enough to satisfy every man’s need, but not even one man’s greed”. (al/ldr/seg)

 

Penulis Dr. Rangga Lukita Desnata, S.H., M.H adalah Hakim PN Muara Enim

Baca Juga: Arsip 2004: Saat Hakim Mintai Pertanggungjawaban Strict Liability di Kasus Lingkungan Hidup


Tulisan merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili lembaga.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…